BerandaTafsir TematikKonsep Masyarakat Ideal Menurut Said Nursi

Konsep Masyarakat Ideal Menurut Said Nursi

Dilihat dari segi bahasa istilah masyarakat berasal dari akar kata bahasa Arab, syaraka yang berarti ikut serta atau berpartisipasi. Pada praktiknya, kata masyarakat ini yang paling lazim dipakai untuk menyebut kesatuan-kesatuan. Oleh karena itu, masyarakat dapat didefinisikan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat yang kontinyu.

Mengacu pada definisi ini, maka secara sosiologis masyarakat ideal itu setidaknya memiliki empat unsur pokok yakni, manusia yang hidup bersama, bercampur untuk waktu yang cukup lama, mereka sadar bahwa mereka suatu kesatuan hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Jika definisi diatas yang dipakai, maka banyak padanannya dalam Al Quran.

Menurut Said Nursi ada beberapa kata yang dipakai dalam Alquran untuk menunjukkan istilah masyarakat, antara lain qaum, ummah, syu’bu dan qabail (Fathu Jannah, Pemikiran Said Nursi tentang perdamaian, Medan 2012, 56). Suatu tatanan masyarakat ideal tercipta menurut Said Nursi diperoleh dari konsep perdamaian. Lebih lanjut Said Nursi menjelaskan konsep perdamaian yakni berasal dari kata damai dengan sisipan per-an. Damai ialah tidak ada perang, tidak ada kerusuhan, aman, tentram, tenang, keadaan tidak bermusuhan, rukun. Jadi yang dimaksud dengan perdamaian: penghentian permusuhan (perselisihan, dan lain-lain).

Agama Islam adalah suatu agama yang identik dengan perdamaian. Salah satu arti dari Islam adalah damai. Damai dalam arti penyerahan mutlak kepada Allah swt. Orang yang menyerahkan diri kepada Allah senantiasa hatinya selalu damai, meskipun dalam suasana perang.

Walaupun makna “perdamaian” bukan hanya berarti tidak adanya “perang”, tetapi “perang” merupakan bentuk esktrim dari tidak adanya “perdamaian”. Karena begitu pentingnya penerapan damai dalam kehidupan, maka jika dalam suasana yang mengharuskan perangpun Islam tetap mengajarkan ajaran-ajaran perdamaian dalam suatu peperangan. Inilah makna masyarakat ideal sesungguhnya. Perang dalam Islam hanya dibolehkan kalau diserang.

Baca juga: Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror

Ada aturan-aturan mengenai perang dalam Islam yang tidak boleh dilanggar. Misalnya membunuh wanita dan anak-anak, tidak boleh membunuh musuh yang tidak bersenjata, tidak boleh merusak lingkungan. Inilah sebagian contoh dari etika dalam perang yang harus senantiasa diindahkan yang merupakan bagian dari upaya tetap melestarikan perdamaian, atau minimal meminimalisir peperangan.

Berbicara mengenai konteks agama dalam persolan perdamaian, disini pemakalah menelaahnya dari perspektif Islam pemikiran Said Nursi. Islam merupakan agama cinta damai. Islam menghindari peperangan yang diakibatkan rasialisme kebangsaaan. Islam mengakui bahwa semua manusia berasal dari sumber yang satu. Dari sumber yang satu ini maka terciptalah beragama suku bangsa yang tiada lain tujuannya adalah supaya saling mengenal.

Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 13,

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.

Berdasarkan ayat di atas, jelaslah, meskipun Allah telah menciptakan manusia dengan beraneka ragam suku, beraneka ragam bangsa, dengan warna kulit dan bahasa yang berbeda, namun itu semua indah jika tidak adanya perpecahan dan peperangan.

Islam menghindari peperangan yang dikobarkan oleh ambisi untuk memperoleh keuntungan, seperti peperangan yang dicetuskan oleh imperialisme dengan orientasi sebagai ajang eksploitasi, memperbudak penduduk dan tokoh-tokoh negeri serta bermacam niat jahat lainnya. Peperangan dengan niat-niat jahat tidak dibenarkan dalam Islam.Islam memandang bahwa semua manusia merupakan satu keluarga, satu kerabat yang berkewajiban saling membantu.

Baca juga: Sertifikasi Da’i dan Pentingnya Muhasabah Diri

Dalam Risalah an-Nur, Nursi juga mengisahkan betapa tidak nyamannya suasana peperangan. Pahitnya saat menjadi tawanan perang dunia I, saat ditawan di kota Kosturma. Malam-malam pekat berselimutkan kepedihan ia lewati dengan ber’uzlah di sebuah mesjid kecil dekat sungai Volga. Nursi menyatakan: “Orang yang melihat peperangan akan menjadi cepat tua, bahkan peperangan akan membuat anak kecil beruban menurut Nursi”. Ini menjelaskan pada kita bagaimana dahsyatnya derita akibat perang yang dialami Nursi.

Oleh sebab itulah, Nursi sangat tidak suka dengan perpecahan, kekerasan dan hal lain yang berdampak pada pudarnya situasi perdamaian. Menjalani masa-masa getir tersebut, Nursi menekankan bahwa ia bukanlah seorang yang cinta akan dunia. Cita-cita bukanlah terletak pada cintanya terhadap dunia. Hatinya telah dipenuhi oleh hal-hal yang berbeda. Ia mengatakan tak ada tempat bagi yang lainnya.

Di sini jelas terlihat bahwa Nursi bukan termasuk orang yang ambisius terhadap kekuasaan dan politik. Konsep cinta lebih utama baginya. Konsep yang digagasnya ini sangat relevan, mengingat beliau seorang sufi. Dengan cinta maka perdamaian akan tercipta. Sebaliknya, tanpa cinta, perpecahan dan segala bentuk tindakan kekerasan yang akan tercipta.

Lebih lanjut Said Nursi dalam masyarakat ideal menungkapkan kata-kata yang sangat bijak yakni “Kami memiliki dua tangan yang dengannya kami memegang cahaya. Apabila kami memiliki seratus tangan kami akan memegang lebih banyak cahaya lagi”. Cahaya dalam pengertian Said Nursi dalam konteks ini adalah perdamaian, harmoni, kecerdasan, dan apapun yang bersifat positif. Menurutnya tak ada seorangpun yang dapat menghalangi cahaya sebab ia akan menguntungkan semua orang.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Mewarisi Pekerti Adiluhung Rasulullah SAW

Dalam tulisan-tulisannya mengenai Perdamaian, Thomas Michael menyimpulkan titik fokus Nursi terletak pada tiga aspek, yaitu:

Pertama, perdamaian merupakan tujuan akhir dan merupakan pahala bagi mereka yang mempelajari serta mempraktekkan suatu ajaran Alquran.

Kedua, perdamaian adalah ketenangan yang diberikan oleh Allah kepada orang percaya yang setia, yang sanggup dan kuat dalam menanggung berbagai kesulitan, menghadapi sikap ketidakadilan, serta tidak melakukan upaya balas dendam.

Ketiga, perdamaian adalah misi, tugas khidmat dari Allah yang ditujukan untuk umat Islam. Oleh sebab itulah Nursi menyatakan bahwasanya umat Islam harus menjadi pembawa damai dan membangun budaya perdamaian dalam kehidupan di dunia ini.

Neny Muthi'atul Awwaliyah
Neny Muthi'atul Awwaliyah
Peneliti, dosen di Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Salatiga.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

kaidah Asbabunnuzul

Telusur Kaidah Asbabunnuzul dalam Kitab-Kitab ‘Ulūm al-Qur’ān

0
Dalam ilmu Alquran, di bagian kaidah Asbabunnuzul terdapat suatu kaidah yang lebih khusus lagi, yaitu al-‘Ibrah bi ‘umūm al-lafdz dan al-‘Ibrah bi khuṣūṣ al-sabab. Mulanya...