BerandaTafsir TematikLima Pedoman Hidup Bermasyarakat: Refleksi Surah Al-Hujurat Ayat 11-13

Lima Pedoman Hidup Bermasyarakat: Refleksi Surah Al-Hujurat Ayat 11-13

Manusia itu makhluk sosial, ia tidak bisa hidup sendiri. Ia pasti dan butuh berinteraksi dengan orang lain dalam banyak hal. Untuk memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, seseorang harus memiliki adab dan akhlak yang baik. Adab dan akhlak itu merupakan pedoman hidup bermasyarakat dan aturan berinteraksi dengan sesama yang harus diperhatikan. Al-Quran pun turut menjelaskan beberapa aturan dan pedoman ini, khususnya dalam surah Al-Hujurat ayat 11-13.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Baca Juga: Krisis Kemanusiaan, Gus Mus Serukan Para Kyai Memviralkan Kandungan Surat Al-Hujurat

Lima Pedoman Hidup Bermasyarakat dalam Surah Al-Hujurat

Berikut aturan-aturan, pedoman hidup bermasyarakat dan adab berinteraksi antar sesama manusia yang termaktub dalam firman Allah surah Al-Hujurat [49]: 11-13

  1. Menjaga harga diri orang lain dengan tidak merendahkan, menghina dan mengejeknya.

Pada ayat 11 surah Al-Hujurat Allah melarang kepada orang-orang yang merasa punya iman agar jangan mengejek orang lain, karena bisa jadi orang yang dihina itu kelak di hadapan Allah justru lebih baik daripada yang menghina. Ini pedoman hidup bermasyarakat yang pertama.

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab al-Tafsir al-Munir menyebutkan ada beberapa sabab nuzul terkait ayat ini. Ada riwayat yang menyatakan ayat ini terkait dengan utusan dari Bani Tamim yang mengolok-olok sahabat yang kekurangan secara materi, ada juga riwayat yang mengatakan bahwa ayat ini turun ketika Ikrimah masuk Islam dan kaum muslim saat itu memanggilnya dengan sebutan ‘anaknya firaun’ umat ini (Ikrimah adalah anak Abu Jahal).

Masih ada lagi beberapa riwayat lain terkait sabab nuzul ayat ini, namun itu tidak menjadi masalah, karena ‘ibrah itu diambil dari keumuman lafaz bukan dari kekhususan sebab (al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzh la bikhushush al-sabab), sesuai dengan kaidah tafsir yang disepakati oleh jumhur ulama.

  1. Mengutamakan prasangka baik dan menghindari prasangka buruk

Imam al-Qurthubi dalam kitab al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an membawakan sebuah hadis yang diriwayatkan dalam shahihain dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah bersabda,

إياكم والظن, فإن الظن أكذب الحديث

Jauhilah prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu adalah sedusta-dustanya perkataan…’ (HR. Bukhari & Muslim).

Prasangka di sini adalah apa yang jamak disebut oleh masyarakat Indonesia dengan suuzhan, yakni prasangka buruk kepada orang yang zhahirnya baik ataupun tuduhan buruk kepada orang lain hanya berdasarkan prasangka tanpa adanya bukti nyata yang mendukung.

Surah Al-Hujurat ayat 12 ini bahkan menegaskan bahwa setiap orang harus berhati-hati dengan prasangka buruk yang bisa muncul kapan saja dalam pikirannya, karena sebagian besar dari prasangka itu terdapat dosa yang mengintai.

Baca Juga: Jangan Menggunjing! Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12 Untuk Menjaga Tali Persaudaraan

  1. Tidak mencari-cari keburukan atau aib orang lain.

Pedoman hidup bermasyarakat berikutnya erat kaitannya dengan adanya prasangka buruk, karena biasanya setelah itu seseorang akan terdorong untuk mencari-cari aib, cela dan kekurangan orang lain. Dalam surah Al-Hujurat ayat 12 disebut dengan istilah tajassus, sesuatu yang sangat tercela dalam Islam. Dalam satu hadis Rasulullah pernah bersabda,

…وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Terjemahnya, ‘…Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya kelak di hari kiamat’. (HR. Bukhari & Muslim).

Perbuatan tajassus merupakan perilaku yang kontradiktif dengan spirit hadis tersebut, maka orang yang senang mencari keburukan orang lain sejatinya bertentangan dengan ajaran Rasulullah dan telah melakukan perbuatan yang tiada manfaatnya, sungguh lebih berfaedah jika ia mencari cela dirinya sendiri lalu memperbaikinya.

  1. Tidak julid, gosip atau membicarakan aib kekurangan orang lain.

Jika sudah diawali dengan prasangka buruk, kemudian diiringi dengan mencari-cari aib cela orang lain, maka biasanya akan berujung dengan ghibah, dalam bahasa gaul sering disebut julid. Ada satu untaian nasihat indah berbungkus bait yang dinisbatkan kepada imam al-Syafi’i,

لِسَانُكَ لَا تَذْكُرْ بِهِ عَوْرَةَ امْرِئٍ # فَكُلُّكَ عَوْرَاتٌ وَلِلنَّاسِ أَلْسُنُ

lisanmu jangan kau gunakan untuk menyebut aib cela orang lain # karena setiap kalian memiliki cela dan orang lain juga masing-masing memiliki lisan

Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menyebutkan bahwa pada kalimat “la yaghtab ba’dhukum ba’dha” mengandung makna larangan syariat terhadap aktivitas ghibah. Kalau yang dibicarakan itu benar maka itu termasuk ghibah, namun jika tak benar maka jatuhnya memfitnah saudara sendiri.

Perumpamaan pelaku ghibah seperti sedang memakan bangkai saudara sendiri menunjukkan bahwa perilaku ini sangat menjijikkan dan sangat berbahaya jika terus dilakukan, baik bagi diri sendiri maupun masyarakat. Di Indonesia sendiri ‘congorna tetangga’ adalah satu senjata yang paling berbisa dan terbukti ampuh dalam menyemai benih-benih permusuhan dalam masyarakat.

Baca Juga: Al-Hujurat Ayat 13: Pentingnya Silaturahmi Sebagai Bagian dari Ajaran Islam

  1. Menghargai perbedaan yang ada.

Pedoman hidup bermasyarakat yang diterangkan dalam Qs. Al-Hujurat [49]: 13 adalah dalam bermasyarakat kita harus bisa menghormati perbedaan. Tidak semua yang berbeda dengan kita otomatis keliru, mungkin saja itulah warna kehidupan yang bisa diterima.

Pelangi yang tersusun dari warna yang berbeda-beda itu tetap nampak indah jika diatur dengan sedemikian rupa. Demikian juga dengan manusia, mungkin ada yang bekerja sebagai guru, manajer, buruh, petani, dll, semuanya sejatinya saling membutuhkan.

Seandainya tidak ada buruh, maka bagaimana seorang bos perusahaan bisa menjalankan bisnisnya?. Jika hal ini dipahami, maka hal yang harus dilakukan adalah bersikap adil, saling menghargai satu sama lain dan menjalankan peran yang digeluti dengan adil serta serius sepenuh hati.

Terlebih lagi jika hanya soal perbedaan fisik, hal ini sudah menjadi hukum alam. Maka dalam Islam, tiada mengenal istilahnya rasisme akibat warna kulit ataupun suku.

Dalam ajaran Islam kuncinya adalah takwa, inilah yang membedakan antara satu orang dengan orang yang lain, semakin takwa dan baik seseorang maka akan semakin berharga diri dan hidupnya, baik dihadapan manusia maupun dihadapan Allah.

Demikianlah sedikit dari hikmah pengajaran Allah dalam Al-Quran yang bisa dipetik dari surah Al-Hujurat ayat 11-13. Beberapa pondasi hidup bersosial ini tidak lain dan tidak bukan untuk mewujudkan keadilan, kenyamanan dan keharmonisan hubungan antar sesama, baik dalam tataran keluarga, bermasyarakat hingga bernegara. Wallahu a’lam.

Achmad Syariful Afif
Achmad Syariful Afif
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, peminat kajian Ilmu Al-Quran dan Tafsir
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU