BerandaTafsir TematikKonsep Kafir dalam Al-Qur’an Perspektif Farid Esack

Konsep Kafir dalam Al-Qur’an Perspektif Farid Esack

Al-Qur’an pada prinsipnya adalah wahyu yang bersifat progresif. Progresivitas ini ditunjukkan melalui teks-teks yang senantiasa berdialog dengan konteks seiring waktu berlalu. Spirit yang dikandung al-Qur’an terus mengilhami para penafsir memecahkan problematika zaman yang harus dihadapi umat muslim. Dinamika dan gagasan tafsir yang diusung oleh para penafsir kontemporer tentunya merupakan modifikasi dan kritik sejalan dengan tuntutan zaman yang melingkupi diri sang mufasir. Sebut saja, Farid Esack, sang mufasir lahir dari tanah Afrika yang mengidealkan munculnya “Islam Afrika Selatan”.

Kegelisahan intelektual Farid Esack terhadap berbagai gejolak kehidupan yang dialaminya telah membentuk bangunan pemikiran dalam membaca pesan al-Qur’an.  Pendekatan kontekstual terhadap al-Qur’an tidak terlepas dari basis teologis dan historis yang mengitari. Kemelaratan dan ketidakadilan yang dirasakan Esack sejak kecil membuat jiwa justice-nya terbentuk. Kepedulian melihat penderitaan lingkungan sekitar membawanya bersemangat memperjuangkan kemerdekaan atas rezim apartheid.

Baca Juga: Farid Esack: Mufassir Pejuang Keadilan di Afrika Selatan

Farid Esack melakukan penafsiran ulang terhadap beberapa kata dalam al-Qur’an yang dianggap relevan dengan masalah ketidakadilan. Salah satu yang mendapat perhatiannya adalah konsep kafir, yang mana telah menyebabkan jarak antara Muslim dan non-Muslim. Dalam karya disertasinya (1996) yang telah diterbitkan, Quran, Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression, Esack menjelaskan penafsiran transformatifnya.

Interpretasi Konsep Kafir

Kata kafir di berbagai belahan dunia sering ditujukan kepada kaum non-muslim. Jelas di sini yang menjadi perhatian adalah ‘subjek’ penganut agama lain. Menurut Esack, hal ini menjadi salah satu “kata” yang membutuhkan pemaknaan atau pembahasan lebih mendalam. Al-Qur’an memang sering menampilkan ayat yang mengecam  kata kufr dan siksaan yang akan diterima. Surah al-Imran [3]: 21-22 menjadi dasar refleksi Esack terkait pemaknaan kata tersebut,

اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْفُرُوْنَ بِئَايَتِ اللهِ وَيَقْتُلُوْنَ النَّبِيِّيْنَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَيَقْتُلُوْنَ الّذِيْنَ يَأْمُرُوْنَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ ٢١ أُوآئِكَ الَّذِيْنَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الٌدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَمَالَهُمْ مِنَ نَّصِرِيْنَ ٢٢

“Sungguh, orang-orang yang menolak (yakfur) kepada ayat-ayat Allah, dan membunuh para nabi tanpa hak dan membunuh orang-orang yang mengajak pada keadilan, maka kabarkan bahwa mereka akan memperoleh siksa yang pedih. Mereka itu adalah orang-orang yang lenyap amal-amalnya dan mereka sekali-kali tidak akan memperoleh penolong.” (QS. Ali Imran [3]: 21-22)

Teks tersebut menggabungkan doktrinal kufr dengan perihal sosio-politis terkait keadilan. Secara literal, makna Kufr di tengah wacana muslim telah menjadi istilah yang penuh celaan terhadap penganut agama lain. Derivasi katanya, kaffir telah masuk dalam wacana rasialis Afrika Selatan, tepatnya sebagai ekspresi penghinaan bagi mayoritas kulit hitam. Terdapat penggabungan antara chauvinisme agama dan etno-ideologis, kafir sebagai “simbol keras pengucilan agama” dan sebagai penghinaan rasialis terhadap orang lain. Dalam konteks ini dirasa perlu meninjau ulang konsep kufr dimana terkait dengan penegakan keadilan.

Bagi Esack, produk tafsir tersebut menggambarkan kegagalan penjelasan tafsir dalam membedakan kufr sebagai perilaku aktif dari individu atau kolektif dan diidentikkan sebagai identitas sosio-religius suatu kelompok. Secara munasabah, pada surah Ali Imran (3) ayat 23-24, teks ini merujuk pada orang-orang yang diberikan Kitab, namun menolak jika tindakannya dihukumi oleh Kitab tersebut. Penolakan ini berakar dari sikap arogansi keagamaan dan penyangkalan bahwa api neraka tidak akan lama menyentuh mereka (Ahl al-Kitab).

Esack menyatakan bahwa al-Qur’an menggambarkan kafir sebagai faktor penting yang membentuk identitas diri. Konsep kafir di masa awal Islam, berakar pada superioritas kesukuan dan arogansi, mengolok pemeluk Islam karena berasal dari kelas rendahan. Adapun kemungkinan kufr terkait dengan penolakan terhadap agama. Jika meninjau sisi doktrinal kufr dalam al-Qur’an, terdapat beberapa yang perlu diperhatikan agar terhindar dari perlakuan tidak adil pada mereka yang berlabel ‘non-muslim’.

Pertama, ketika al-Qur’an mengaitkan kufr dengan doktrin, itu dilakukan dalam konteks sosio-historis yang nyata dan yakin bahwa kepercayaan yang tulus pada keesahan Tuhan dan pertanggungjawaban akhir akan membawa terwujudnya masyarakat adil. Kedua, al-Qur’an menggambarkan kafir sebagai sosok yang mengetahui keesaan Tuhan dan Nabi Muhammad, namun memilih menolak. Ketiga, al-Qur’an mencela kufr sebagai perilaku permusuhan terhadap Islam dan Muslim. Keempat, al-Qur’an melihat motif keputusan kuffar untuk menolak memegang keyakinan tertentu.

Baca Juga: Kuffar dalam Al-Quran Tidak Selalu Bermakna Orang-Orang Kafir, Lalu

Pemisahan kufr dari perilaku sosial dan personal musuh Nabi sebagai individu di Makkah dan Madinah merupakan hal yang tidak mungkin. Esack mencoba melihat perilaku semacam itu terhadap Islam dan pola perilaku sosio-politik, agar mampu membangun implikasi kontemporer bagi istilah kufr. Proses transfer label saja telah mengakibatkan kesalahan kolektif orang yang beragama lain.Ia menaruh perhatianian penuh antara komitmen al-Qur’an pada keadilan, keterkaitan nabi dengan orang-orang yang mengajak keadilan dan kufr-nya orang yang mendukung ketidakadilan.

Dinamika makna kufr beserta berbagai konteksnya berarti mengakui etos keadilan dalam al-Qur’an. Esack beranggapan bahwa bukan label tersebut yang diperhatikan Tuhan, akan tetapi menunjuk pada perbuatan dan tindakan manusia. Muslim tidak seharusnya melemparkan etos kufr pada orang yang kebetulan lahir sebagai non-Muslim atau diantara yang bukan partisipan kufr. Sebuah fakta identitas kelompok tidak bisa menggantikan prinsip pertanggungjawaban personal. Demikian, menjalin hubungan dalam konteks sosial dan politik dengan non-Muslim tidak ada pelarangan, apalagi dalam konteks genting yang diperlukan untuk saling membahu. Bagi Esack, term kafir ditujukan untuk siapapun yang tidak memiliki rasa keadilan, baik muslim maupun non-muslim. Wallahu A’lam.

Melisa Diah Maharani
Melisa Diah Maharani
Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU