Dalam tulisan sebelumnya, sudah diterangkan beberapa kriteria pemimpin ideal yang disarikan dari kisah Raja Thalut. Beliau adalah seorang raja yang berkuasa atas Bani Israil sebelum Nabi Dawud a.s. serta yang memimpin Bani Israil berperang melawan pasukan Raja Jalut. Dengan wawasan yang luas serta kondisi fisik yang prima, Raja Thalut berhasil menorehkan kemenangan dalam peperangan besar melawan Raja Jalut dan pasukannya.
Di bawah ini, akan dipaparkan beberapa kriteria pemimpin ideal yang diperas dari kisah Nabi Yusuf a.s. dan Nabi Dawud a.s. Keberhasilan beliau berdua dalam memimpin umat tentu dikarenakan karakter-karakter leadership yang Allah swt. anugerahkan kepada beliau berdua.
Baca Juga: Ketika Allah Mengajarkan Nabi Daud tentang Kepemimpinan
Nabi Yusuf a.s.; Menteri yang Kompeten dan Kredibel
Kisah Nabi Yusuf a.s. merupakan kisah yang paling lengkap dalam Alquran serta berhasil mengaduk-aduk emosi pembacanya. Bak sebuah novel, kisah Nabi Yusuf ini satu-satunya kisah dalam Alquran yang diceritakan lengkap dari awal sampai akhir dan diakhiri dengan happy ending di bagian akhir surah.
Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Nabi Yusuf. Salah satunya adalah keberhasilannya dalam memanage perekonomian negara. Di bawah otoritasnya, negara mengalami kemajuan pesat di bidang ekonomi bahkan menjadi pusat ekonomi yang dapat bertahan di musim paceklik pada waktu itu. Hal ini tentu karena kebijakan-kebijakanya yang visioner sehingga berhasil mengantarkan negara menuju kejayaan dan kegemilangan.
Keberhasilan Nabi Yusuf as. dalam mengelola perekonomian negara dikarenakan sifat amanah dan kepiawaian beliau dalam membuat kebijakan-kebijakan. Hal ini terkonfirmasi dalam Alquran, surat Yusuf ayat 55,
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ [يوسف: 55]
Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan.” Q.S. Yusuf [12]: 55
Ayat tersebut mengisahkan tawaran Nabi Yusuf as. kepada raja agung untuk melantiknya sebagai menteri yang mengelola dan mengatur urusan perekonomian negara. Hal tersebut terjadi setelah beliau keluar dari penjara dan menghadap raja. Sang raja pun tertarik dengan sikap Nabi Yusuf a.s. yang sangat santun serta tutur kata yang fasih dan terstruktur. Kemudian dengan niat untuk menyelamatkan perekonomian negara serta kemaslahatan orang banyak, beliau menawarkan diri untuk dijadikan sebagai menteri keuangan dan pangan.
Pengajuan diri Nabi Yusuf a.s. sebagai menteri keuangan dan pangan bukan dalam rangka mencari kedudukan duniawi, melainkan untuk kemaslahatan umum dan supaya urusan negara dipegang oleh orang yang tepat. Hal ini karena beliau sendiri memang dianugerahi kredibilitas dan kapabelitas dalam urusan perekonomian negara.
Dari sini, bisa dikatakan bahwa seorang pemimpin harus memiliki sifat amanah serta memiliki pandangan-pandangan visioner. Hal ini diperlukan terutama untuk membangun perekonomian negara serta memberantas kemiskinan yang terjadi di berbagai sudut negara. sikap amanah ini tentunya merupakan karakter wajib yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, karena tanpa hal tersebut rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau bahkan korupsi yang sangat merugikan negara.
Baca Juga: Tiga Karakter Kepemimpinan Rasulullah yang Patut Dicontoh
Nabi Dawud a.s.; Figur Pemimpin Adil
Nabi Dawud a.s. merupakan sosok nabi yang memiliki dua kemuliaan sekaligus. Sama seperti putranya, Nabi Sulaiman a.s., beliau adalah seorang nabi dan rasul yang sekaligus menjadi seorang raja. Di bawah kekuasaannya, Bani Israil memperoleh kemenangan dan kemajuan di berbagai bidang, rakyatnya dapat merasakan keadilan. Hal ini karena Allah Swt. telah memerintah Nabi Dawud a.s. untuk berlaku adil kepada manusia. Dalam surat Shad ayat 26, Allah swt. berfirman,
يَادَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ [ص: 26]
Allah berfirman), “Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”Q.S. Shad [38]: 26
Menurut Ibnu Kartsir, ayat di atas menjadi wasiat dan landasan normatif bagi para hakim atau pemegang kekuasaan untuk berlaku adil dalam setiap keputusan yang dibuat. Keputusan yang dibuat berdasarkan hawa nafsu akan menjerumuskan kepada kesesatan dan tentunya siksa yang pedih sudah dipersiapkan di akhirat bagi pemimpin yang tidak berlaku adil. [Tafsir Ibnu Katsir, juz 7, hal. 62].
Objektifitas seorang hakim atau pemimpin dalam mengambil sebuah keputusan tidak boleh luntur karena faktor-faktor pribadi. Ketika menyelesaikan sebuah sengketa misalnya, dia harus berpedoman pada bukti-bukti lapangan yang objektif alih-alih memutuskan berdasarkan kecenderungan pribadi.
Nabi saw. bersabda,
الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: وَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ، وَاثْنَانِ فِي النَّارِ، فَأَمَّا الَّذِي فِي الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ، وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِي الْحُكْمِ، فَهُوَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ
Hakim itu ada tiga (golongan). Satu golongan di surga, sedangkan dua golongan lainnya di neraka. Golongan hakim yang ada di surga adalah hakim yang tau kebenaran dan memutuskan berdasarkan kebenaran tersebut. sedangkan hakim yang tau kebenaran dan menyimpang (dalam membuat keputusan) dari kebenaran tersebut atau memutuskan tanpa dasar pengetahuan maka keduanya ada di neraka. HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Tirmidzi dan Al-Nasa’i.
Akhir kata, inilah kriteria pemimpin yang berhasil penulis elaborasi dari beberapa kisah dalam Alquran. Jadi, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang kompeten, kredibel dan kapabel serta mampu berlaku adil. Kriteria seperti ini muncul karena seorang pemimpin dianggap layak untuk mengurusi kepentingan semua orang, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Wallah a’lam.