Sebagaimana dikatakan oleh Thomas Kuhn, seorang filsuf yang konsen di bidang filsafat ilmu, bahwa ilmu pengetahuan akan senantiasa berdinamika dan berevolusi seiring dengan berjalannya waktu. Menurut Kuhn, ketika teori-teori atau konsep-konsep lama tidak mampu menjawab anomali-anomali yang muncul akibat pergeseran paradigma pemikiran, di situlah awal mula terjadinya revolusi pengetahuan.
Dengan karakternya yang transparan, ilmu pengetahuan tentu akan senantiasa menerima kritik untuk kemudian mengalami dinamisasi. Tak terkecuali teori-teori dalam rumpun ilmu agama seperti teori-teori dalam usul fikih. Salah satu teori atau konsep dalam usul fikih atau metode penafsiran teks yang kerap kali menjadi sorotan para cendekiawan masa kini adalah konsep tentang nasakh.
Dalam literatur-literatur klasik, nasakh adalah menghapus atau menganulir hukum syar’i dengan berlandaskan dalil syar’i lain yang datang lebih belakangan. Yang dimaksud dengan menghapus hukum] dalam definisi di atas adalah menonaktifkan hukum syar’i tersebut sehingga ia tidak lagi dapat diaplikasikan sebagai perspektif dalam menghukumi suatu fenomena [Ghayah al-Wushul, hal. 97].
Sejatinya teori nasakh hadir sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan kontradiksi antara dua dalil yang dinilai bertentangan. Hal ini terlihat ketika nasakh sendiri menjadi salah satu metode menyelesaikan kontradiksi antara dua dalil. Akan tetapi, dalam diskursus usul fikih, nasakh hanya boleh diaplikasikan apabila metode-metode yang lain tidak mampu menyelesaikan kontradiksi antara dua dalil tersebut [‘Ilm Ushul Fikih, hal. 200].
Baca juga: Jasser Auda dan Tawaran Teori Sistem dalam Hukum Islam
Tidak sedikit cendikiawan muslim kontemporer yang mempertanyakan kembali konsep nasakh yang diajukan oleh ulama klasik. Bahkan, ada yang menilai bahwa nasakh sejatinya merupakan wujud kegagalan ulama dalam mengkompromikan dua teks yang kontradiksi. Di antara cendikiawan muslim yang cukup getol menolak konsep nasakh adalah Jasser Auda.
Jasser Auda merupakan seorang cendikiawan muslim yang lahir pada tahun 1966 di Kairo, Mesir. Ia tergolong unik karena memiliki latar belakang keilmuan sains dan hukum Islam pada saat yang bersamaan. Hal inilah yang mengilhami Jasser Auda untuk melakukan kajian mendalam terkait hukum Islam dengan pendekatan ilmu sains. Salah satu kontribusinya dalam dunia pemikiran Islam adalah pengembangan konsep maqashid syariah dengan pendekatan teori sistem.
Konsep maqashid syariah yang diusung oleh Jasser Auda ternyata kontra produktif dengan konsep nasakh. Alih-alih menggunakan konsep nasakh, Jasser Auda menyuarakan pembacaan maqashidiyah terhadap teks-teks suci sehingga dapat menghasilkan pemahaman yang lebih komprehensif dan tentunya sejalan dengan maqashid syariah.
Poin-Poin Kritik Jasser Auda terhadap Teori Nasakh
Salah satu karya Jasser Auda yang mengkritik teori nasakh dan menawarkan pendekatan maqashid sebagai alternatif adalah kitab berjudul Naqd Nadzariyat al-Naskh: Bahts fi Fiqh Maqashid Syari’ah. Dalam kitab tersebut, Jasser Auda memaparkan beberapa anomali dan kritik terhadap teori nasakh.
- Tidak ada landasan normatif baik dari Alquran maupun hadis yang secara tegas melegitimasi teori nasakh
Menurut Auda, nomenklatur nasakh dan yang semakna dengannya hanya ditemukan dalam surah Al-Baqarah ayat 106 dan An-Nahl ayat 101.
{مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}
“Ayat yang Kami nasakh (batalkan) atau Kami jadikan (manusia) lupa padanya, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Apakah engkau tidak mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
{ وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ}
“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat dengan ayat yang lain, dan Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) hanya mengada-ada saja.” Sebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
Dalam berbagai literatur tafsir, dua ayat di atas sering dijadikan bukti keberadaan nasakh. Dalam Tafsir al-Nasafi misalnya, dijelaskan bahwa ayat ke 101 surah An-Nahl di atas turun sebagai respons atas ejekan kaum kafir atas inkosistensi aturan yang dibawa Nabi Muhammad saw. karena di suatu waktu memerintahkan demikian, tetapi di lain waktu malah melarangnya. Maka turunlah ayat di atas sebagai respons atas hal tersebut [Tafsir al-Nasafi, juz 2, hal. 233].
Baca juga: Abdullahi Ahmed Al-Na’im: Nasakh Terbalik sebagai Landasan Epistemologis Dekonstruksi Syariah
Akan tetapi, menurut Jasser Auda, ayat di atas tidak secara tegas menunjukkan keberadaan nasakh. Ada berbagai penawaran tafsiran yang dinilai Auda lebih mudah diterima daripada penafsiran di atas. Di antaranya adalah bahwa ayat ke 106 surah Al-Baqarah di atas tidak sama sekali menyinggung tentang nasakh teks, melainkan penggantian dan pembaruan mukjizat satu nabi dengan nabi yang lain. lafad آية dalam ayat tersebut menurut penafsiran yang dipilih Auda, bukan bermakna teks Alquran tetapi bermakna mukjizat.
Sedangkan ayat ke dalam surah An-Nahl di atas menurut Auda kurang tepat ditafsiri demikian. Hal ini mengingat bahwa ayat tersebut turun pada fase dakwah Nabi di Makkah. Sudah maklum bahwa pada waktu itu adalah fase penguatan akidah sehingga masih belum ada rumusan-rumusan hukum halal-haram sebagaimana yang ada pada fase dakwah di Madinah. Menurut Auda, sebagaimana dikutip dari Syaikh Muhammad Ghazali, secara historis pada waktu itu tidak pernah ada yang mempertanyakan inkonsistensi hukum Islam karena memang hukum Islam belum terbentuk secara utuh.
- Tidak ada kontradiksi dalam Alquran
Salah satu yang menjadi sebab kemunculan teori nasakh adalah adanya kontradiksi antarnas. menurut Auda, kontradiksi yang menjadi prasyarat berlakunya konsep nasakh tidak pernah dijumpai dalam setiap contoh nasakh yang ada dalam penafsiran klasik. Ayat-ayat yang dianggap kontradiksi sejatinya tidak benar-benar bertolak belakang secara diametral. Nas-nas tersebut sejatinya masih bisa dikompromikan dengan berbagai cara dan sudut pandang.
- Tidak adanya keharusan mengikuti dalil yang lebih baru
Salah satu argumentasi yang dibangun dalam teori nasakh adalah nas yang hadir belakangan akan menasakh nas yang hadir lebih dulu. Menurut Auda, premis ini bermasalah. Hal ini karena tidak ada keharusan bagi kita untuk mengikuti nas yang lebih baru sehingga meninggalkan secara utuh nas yang datang lebih dulu.
Baca juga: Pengertian Nasakh dan Penggunaannya dalam Alquran Menurut Para Ulama
- Nasakh merupakan otoritas syari’
Menurut Auda, hal yang paling penting diingat adalah otoritas nasakh sepenuhnya ada di tangan syari’ (Allah dan Rasul-Nya). Andaipun nasakh memang ada maka ia hanya akan diterima manakala ada riwayat yang benar-benar diyakini dari Nabi bahwa ayat atau hadis itu memang dinasakh. Dalam nasakh, asumsi pribadi sama sekali tidak dapat diterima meskipun ia adalah seorang sahabat nabi.
Demikianlah poin-poin yang menjadi kritik Jasser Auda terhadap teori nasakh. Memang tidak sedikit cendekiawan muslim kontemporer yang menolak adanya nasakh, sebagaimana tidak sedikit pula yang masih meyakini keberadaannya. Pendapat Jasser Auda ini memang cukup progresif dan argumentatif, tetapi masih menyisakan ruang untuk didiskusikan kembali. Sekian.