Pada salah satu tulisan yang berjudul Menjawab Kritik Ignaz Goldziher atas Relasi Qira’ah dan Rasm, penulis sempat menyinggung istilah sunnah muttaba‘ah dalam akar tradisi qira’ah Al-Qur’an. Istilah ini merujuk dari counter ‘Abd al-Fattah Isma‘il Syalabiy dalam Rasm al-Mushaf al-‘Utsmaniy terhadap kritik historis Ignaz Goldziher atas ketidakserasian dan ketidakseragaman Al-Qur’an dalam narasi-narasinya.
Berkaitan dengan istilah sunnah muttaba‘ah ini, sudahkah pembaca mengetahui dan memahaminya? Jika belum, mari kita kaji bersama-sama.
Selain pada ulasan Syalabiy dalam Rasm al-Mushaf al-‘Utsmaniy, pembaca akan banyak menjumpai istilah sunnah muttaba‘ah atau redaksi lain yang semakna ketika menelaah misalnya, Munjid al-Muqri’in karya Ibn al-Jazariy, Al-Itqan karya Al-Suyuthiy, Manahil al-‘Irfan karya Al-Zarqaniy, atau karya ilmu Al-Qur’an lain seperti Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an karya Manna‘ Khalil al-Qaththan. Oleh para ulama dan pakar Al-Qur’an, redaksi-redaksi semacam ini pada dasarnya dimaksudkan untuk menjelaskan arti penting sebuah riwayat dalam bacaan Al-Qur’an.
Baca juga: Misykat Al-Anwar: Tafsir Ayat Cahaya dalam Perspektif Al-Ghazali
Kisah Terjadinya Konsep Sunnah Muttaba’ah
Kemudian untuk konsep sunnah muttaba‘ah sendiri dapat ditelusuri dari cerita-cerita penisbatan bacaan Al-Qur’an para sahabat dan tabi‘in. Seperti diantaranya riwayat Mas‘ud bin Yazid al-Kindiy,
كَانَ ابْنُ مَسْعُودٍ يُقْرِئُ رَجُلًا فَقَرَأَ الرَّجُلُ: {إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ} مُرْسَلَةً فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: مَا هَكَذَا أَقْرَأَنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: كَيْفَ أَقْرَأَكَهَا يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ؟ فَقَالَ: أَقْرَأَنِيهَا: {إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ} فَمَدَّ
“Ibn Mas‘ud pernah membacakan (mengajarkan Al-Qur’an) kepada seseorang, kemudian seseorang tadi membaca “Inama al-shadaqat li al-fuqara’ wa al-masakin” dengan bacaan irsal pada kata “al-fuqara”. Ibn Mas‘ud lantas menegurnya, “Tidak demikian Rasulullah Saw. membacakannya untukku.” Seseorang tadi kemudian bertanya, “Lalu seperti apa?” Ibn Mas‘ud menjawab, “Rasulullah Saw. membacakannya untukku dengan madd”
Atas riwayat Al-Kindiy ini, Muhsin Salim dalam Pengembangan Pembelajaran Ilmu Tajwid di Lembaga Pendidikan Islam Indonesia (Evaluasi dan Gagasan) mengungkapkan bahwa baik bacaan irsal atau madd pada kata li al-fuqara’, sebenarnya tidak memberikan pengaruh pada perbedaan arti. Namun sekali lagi, karena qira’ah adalah bagian dari sunnah muttaba‘ah, maka seorang murid harus mengikuti cara yang diajarkan oleh gurunya.
Mengapa riwayat menjadi sangat penting dalam qira’ah? Karena dalam qira’ah, siapa saja dituntut untuk sedapat mungkin menghadirkan kualitas bacaan yang sama sebagaimana Rasulullah Saw. dulu melakukannya.
Baca juga: Penjelasan Mufasir Terkait Sujud Kepada Selain Allah dalam Al-Quran
Istilah menghadirkan kembali qira’ah Rasulullah Saw. sejatinya adalah sebuah esensi dari aktifitas pembacaan Al-Qur’an. Sehingga dalam beberapa warning yang diberikan para ulama dan pakar, manakala seseorang tidak mampu memenuhi kualifikasi ini, ia tergolong mendustakan Rasulullah Saw. dan neraka adalah tempat baginya. Berikut Hadis riwayat dari Imam Bukhori:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berdusta terhadapku maka hendaklah ia persiapkan tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari)
Namun demikian, para ulama dan pakar Al-Qur’an memahami bahwa berpegang pada riwayat semata mungkin dirasa sulit bagi beberapa kalangan. Apalagi mereka yang bukan Arabic native speaker. Maka kemudian, esensi dari qira’ah Rasulullah Saw. ini diejawantahkan dalam beberapa disiplin ilmu yang kemudian dikenal dengan ilmu qira’ah dan ilmu tajwid. Dan karena keduanya mampu merepresentasikan kembali kualitas qira’ah Rasulullah, maka mempelajari dan mengaplikasikan keduanya adalah wajib.
Pengejawantahan konsep sunnah muttaba‘ah ini juga menjelaskan tentang kedekatan hubungan yang dimiliki antara ilmu qira’ah dan tajwid. Untuk perbedaan qira’iah dan tajwid sudah tertulis pada tulisan Zainal Abidin dalam judul Qiraat dan Tajwid Apakah Kita Perlu Belajar Semuanya?, tulisan tersebut dijelaskan bahwa qira’ah fokus pada pengucapan lafaz, kalimat dan dialek. Sementara tajwid lebih kepada kesesuaian huruf-huruf Al-Qur’an dengan makhraj dan sifah-nya, untuk perbedaan-perbedaan lainnya sudah disebutkan pada tulisan tersebut.
Baca juga: Surah an-Nisa [4] Ayat 31: Perintah Menjauhi Dosa Besar
Sehingga, tidak mudah untuk benar-benar memberikan Al-Qur’an hak-haknya sebagaimana mestinya. Tetapi bukan tidak mungkin untuk melakukannya. Jika demikian, lantas langkah apa yang harus ditempuh selain menguasai disiplin ilmu qira’ah dan tajwid? InsyaAllah akan diulas dalam part selanjutnya. Wallahu a‘lam bi al-shawab.