Dalam diskursus keilmuan Fikih-Ushul Fikih, term hilah atau tahayyul muncul ketika ada upaya untuk mengindar dari pembebanan hukum. Hilah dilakukan misalnya supaya seseorang terhindar dari kewajiban atau agar tindakan yang dia lakukan tidak dicap sebagai perbuatan yang melanggar larangan syariat.
Tindakan seperti ini menuai tanggapan yang cukup beragam dari para ulama. Ada yang melegalkan praktik tersebut secara mutlak, ada pula yang melegalkan dengan beberapa catatan dan batasan operasional. Ada juga ulama yang menolak praktek hilah ini dan menyebutnya sebagai al-fiqh al-dhar (fikih yang berbahaya). Salah satu yang dikenal menolak dengan praktek ini secara total adalah Imam Ibnu Qayyim dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in. Bahkan, penolakannya terhadap hilah serta sanggahan-sanggahannya terhadap ulama yang melegalkannya tersaji dalam porsi yang lumayan banyak dalam kitabnya tersebut.
Baca Juga: Alquran dan Ilmu Ushul Fikih
Definisi hilah
Dalam kitab at-Ta’rifat, al-Jurjani mendefinisikan hilah sebagai segala hal yang dapat mengalihkan seseorang dari perkara yang tidak dia senangi menuju sesuatu yang disenangi. Sedangkan dalam terminologi fikih-ushul fikih, hilah adalah melakukan perbuatan yang dilarang syariat dengan cara atau format yang dilegalkan dalam syariat. atau, melakukan perbuatan batil dengan bentuk atau format yang tidak melanggar ketentuan syariat dengan tujuan agar terbebas dari tanggungan dan dosa. (Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, hal. 121). Istilah lain yang lebih sederhana yaitu ‘menyiasati hukum’.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hilah atau tahayyul merupakan suatu siasat agar bisa terlepas dari beban kewajiban atau terbebas dari vonis melakukan dosa. Contoh konkretnya seperti orang yang memiliki harta yang sudah sampai satu nisab (batas minimal harta dikenai kewajiban zakat), misalnya memiliki emas 92 gram. Sebelum kepemilikan terhadap emas 92 gram tersebut genap satu tahun, 10 gram –misalnya- dari emas tersebut dijual atau dipindahtangankan kepada orang lain sehingga dia tidak lagi dibebani untuk mengeluarkan zakat emas tersebut karena belum memenuhi syarat, yakni kepemilikan harta satu nisab selama satu tahun.
Dalam kajian ilmu fikih, tindakan tersebut tidak menjadi masalah jika dilakukan karena suatu alasan yang dibenarkan. Yang menjadi problem adalah ketika hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar terbebas dari kewajiban membayar zakat. Tidak sedikit ulama yang mengecam dan menvonis haram tindakan tersebut, di samping ada juga sebagian ulama yang tetap membolehkannya.
Baca Juga: Konsep Dalil dalam Usul Fikih: Definisi, Klasifikasi, dan Legalitas
Legalitas praktek hilah dalam Alquran
Secara umum, mayoritas ulama mengakui eksistensi dan legalitas praktik hilah dalam hukum Islam. Landasan yang digunakan untuk menjustifikasi keabsahan praktek hilah secara umum di antaranya adalah surah Shad ayat 44.
وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِبْ بِهِ وَلَا تَحْنَثْ إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ [ص: 44]
“Dan ambillah seikat (rumput) dengan tanganmu, lalu pukullah dengan itu dan janganlah engkau melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah).” Q.S. Shad [38]: 44
Secara umum, ayat di atas mengisahkan tentang perintah Allah kepada Nabi Ayyub as. untuk mengumpulkan seratus helai rumput kering dan kemudian diikat untuk memukul istrinya. Hal ini karena ketika dalam kondisi sakit, Nabi Ayyub as. pernah bersumpah akan memukul istrinya dengan seratus kali pukulan. Setelah Nabi Ayyub as. sembuh, beliau tidak sampai hati jika harus memukuli istri yang selama ini telah setia menemani dan merawatnya. Akhirnya, Allah Swt. memerintahkan Nabi Ayyub as. untuk tetap menjalankan sumpahnya untuk memukul istrinya dengan menggunakan serarus helai rumput kering.
Ayat di atas, menurut sebagian mufasir, merupakan dalil kebolehan melakukan praktik hilah. Dalam kitabnya, al-Jashshash menegaskan perihal tersebut. (Ahkam al-Quran lil al-Jashash, juz 5, hal. 260).
Hal serupa juga diungkapkan oleh Syaikh Wahbah al-Zuhaili. Menurutnya, dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa seseorang sah dengan siasat apa pun mengupayakan sesuatu untuk memperolah haknya atau mencapai tujuannya, akan tetapi ini berlaku selama siasat yang digunakan tidak samapi melanggar aturan syariat. [Tafsir al-Munir, juz 13, hal. 32].
Dalam hal ini, Imam al-Alusi mengatakan,
وَعِنْدِي أَنّ كُلَّ حِيْلَةٍ أَوْجَبَتْ إِبْطَالَ حكمة شرعية لَا تَقْبَلُ كَحِيْلَةِ سُقُوطِ الزَّكَاةِ وحِيلةِ سُقُوطِ الْاِسْتِبْرَاء وهذا كالتَّوَسُّطِ فِي الْمَسْأَلة فإنَّ مِنَ الْعُلماء مَنْ يَجُوزُ الْحِيْلَةَ مُطْلَقًا ومِنْهُم مَنْ لا يجوزها مطلقا
Menurutku, setiap bentuk hilah yang berpotensi menganulir maqasid syariah tidak dapat diterima. contonya seperti hilah untuk menggugurkan kewajiban zakat, atau hilah agar terbebas dari kewajiban istibra’. Ini merupakan sikap moderat dalam masalah ini. Sebab, diantara para ulama ada yang membolehkan hilah secara mutlak ada pula yang tidak membolehkannya secara mutlak. (Ruh al-Maani, juz 12, hal. 200)
Baca Juga: Gus Baha: Belajar Tafsir Harus Berbasis Fikih
Menurut Ibnu Asyur, hilah yang boleh adalah segala tindakan yang tidak bertentangan secara diametral dengan maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat) dan atau memiliki sumber acuan maqasid lain, sehingga hilah yang berpotensi menghilangkan tujuan syariat dan tidak memiliki acuan maqashid (tujuan) syariah lain tidak diperbolehkan dalam hukum Islam.
Sebagai misal yaitu mendermakan sebagian kecil harta zakat di akhir tahun dengan tujuan agar terbebas dari kewajiban zakat. Hal ini tidak boleh dilakukan karena menghilangkan tujuan syariat berupa pemberdayaan masyarakat melalui zakat.
Selain itu, tindakan tersebut juga tidak beralih kepada tujuan syariat lain. Beda halnya jika harta tersebut digunakan untuk membayar cicilan ongkos haji misalnya. Menurut Ibnu Aysur, hal tersebut dibolehkan meskipun niat awalnya agar harta yang tersisa tidak dikenai kewajiban zakat. Alasannya karena sejatinya tindakan tersebut tidak dilakukan dengan motif menghindari kewajiban, melainkan beralih dari satu kewajiban ke kewajiban lain. [Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, hal. 123-124]
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa melakukan hilah atau siasat agar terhindar dari ketentuan hukum tertentu adalah dibolehkan selama ada alasan yang dibenarkan. Namun, tindakan ini berkutat hanya di ranah formalitas saja. Adapun dari aspek spiritual, sangat kurang etis kiranya jika seseorang ingin menghindar dari ketetapan dan hukum Allah, kecuali memang ada alasan yang kuat dan dibenarkan secara syara untuk melakukannya. Wallahu a’lam.