Beberapa masyarakat umum beranggapan bahwa term kafir selalu identik dengan non muslim dan merupakan lawan kata iman. Padahal, term ini memiliki arti yang sangat variatif, meski pada umumnya, term ini sering digunakan sebagai lawan kata dari iman.
Secara etimologi, kata kafir merupakan bentuk isim fa’il dari akar kata kufr, yang berarti menutup. Dalam al-Qur’an, term ini tidak selalu digunakan untuk menyebut orang-orang yang tidak beriman kepada Allah Swt. Term ini memiliki berbagai macam derivasi dalam al-Qur’an, diantaranya : pertama, kafur, yang secara bahasa berarti kelompok yang menutupi buah. Term ini muncul satu kali dalam al-Qur’an (Q.S. al-Insan : 5) yang diartikan sebagai nama suatu mata air di surga yang airnya putih, baunya sedap serta enak rasanya.
Kedua, kuffar (bentuk jamak dari kafir). Kuffar dalam Al-Quran ada di banyak tempat, salah satunya di QS. al-Hadid: 20. Ketiga, Kaffarah. Kata ini berarti denda penebus dosa atas kesalahan tertentu. Kata ini muncul 3 kali dalam al-Qur’an (Q.S. al- Ma>’idah : 45, 89, dan 95).
Ketiga, kaffarah. Kata ini dalam beberapa ayat dimaknai sebagai denda dalam bentuk sedekah atau puasa. Keempat, kaffara – yukaffiru. Kata ini berarti menutupi, menghapuskan atau menghilangkan. Kata ini terulang sebanyak 14 kali dalam al-Qur’an. Semuanya berkaitan dengan penghapusan dosa.
Baca Juga: Memahami Kata Kafir dalam Al Quran
Kuffar dalam Al-Quran juga bermakna para petani
Dari keempat derivasi ini, penulis memfokuskan kajian dalam artikel ini pada derivasi yang kedua, yaitu Kata kuffar yang merupakan bentuk plural dari kata kafir. Salah satu penyebutan kata ini adalah dalam Q.S. al-Hadid [57] : 20. Berikut firman Allah Swt dalam ayat ini :
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَياةُ الدُّنْيا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكاثُرٌ فِي الْأَمْوالِ وَالْأَوْلادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَباتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَراهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطاماً وَفِي الْآخِرَةِ عَذابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوانٌ وَمَا الْحَياةُ الدُّنْيا إِلَاّ مَتاعُ الْغُرُورِ
Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.
Para mufasir berbeda pendapat mengenai khitab ayat ini. Sayyid Tantawi dalam kitab al-Tafsir al-Wasit (14/219) menyatakan bahwa khitab ayat ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman. Sedangkan Wahbah Zuhayli dalam kitab al-Tafsir al-Munir (27/320) berpendapat bahwa khitab ayat ini tidak hanya bagi orang-orang yang beriman, namun mencakup juga seluruh umat manusia.
Para mufasir juga berbeda pendapat mengenai arti dari kata al-kuffar dalam ayat ini. Menurut Sayyid Tantawi dalam tafsirnya, kata ini berarti orang-orang yang mengingkari berbagai nikmat Allah, sehingga mereka menutup diri dari nikmat-nikmat tersebut. Sedangkan menurut riwayat yang bersumber dari ‘Abd Allah bin Mas’ud, kata ini berarti para petani yang menanam tanaman di sawah setelah turun hujan. Menurut penulis, arti ini lebih tepat dari pada arti sebelumnya berdasarkan konteks ayat ini dan pendapa mayoritas mufasir.
Para petani tersebut oleh al-Qur’an disebut dengan kuffar karena setelah melubangi tanah, mereka lalu meletakkan benih di lubang, kemudian menutup benih dalam lubang itu dengan tanah agar benih bisa tumbuh. Perilaku para petani yang menutup benih tersebut oleh al-Qur’an disebut dengan kuffar. Makna ini terambil dari arti kata kufr secara etimologi, yaitu menutup.
Jadi, yang dimaksud kuffar dalam Al-Quran pada ayat ini bukan orang-orang yang tidak beriman dan tidak mensyukuri nikmat Allah Swt. Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (14/38), penggunaan kata kafir pada ayat ini – walaupun yang dimaksud adalah petani -, namun memberi kesan bahwa demikian itulah sikap orang-orang yang jauh, dari tuntunan agama, yakni sangat senang dan tergiur oleh hiasan dan gemerlapan duniawi.
Ilustrasi Al-Quran tentang kemegahan dunia
Selain itu, karakter dan perilaku para petani dalam ayat ini dihubungkan oleh al-Qur’an dengan kehidupan dunia yang penuh kemegahan, namun kemegahan itu cepat sirna. Keadaan dunia yang demikian diungkapkan oleh al-Qur’an dengan gambaran konkret tentang para petani yang merasa sangat takjub dengan berbagai tanaman yang tumbuh karena siraman hujan. Tanaman tersebut terlihat hijau dan segar. Namun, tak lama kemudian tanaman-tanaman itu berubah menjadi kuning, kering lalu hancur dan sirna oleh terpaan angin. Mereka merasa takjub dengan sesuatu yang cepat musnah, seperti orang-orang yang terlena dengan kemegahan dunia.
Tanaman yang ditanam oleh para petani itu memiliki batas akhir, cepat berakhir dan batas akhirnya itu dekat. Kemudian, tanaman itu akan hancur. Begitulah seluruh rangkaian kehidupan berakhir dalam sosok dinamis seperti itu, yang berasal dari pemandangan yang biasa dilihat oleh manusia. Dunia berakhir dalam pemandangan kehancuran.
Ungkapan dalam ayat ini menurut Zuhayli dalam al-Tafsir al-Munir (27/321) sebagaimana dalam Q.S. Yunus [10]: 24
إِنَّما مَثَلُ الْحَياةِ الدُّنْيا كَماءٍ أَنْزَلْناهُ مِنَ السَّماءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَباتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعامُ حَتَّى إِذا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَها وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُها أَنَّهُمْ قادِرُونَ عَلَيْها أَتاها أَمْرُنا لَيْلاً أَوْ نَهاراً فَجَعَلْناها حَصِيداً كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذلِكَ نُفَصِّلُ الْآياتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, hanya seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah tanaman-tanaman bumi dengan subur (karena air itu), di antaranya ada yang dimakan manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan berhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), datanglah kepadanya azab Kami pada waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman)nya seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan Kami) kepada orang yang berpikir.”
Baca Juga: Makna dan Urgensi Perumpamaan dalam Al-Quran
Pola perumpamaan dalam Q.S. al-Hadid (57) : 20 ini merupakan seni ilustrasi al-Qur’an yang mengungkapkan gagasan abstrak dengan menggunakan hal-hal konkret yang mampu ditangkap oleh panca indera manusia. Kemegahan dunia yang cepat sirna merupakan gagasan abstrak yang dijelaskan dengan perumpamaan yang konkret, yaitu tanaman yang cepat kering. Dengan demikian, manusia akan lebih mudah menangkap pesan-pesan ilahiyah dari al-Qur’an. Wallahu a’lam