Dalam kajian fikih muamalah, ada istilah syirkah (harta yang dimiliki dan dikelola bersama-sama). Sedangkan skema akad dalam kegiatan perekonomian yang menggunakan syirkah itu biasanya dikenal dengan musyarakah. Secara umum, musyarakah merupakan akad kerja sama yang dilakukan oleh dua orang terhadap suatu harta (modal) untuk dikembangkan bersama dengan sistem bagi hasil sesuai kesepakatan bersama. Akad ini kemudian banyak digunakan dalam kegiatan perekonomian kontemporer, seperti transaksi di bank, saham atau investasi. Terkait tentang landasan hukum musyarakah, ada beberapa ayat Alquran yang menurut para ulama menyiratkan kebolehan akad tersebut, tentu dengan beberapa syarat.
Dalam Alquran, terdapat beberapa ayat yang menjadi legalitas musyarakah. Di antaranya adalah Q.S. Shad [38]: 24, Q.S. Al-Nisa [4]: 12 dan Q.S. Al-Anfal [8]: 41.
Baca Juga: Dalil Al-Quran Tentang Akad Ijarah
Landasan hukum musyarakah
Ayat pertama yang menjadi landasan hukum musyarakah yaitu surah Shad [38]: 24
…..قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ
Dia (Daud as.) berkata, “Sungguh, dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk (ditambahkan) kepada kambingnya. Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu.”, Q.S. Shad [38]: 24.
Ayat di atas mengisahkan kejadian dua orang yang sedang berperkara di masa Nabi Daud a.s.Salah satu di antara mereka memiliki 99 ekor kambing, sedangkan orang yang satunya hanya memiliki seekor kambing. Pemilik seekor kambing ini mengadu kepada Nabi Daud a.s. bahwa kawannya yang memiliki 99 ekor kambing tadi ingin mengambil kambing yang dia miliki. Dengan spontan Nabi Daud a.s. menyalahkan pemilik 99 ekor kambing karena ingin mengambil hak orang lain. Kemudian beliau memberi nasihat bahwa jika tidak dilandasi dngan iman dan amal saleh, orang-orang yang berserikat kerap kali saling menzalimi satu sama lain. [Tafsir al-Maraghi, jilid 23, hlm. 109-110]
Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaili, ayat di atas menjadi salah satu dalil disyariatkannya syirkah dalam Islam [Tafsir al-Munir, jilid 23, hlm. 190]. Lebih tepatnya lagi, syirkah sebagai akad (musyarakah). Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa praktik menggabungkan harta untuk kemudian dikembangkan bersama sudah terjadi di zaman Nabi Daud a.s. Walaupun pada saat itu, Nabi Daud a.s. sendiri mengakui bahwa kerap kali terjadi tindakan zalim di antara mereka yang bekerja sama manakala mereka ia tidak memiliki latar belakang keimanan yang kuat.
Dalam kitab tafsirnya, Imam al-Qurthubi menyebutkan dua tawaran makna dari ulama untuk kata khulatha’ (dalam ayat 24 surah Shad), yaitu ashhab (teman) dan syuraka’ (sekutu). Selanjutnya, beliau memaparkan perbedaan pandangan ulama terkait kriteria seorang khalith (sekutu). Menurut mayoritas ulama, perserikatan akan terjadi ketika misalnya masing-masing dari dua orang menggabungkan hewan ternak miliknya kemudian digembala oleh seseorang di kandang dan ladang yang sama. Artinya, pemilik modal dan pekerja bisa beda orang.
Sedangkan menurut Imam Thawus dan Imam Atha’, serikat dalam harta hanya dapat terjadi manakala keduanya menggabungkan harta kemudian merawat dan mengembangkannya bersama-sama [Tafsir al-Qurthubi, jilid 15, hlm. 179].
Baca Juga: Polemik Short Selling dalam Perspektif Legal Islam
Landasan hukum musyarakah yang kedua yaitu surah Al-Nisa’ [4]: 12
….فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُث…..
…Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu,… Q.S. Al-Nisa’ [4]: 12.
Penggalan ayat di atas dan ayat sebelumnya menjelaskan secara gamblang tantang ketentuan pembagian harta waris. Dalam Tafsir al-Maraghi dijelaskan bahwa dalam kasus kalalah (orang meninggal yang tidak memiliki anak laki-laki, cucu dan seterusnya; juga sudah tidak memiliki ayah, kakek dan seterusnya), saudara laki-laki atau perempuan seibu akan memperoleh bagian seperenam dari harta warisan yang ada. Namun, jika jumlah mereka (saudara laki-laki atau perempuan seibu) lebih dari satu orang, maka mereka berbagi dalam bagian sepertiga [Tafsir al-Maraghi, jilid 4, hlm. 201].
Prinsip syirkah dalam ayat di atas dapat diperoleh dari kata فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ. Syirkah yang diapresiasi oleh Allah Swt. dalam ayat diatas berupa syirkah al-amlak atau syirkah ‘ain yakni ketika beberapa orang saudara berkongsi dalam bagian sepertiga dalam harta warisan [Al-Bahr al-Rai’q Syarah Kanz al-Daqaiq, jilid 5, hlm. 179].
Ayat di atas memang kerap kali dikutip dalam kitab-kitab fikih untuk menjustifikasi legalitas syirkah. Dalam Kitab al-Fiqh al-Manhaji, disebutkan bahwa ayat tersebut menjadi salah satu ayat yang cukup jelas mengindikasikan tentang disyariatkannya syirkah [Al-Fiqh al-Manhaji, jilid 7, hlm. 58].
Baca Juga: Tafsir Surah An-Nisa’ ayat 29: Prinsip Jual Beli dalam Islam
Landasan hukum musyarakah berikutnya yaitu surah Al-Anfal [8]: 41
وَاعْلَمُوا أَنَّما غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبى وَالْيَتامى وَالْمَساكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَما أَنْزَلْنا عَلى عَبْدِنا يَوْمَ الْفُرْقانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعانِ وَاللَّهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil, (demikian) jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Q.S. Al-Anfal [8]: 41
Ghanimah merupakan harta rampasan dari orang-orang kafir yang diperoleh melalui peperangan. Menurut Imam al-Mawardi, ayat di atas menjadi salah satu dalil dilegalkannya praktek syirkah, lebih tepatnya syirkah kepemilikan. Dalam ayat tersebut, Allah swt. menjadikan seperlima dari harta ghanimah dimiliki bersama oleh golongan yang disebutkan dalam ayat (Allah swt., RasulNya, kerabat Rasullullah saw., anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil). Sedangkan empat bagian sisanya dimiliki bersama oleh pasukan yang ikut andil dalm pertempuran tersebut [Al-Hawi al-Kabir, jilid 6, hlm. 469].
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa ayat Alquran, baik secara eksplisit maupun implisit mengakui legalitas musyarakah. surah Shad ayat 24 menunjukkan bahwa musyarakah sebagai sebuah kesepakatan kerjasama memang telah terjadi bahkan sejak masa Nabi Daud a.s. Menurut pembagian syirkah, harta yang dikelola dengan akad demikian disebut dengan syirkah al-‘uqud.
Sedangkan dua ayat berikutnya menjelaskan tentang adanya pengakuan syariat terhadap harta hak milik bersama dikarenakan ada sebab seperti pembagian warisan dan harta rampasan perang. Bagian ini yang disebut oleh Wahbah Az-Zuhaili dengan syirkah al-amlak. Wallahu a’lam.