Alquran memuat prinsip-prinsip pokok yang senantiasa berlaku sepanjang zaman. Prinsip-prinsip pokok tersebut diimplementasikan kembali dengan pemaknaan baru menyesuaikan dengan konteks zamannya agar relevansi Alquran dapat benar-benar dirasakan.
Dalam kurun waktu puluhan tahun terakhir, Indonesia mengalami perubahan konteks dari masyarakat petani ke masyarakat industri. Perubahan konteks tersebut tentunya meniscayakan kontekstualisasi prinsip-prinsip pokok Alquran, salah satunya mengenai pemaknaan iman dan takwa yang berhubungan dengan keberkahan dan kemakmuran suatu kelompok masyarakat sebagaimana yang disebutkan dalam Q.S. al-A’râf [7]: 96.
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.
Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 3-4: Lima Karakter Orang Bertakwa
Pemaknaan Q.S. al-A’râf [7]: 96 dalam karya-karya tafsir yang digunakan oleh masyarakat Indonesia, seperti Tafsir Al-Azhar, Tafsir An-Nuur, Tafsir Al-Mishbah, dan Marah Labid berkisar pada dua macam kecenderungan.
Pertama, implikasi dari keimanan dan ketakwaan dalam kehidupan masyarakat sebagaimana bunyi lafaz ayat tersebut. Keimanan dan ketakwaan melahirkan sikap bekerja sama dalam kebaikan dan saling tolong-menolong dalam upaya pengelolaan dan menikmati kekayaan bumi.
Keberkahan berjalan beriringan dengan ketakwaan dan keimanan. Jika kepribadian masyarakat sudah tidak lagi beriman dan bertakwa, maka hilang pula keberkahan atas masyarakat tersebut. Salah satu dampak dari hilangnya keberkahan dapat dirasakan ketika hujan yang turun tidak lagi membawa kesuburan bagi tanah dan tanaman, melainkan mendatangkan banjir yang meluluhlantahkan semua tanaman.
Baca juga: Bertakwalah, Maka Allah Akan Mengajarimu!
Kedua, penjelasan lebih lanjut mengenai makna “berkah dari langit dan bumi” sebagai ganjaran yang diberikan atas beriman dan bertakwanya sebuah masyarakat. Kecenderungan seperti ini dapat dilihat dari penjelasan mengenai klasifikasi berkah menjadi dua macam, yaitu yang sifatnya hakiki dan yang sifatnya maknawi.
Berkah hakiki bisa berupa hujan yang membawa kesuburan bumi sehingga tumbuhan dan segala hasil bumi, seperti emas, perak, dan hasil bumi lainnya dapat dikelola dan dinikmati dengan baik. Berkah maknawi adalah petujuk dari Allah Swt. kepada hamba-Nya, baik berupa wahyu yang disampaikan rasul-Nya kepada umat manusia ataupun ilham yang dianugerahkan kepada orang-orang terpilih.
Kesalehan personal dan kolektif
Di era sekarang, mewujudkan masyarakat yang beriman dan bertakwa sebagaimana yang disebutkan dalam Q.S. al-A’râf [7]: 96, merupakan hal yang sulit jika hanya mengandalkan akhlak perorangan sebagaimana yang berlaku pada masyarakat tradisional ketika agama diperankan secara personal oleh Nabi saw. ataupun kiai. Ini karena di era sekarang, peran agama kemudian diambil alih secara institusional melalui lembaga-lembaga profesional (Komaruddin Hidayat, Iman yang Menyejarah: 141).
Kiranya berangkat dari fenomena inilah, Kuntowijoyo melihat bahwa institusi memegang peranan penting dalam keimanan dan ketakwaan suatu masyarakat karena di dalamnya terdapat akhlak dalam bentuk kolektif. Institusi yang tidak saleh akan melahirkan masyarakat yang penuh dengan kemungkaran, meskipun iman dan takwa masyarakatnya terlihat secara individual atau orang perorangan.
Baca juga: Tafsir Surah Al-Ma’un Ayat 1-3: Ingat, Tidak Saleh Sosial Juga Pendusta Agama!
Oleh karena itu, Kuntowijoyo mengajukan semacam pembaharuan pemaknaan agar hubungan iman dan takwa dengan keberkahan yang disebutkan dalam Q.S. al-A’râf [7]: 96 tidak hanya dibaca secara individual, tetapi juga harus dibaca secara institusional (Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: 13). Keimanan dan ketakwaan secara institusional ini pulalah yang mencegah adanya sekularisasi agama dalam kehidupan bermasyakat dan bernegara.
Minimnya atau bahkan ketiadaan pembahasan mengenai hal tersebut dalam literatur-literatur tafsir seharusnya tidak dipahami dengan konservatif bahwa Islam memang sedari awal tidak berbicara apa-apa mengenai hal itu. Justru kekosongan pembahasan mengenai hal itu semakin menguatkan bahwa ada perubahan konteks sosial sehingga memerlukan pemaknaan baru untuk mengisi kekosongan tersebut. Seyogianya hal tersebut harus disambut positif agar relevansi Alquran senantiasa dapat dirasakan, khususnya di era sekarang. Wallâhu a’lam.