Bantahan al-Razi terhadap Kisah “Miring” Nabi Dawud (Bag. 2)

Bantahan Imam al-Razi terhadap Kisah “Miring” Nabi Dawud (Bag. 2)
Bantahan Imam al-Razi terhadap kisah “miring” Nabi Dawud a.s.

Pada tulisan sebelumnya, telah dipaparkan ada tiga pandangan dan penafsiran ulama mengenai latar belakang dari kisah Nabi Dawud a.s. dalam Q.S. Shad ayat 21-25. Hal ini juga telah dipertegas oleh Imam al-Razi dalam kitab Mafatih al-Ghaib. Beliau mengatakan bahwa setidaknya ada tiga pendapat yang beredar di kalangan umat muslim terkait kisah Nabi Dawud a.s. tersebut.

وَأَقُولُ لِلنَّاسِ فِي هَذِهِ الْقِصَّةِ ثَلَاثَةَ أَقْوَالٍ أَحَدُهَا: ذَكَرَ هَذِهِ الْقِصَّةَ عَلَى وَجْهٍ يَدُلُّ عَلَى صُدُورِ الْكَبِيرَةِ عَنْهُ وَثَانِيهَا: دَلَالَتُهَا عَلَى الصَّغِيرَةِ وَثَالِثُهَا: بِحَيْثُ لَا تَدُلُّ عَلَى الْكَبِيرَةِ وَلَا عَلَى الصَّغِيرَةِ

Saya katakan terkait kisah ini (perihal Nabi Dawud a.s.), orang-orang terbagi menjadi tiga pendapat. Pertama, menceritakan kisah tersebut melalui cara yang mengindikasikan bahwa Nabi Dawud a.s. melakukan dosa besar. Kedua, menceritakan kisah tersebut dengan kisah yang mengindikasikan bahwa beliau melakukan dosa kecil. Ketiga, menceritakan kisah dengan tanpa disertai indikasi apapun bahwa Nabi Dawud a.s. melakukan dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. [Mafatih al-Ghaib, juz 26, hlm.173].

Pada tulisan kali ini, akan dibahas sanggahan Imam al-Razi terkait kisah “miring” yang dinisbatkan kepada Nabi Dawud a.s. Penulis secara spesifik memilih perspektif Imam al-Razi karena sebagaimana penulis dapati bahwa dalam kitab Mafatih al-Ghaib beliau memaparkan berbagai sanggahan-sanggahan argumentatif yang dikaji secara panjang lebar dan komprehensif.

Perlu diketahui bahwa Imam al-Razi lebih condong kepada riwayat ketiga. Akan tetapi, ulama yang berafiliasi dengan riwayat ketiga ini pun memiliki versi yang beragam terkait kisah yang terjadi sebenarnya. Terlepas dari perbedaan versi tersebut, secara umum mereka meyakini bahwa kisah yang sebenarnya terjadi adalah Nabi Dawud a.s. diuji oleh Allah Swt., tetapi beliau tidak melakukan perbuatan dosa dalam hal ini.

Baca juga: Pandangan Ulama Seputar Kisah Nabi Daud a.s. (Bagian 1)

Secara panjang lebar, Imam al-Razi membantah riwayat pertama yang mengatakan bahwa Nabi Dawud a.s. berniat membunuh suami seorang perempuan agar dapat menikahinya. Dalam hal ini penulis mencoba mensimplifikasi argumentasi Imam al-Razi dalam kitab Mafatih al-Ghaib dan merumuskannya menjadi tiga poin utama [Mafatih al-Ghaib, juz 26, hlm. 163-167].

Pertama, kisah tersebut mengandung unsur-unsur yang mendiskreditkan seorang nabi. Pasalnya, ada dua tindakan dosa yang jangankan seorang nabi, orang salih yang bukan nabi saja tidak akan melakukannya hal tersebut. Tindakan dosa yang dimaksud adalah berusaha membunuh orang dengan tujuan menikahi istrinya. Hal ini berdasarkan Q.S. Al-Nisa’ ayat 93:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, balasannya ialah neraka Jahanam. Dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Q.S. An-Nisa’ [04]: 93).

Selain itu, Rasulullah saw. juga bersabda:

مَنْ أَعَانَ عَلَى قَتْلِ مُؤْمِنٍ وَلَوْ بِشَطْرِ كَلِمَةٍ، لَقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مَكْتُوبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ: آيِسٌ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ

“Barang siapa yang punya kontribusi dalam membunuh orang mukmin meski hanya dengan satu kalimat, ia akan menemui Allah Swt. (kelak di hari kiamat) dalam keadaan tertulis di antara kedua matanya, ‘orang yang putus asa dari rahmat Allah” (H.R. Ibnu Majah).

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Daud: dari Taubat hingga Manajemen Ibadah

Dalam hadis lain, Beliau saw. bersabda:

المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Orang muslim (sejati) adalah ketika kaum muslim lain selamat dari ucapan dan tindakannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Kedua, secara struktur susunan ayat, akan terjadi disharmoni antara ayat 21-25 dari Q.S. Shad tersebut dengan ayat sebelum dan sesudahnya manakala ayat tersebut dimaknai sebagai teguran atas tindakan “miris” yang dilakukan Nabi Dawud a.s.

Hal ini karena ayat sebelum dan sesudah lima ayat tersebut membicarakan perihal karakter-karakter terpuji yang dimiliki Nabi Dawud a.s. sehingga beliau mendapat pujian dan kedudukan istimewa di hadapan Allah Swt. Menafsiri kisah dalam lima ayat tersebut sebagai teguran Allah Swt. atas perbuatan dosa yag dilakukan Nabi Dawud a.s. akan menimbulkan kontradiksi dan disharmoni dengan ayat sebelum dan sesudahnya.

Baca juga: Ketika Allah Mengajarkan Nabi Daud tentang Kepemimpinan

Ketiga, jika diasumsikan bahwa cerita tersebut merupakan fakta, hal itu tidak lantas mengharuskan orang-orang untuk menyebarkan kisah tersebut ke ruang publik. Sebab Allah Swt. melarang menyebarluaskan cerita buruk pada diri orang muslim. Allah Swt. Berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. An-Nur [24]: 19).

Di samping itu, Imam al-Razi juga mengatakan bahwa menyebarluaskan kisah tersebut (andai memang benar) tidak akan mendatangkan faedah dan manfaat. Alih-alih mendapat manfaat, ia justru menyebabkan pelakunya mendapatkan dosa karena menyebarkan keburukan orang lain.

Baca juga: Tujuh Kitab Populer untuk Referensi Asbabunnuzul

Menurut Imam al-Razi, di akhirat kelak Allah Swt. juga tidak akan meminta pertanggungjawaban perihal mengapa seseorang tidak menyebarluaskan kisah tersebut. Justru, orang tersebut akan mendapat azab yang pedih jika kisah tersebut ternyata tidak benar [Mafatih al-Ghaib, juz 26, hlm. 176].

Maka dari itu, sebagai langkah antisipasi, sebaiknya seorang muslim tidak sembarangan menyebarluaskan kisah-kisah yang masih belum dapat dibuktikan validitasnya. Dalam membaca kitab-kitab tafsir atau kisah umat terdahulu, ia harus selalu melakukan check dan recheck sebab banyak kisah israiliyat yang belum terbukti kebenarannya, termasuk dalam penafsiran Q.S. Shad ayat 21-25 tersebut.

Oleh karenanya, Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa yang lebih utama adalah menafsiri dan memahami ayat kisah tersebut sesuai dengan makna leterlek-nya, sedangkan kebenarannya diserahkan kepada Allah Swt. semata [Tafsir Ibnu Katsir, juz 7, hlm. 60].