BerandaTafsir TematikTafsir KebangsaanSurah An-Nisa : 59: Larangan Melakukan Kudeta terhadap Pemerintah yang Sah

Surah An-Nisa [4]: 59: Larangan Melakukan Kudeta terhadap Pemerintah yang Sah

Kata taat dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa arab yakni ta-waw-‘ain (طوع) yang memiliki arti dengan sukarela, suka hati dan taat. Sedangkan kudeta dalam bahasa arab adalah inqilabu (انقلاب). Dalam KBBI online kata taat memiliki arti senantiasa tunduk kepada Tuhan pemerintah, tidak berlaku curang, setia dan sebaginya. Sedangkan kudeta, masih dalam KBBI, bermakna perebutan kekuasaan (pemerintahan) dengan paksa. Jadi, mengudeta berarti melakukan perbutan kekuasaan dengan paksa dan tidak secara sah.

Sejalan dengan makna di atas, di dalam Al-Qur’an perintah menaati pemimpin terdapat dalam QS. An-Nisa’ [4]: 59. Sedangkan kudeta, secara spesifik ayat Al-Qur’an tidak menyebutnya. Akan tetapi, menaati pemimpin/penguasa sejalan dengan untuk tidak mengkudeta pemimpin yang sah. Hal tersebut akan dieksplor dari ayat QS. An-Nisa’ [4]: 59.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ  فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).

Tafsir Surah An-Nisa [4]: 59

Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Wajiz menafsirkan ayat di atas dengan menaati Allah melalui apa yang telah diturunkan di dalam Al-Qur’an. Sedangkan yang dimaksud dengan menaati Rasulullah adalah menaati apa yang telah ditetapkan di dalam sunnah dengan penuh ketulusan. Adapun ulil amri dimaknai dengan menaati ulama’ yang memerintahkan kepada kebenaran dan kepada para pemimpin (penguasa) untuk memerintah agar taat kepada allah dan membawa kemaslahatan di dunia. Apabila terjadi perselisihan di dalam urusan agama dan dunia, maka kembalikanlah urusan tersebut berdasarkan kitab yang mulia (al-Qur’an) dan as-Sunnah (hadits) (Al-Wajiz, juz 5, hlm. 88).

Baca Juga: Kemuliaan Bekerja Sebagai Petani, Tafsir Surah Yasin Ayat 34-35

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menyebutkan bahwa perintah taat kepada ulil amri tidak disertai dengan kata taatilah karena mereka tidak memiliki hak untuk ditaati bila ketaatan kepada mereka bertentangan dengan keataatan Allah SWT atau Rasul SAW. Kata uli al-amr, menurut Shihab, adalah orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum muslimin. Mereka adalah orang yang dapat diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan. Bisa saja mereka adalah para penguasa/pemerintah, ulama, ataupun yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya (Al-Mishbah, vol. 2, hlm. 585).

Terhadap ayat di atas, Tafsir Kementerian Agama membagi ke dalam beberapa poin penjelasan. Pertama, taat dan patuh kepada perintah Allah dengan mengamalkan isi Kitab suci Al-Qur’an, melaksanakan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, sekalipun dirasa berat, tidak sesuai dengan keinginan dan kehendak pribadi. Sebenarnya segala yang diperintahkan Allah itu mengandung maslahat dan apa yang dilarang-Nya mengandung mudarat. Kedua, melaksanakan ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah saw pembawa amanat dari Allah untuk dilaksanakan oleh segenap hamba-Nya.

Ketiga, patuh kepada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan ulil amri yaitu orang-orang yang memegang kekuasaan di antara mereka, dengan syarat tidak bertentangan dengan Kitab Al-Qur’an dan hadis. Dan, keempat, kalau ada sesuatu yang diperselisihkan dan tidak tercapai kata sepakat, maka wajib dikembalikan kepada Al-Qur’an dan hadis. Kalau tidak terdapat di dalamnya haruslah disesuaikan dengan (dikiaskan kepada) hal-hal yang ada persamaan dan persesuaiannya di dalam Al-Qur’an dan sunah Rasulullah saw.

Refleksi Ayat

Di atas, penulis sudah mengemukakan bahwa tidak ada ayat al-Qur’an yang secara ekplisit memerintah larangan mengudeta pemimpin/pemerintah. Akan tetapi, QS. An-Nisā’ [4]: 59 yang memiliki beberapa point, salah satunya adalah menaati pemerintah, itu pun dengan catatan asal tidak bertentangan dengan Alqur’an dan Hadist.

Ini berarti larangan kudeta terhadap pemimpin yang sah sejalan dengan semangat Al-Qur’an yang telah mengikrarkan agar setiap warganya taat terhadap para pemimpin. Dengan demikian, kalau al-Qur’an menempatkan taat kepada pemimpin setelah taat kepada Allah dan rasulnya maka ia juga berlaku keharaman untuk melakukan pemberontakan ataupun kudeta terhadap penguasa yang sah.

Baca Juga: Mengupas Makna Khauf dan Khashyah, 2 Kosakata Takut dalam Al-Quran

Dalam cakupan yang lebih kecil, misalnya keluarga, taat kepada ayah/ibu adalah sebuah kewajiban. Tapi, sekali lagi penulis tekankan, selama ketaatan terhadap kedua orang tua itu tidak bertentangan dengan larangan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Artinya, ketaatan pada orang tua itu tidak mutlak. Kewajiban tersebut juga berbarengan dengan larangan membentak, durhaka, dan lain-lain. Seperti dalam QS. Al-Isra’ [17]: 23, fala taqul-lahuma uffin, dan janganlah sekali-kali kamu berkata “ah” kepada keduanya. Sedangkan dalam cakupan yang lebih luas, kata “ah” bisa kita artikan jangan memberontak/mengkudeta terhadap penguasa, baik itu presiden, gubernur, bupati, pak camat, kepala desa, kepala RW dan kepala RT.

Semangat larangan menaati pemimpin (kedua orang tua) tersebut bisa kita contoh dari wasiat Luqman terhadap anaknya yang diabadikan dalam Al-Qur’an. Salah satu wasiat itu berbunyi, “Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang engkau tidak punya ilmu tentang itu, janganlah patuhi keduanya, (tetapi) pergauilah keduanya di dunia dengan baik……..(QS. Luqman [31]: 15).  

Alhasil, semangat menaati pemimpin/pemerintah juga mengandung semangat larangan untuk tidak mengkudetanya. Dengan catatan bahwa pemerintah yang berkuasa tidak berlaku zolim. Kalaupun berlaku zalim, Islam memperingatkan agar mengajak (memperingatkan) siapapun, baik itu penguasa ataupun orang biasa dengan mauizoh al-hasanah (nasehat-nasehat yang baik) juga bersabar (QS. An-Nahl [16]: 125. Semoga negara Indonesia selalu dijaga oleh Allah dan menjadi negara yang baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur, yakni negeri yang damai dan makmur berkat ampunan Rabb-Nya sehingga makhluk di dalamnya selalu mendapat kebaikan dan keberkahan. Wallahu’alam bish-showab.

Abdus Salam
Abdus Salam
Alumni STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta. Penikmat kopi dan kisah nabi-nabi.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU