Kontradiksi Penafsiran Al-Quran Surah Al-A’raf Ayat 52

kontradiksi penafsiran Al-Quran
kontradiksi penafsiran Al-Quran

“Makna dalam teks-teks Al-Qur’ān adalah produk penafsiran manusia (a product of human interpretation). Penafsir Al-Qur’ān lah pihak yang berperan aktif dalam memproduksi makna.” Saya ingin meneguhkan kembali tesis utama risalah ini. Karena penafsir tidak pernah satu dan sama dalam tradisi penafsiran, maka makna yang diproduksi oleh penafsir yang beragam itu pun menjadi kontradiktif. Hal ini terefleksikan pada penafsiran atas makna fasala, yang akar katanya, f-s-l, dipakai sekitar 43 kali dalam Al-Qur’ān dalam konteks yang variatif. Selama ini, pemahaman umum tentang makna fasala merujuk pada karakter Qur’ān yang jelas dan detail.

Baca Juga: Lokus Makna Al-Quran: Otoritas Teks atau Otoritas Penafsir?

Penafsiran Al-Quran yang kontradiktif atas frasa fassal

Al-Qur’ān surah Al-A’raf [7]: 52, misalnya. Ayat ini diterjemahkan dan ditafsirkan dengan makna bahwa Tuhan menjelaskan Kitab Al-Qur’ān secara jelas dan detail. Penafsir Islam modern, ‘Abdullah Yusuf Ali (w. 1953), menerjemahkan Al-Qur’ān surah Al-A’raf [7]: 52, “For We had certainly sent unto them a Book, based on knowledge, which We explained in detail, a guide and mercy to all who believe.

Pemaknaan yang sama juga dapat ditemukan dalam karya Habib Shakir, seorang hakim di Mesir, yang menerjemahkannya seperti berikut: “And certainly We have brought them a Book, which We had made clear with knowledge, a guidance and mercy for people who believe.” Frase fassalnāhu dalam dua karya Muslim modern yang populer itu diterjemahkan dan, dengan sendirinya, ditafsirkan sebagai rujukan atas makna bahwa “Tuhan menjelaskan Al-Qur’ān secara detail dan jelas.”

Pemaknaan atas Al-Qur’ān, surah Al-A’raf [7]: 52 di Islam modern ini sebenarnya hanyalah replika pemikiran dari tradisi penafsiran Al-Quran pada periode awal dan pertengahan Islam. Adalah Abū Ja‘far b. Jarīr Ath-Thabarī (w. 310/923) yang menafsirkan Al-Qur’ān surah Al-A’raf [7]: 52 sebagai rujukan atas karakter Al-Qur’ān yang jelas dan detail.

Baca Juga: Konflik Bacaan Al-Quran, Preferensi Bacaan atas Surah Al-Isra Ayat 106

Kontradiksi penafsiran Ath-Thabari dan Al-Maturidi

Dalam karya tafsirnya yang momumental, Jāmi‘ albayān ‘an ta’wīl āy Al-Qur’ān, 30 vol. (Cairo: Mustafa al-Bābī Al-Halabī, 1986), Ath-Thabarī menafsirkan frase fassalnāhu dalam Al-Qur’ān, surah Al-A’raf [7]: 52 dengan makna “untuk menjelaskan, membedakan antara kebenaran dan kepalsuan” (mufassilan, mubayyinan fīhi al-haqq min al-bāthil). Yang sungguh mengejutkan adalah Ath-Thabarī tidak mempresentasikan keragaman opini, seperti kebiasaannya, dengan hanya memproduksi penafsiran yang tunggal dan monolitik.

Hal ini memberikan suatu indikasi kuat bahwa frase fassalnāhu telah disepakati maknanya secara konsensus oleh komunitas penafsir, sehingga terjadi proses stabilisasi makna yang pasti (the fixation of meaning). Yakni, Tuhan telah menurunkan Kitab Al-Qur’ān secara jelas dan detail (mufassilan), sehingga Kitab itu dapat berfungsi sebagai pembeda/ distingsi (mubayyinan) antara kebenaran dan kebatilan.

Dalam genre tafsīr, kebenaran atas makna ini sudah mencapai status konsensus dalam otoritas komunitas penafsir dan, konsekuensinya, makna yang disepakati itu memperoleh legitimasi yang kuat secara keagamaan, sehingga validitas kebenarannya nyaris tidak pernah dipertanyakan lagi.

Baca Juga: Tafsir Al-Qur’an Bersifat Multivokal, Ini Tiga Alasannya

Seorang teolog, penafsir dan fakih, Abū Mansūr al-Matūrīdī (w. 333/944), melakukan terobosan penafsiran inovatif atas Al-Qur’ān, surah Al-A’raf [7]: 52 yang sudah terlanjur mengalami stabilisasi makna yang pasti dalam rentang waktu yang panjang.

Dalam karyanya yang multi-volume, Ta’wīlāt Al-Qur’ān (Turkey: Dār al-Mīzān, 2005-2011, 18 volumes), al-Māturīdī menafsirkan fassalnāhu dalam Al-Qur’ān, surah Al-A’raf [7]: 52 yang sama sekali tidak lazim di kalangan ortodoksi Islam Sunni dan Shi’i sekalipun. Sembari mengakui kemungkinan makna umum fassalnāhu sebagai rujukan atas titah Tuhan sendiri, (1), yang menjelaskan Kitab secara detail (explained in detail), (2) yang membuat Qur’ān jelas (to make the Qur’ān clear), dan (3) yang membedakan antara kebenaran dan kebatilan (to distinguish between truth and falsehood).

Al-Māturīdī juga mengeksplorasi penafsiran atas kemungkinan makna baru fassalnāhu yang selama ini tidak pernah disajikan dan diperbincangkan dalam tradisi penafsiran Al-Quran. Yakni, pemaknaan baru fassalnāhu itu merujuk pada karakter utama pewahyuan Al-Qur’ān yang bersifat gradual, sedikit demi sedikit, dan tidak turun sekaligus (jumlatan wāhidatan, all at once). Secara lebih spesifik, menurut al-Māturīdī, bahwa makna baru fassalnāhu dalam Al-Qur’ān, surah Al-A’raf [7]: 52 adalah pewahyuan Al-Qur’ān yang bersifat gradual itu sendiri, sebagaimana ia analisis secara sangat meyakinkan di bawah ini:

“Kami telah menurunkan atau membagi Al-Qur’an menjadi beberapa bagian selama proses pewahyuannya dan Kami tidak mengirimkannya [kepada Muhammad] dalam satu wahyu sekaligus (jumlatan wāhidatan), seperti dalam firman Tuhan: Dan Qur’an yang Kami telah turunkan menjadi beberapa bagian atau potongan, sehingga kamu [Muhammad] dapat membacakannya kepada orang-orang dengan tidak tergesa-gesa (Al-Qur’an, surah Al-Isra [17]: 106), yaitu, Kami telah membagi Al-Qur’an menjadi bagian-bagian atau potongan-potongan selama proses pewahyuannya sesuai dengan peristiwa atau keadaan tertentu (‘alā qadr al-nawāzil) agar mereka [orang-orang] mengetahui makna hukum dari setiap ayat sesuai dengan peristiwa, keadaan, atau peristiwa yang mendorong turunnya wahyu tertentu. Atau Tuhan menurunkan Al-Qur’ān sedikit demi sedikit (mufarraqan, terpisah) karena lebih mudah (ahwan wa-aisar) bagi orang-orang untuk memahami hukum-hukum Tuhan jika Al-Qur’an diturunkan sebagian atau potongan-potongan kecil (bi-al-tafārīq), bukan secara keseluruhan atau lengkap” (jumlatan) (al-Matūrīdī, Ta’wīlāt Al-Qur’ān, Turkey: Dār al-Mīzān, 2005-2011, vol. 5:362).

Penafsiran brilian al-Māturīdī atas makna fassalnāhu dalam Al-Qur’ān, surah Al-A’raf [7]: 52 memberikan sumbangsih terbesar dalam tradisi penafsiran Al-Quran yang multivokal dan kontradiktif. Makna fassalnāhu tidak melulu ditafsirkan sebagai kehendak Tuhan untuk menjelaskan Kitab-Nya secara detail dan sekaligus membedakan antara kebenaran dan kebatilan, tetapi juga ditafsirkan dengan makna baru, yakni Tuhan yang mewahyukan Al-Qur’ān secara gradual, sedikit demi sedikit, tidak sekaligus.

Apakah dua makna fassalnāhu dalam Al-Qur’ān, surah Al-A’raf [7]: 52 yang kontradiktif itu bersumber dari Tuhan? Tidak! Itulah kesimpulan saya melalui risalah ini, karena dua makna yang kontradiktif itu sejatinya hanya bersumber dari pikiran manusia itu sendiri, yakni pikiran penafsir Al-Qur’ān. Makna dalam teks Al-Qur’ān, dengan demikian, bukanlah makna yang diwahyukan oleh Tuhan dalam peristiwa yang transhistoris, tetapi makna yang dikonstruksikan secara historis oleh penafsir Al-Qur’ān itu sendiri.