Anjuran mengenal terlebih dahulu mabâdi ‘asyrah yakni sepuluh dasar ilmu qiraat, ilmu yang hendak dipelajari pernah disampaikan oleh seorang sejarawan sekaligus sastrawan bernama Abû al-‘Abbâs Ahmad al-Maqrî at-Tilmisânî (w. 1040 H) penulis kitab Nafh ath-Thayyib fî Ghushn al-Andalus ar-Rathîb melalui gubahan syair dalam sebuah risalahnya, idhâah ad-Dujnah fî I’tiqâd Ahl as-Sunnah:
مَنْ رَامَ فَنًّا فَلْيُقَدِّمْ أَوَّلَا # عِلْماً بِحَدِّهِ وَمَوْضُوْعٍ تَلَا
وَوَاضِعٍ وَنِسْبَةٍ وَمَا اسْتَمَدّْ # مِنْهُ وَفَضْلِهِ وَحُكْمٍ يُعْتَمَدْ
وَاسْمٌ وَمَا أَفَادَ وَالمَسَائِلِ # فَتِلْكَ عَشْرٌ لِلمُنَى وَالسَّائِلِ
وَبَعْضُهُمْ مِنْهَا عَلَى البَعْضِ اقْتَصَرْ # وَمَنْ يَكُنْ يَدْرِي جَمِيْعَهَا انْتَصَرْ
Siapapun yang ingin belajar satu (fann) disiplin ilmu, hendaknya ia mengerti terlebih dahulu definisi dan objek pembahasannya. Pun juga kenal dengan pencetus ilmu itu, sumber dan juga keterkaitannya dengan ilmu lain. Keistimewaan serta hukum mempelajari dan mengajarkannya juga patut diketahui. Sebutan nama dan materi pembahasannya juga tak boleh diabaikan begitu saja. Sepuluh dasar tersebut akan memudahkan tercapainya keinginan menguasai ilmu itu serta memberi gambaran singkat bagi siapapun yang penasaran maupun bertanya. Namun sejumlah pelajar hanya tahu sebagiannya saja. Padahal mengetahui keseluruhan sepuluh itu sangat membantu.
Baca juga: Ragam Penyebutan Manusia dalam Al-Quran, dari Ins sampai Anam
1. Definisi (Hadd)
Ibnu al-Jazarî (w. 833 H) dalam bukunya Munjid al-Muqriîn mendefinisikan ilmu qirâât dengan ilmu yang mempelajari tata cara mengucapkan lafadz-lafadz Al-Quran serta ragam perbedaannya yang disandarkan kepada perawinya. Definisi ini kemudian dilengkapi oleh Abdul Fattah al-Qâdhî (w. 1403 H/1982 M) dalam bukunya al-Budûr az-Zâhirah, sebagai ilmu untuk mengetahui tata cara pelafalan kalimat Al-Quran serta cara bacanya baik yang disepakati maupun ragam perbedaannya disertai penisbatan setiap varian (wajh) tersebut kepada perawinya.
2. Sasaran atau Objek Pembahasan (Maudhû’)
Abdul Fattah al-Qâdhî (w. 1403 H/1982 M) menerangkan bahwa dalam ilmu qirâât objek yang dibahas adalah kata-kata (kalimât) dalam Al-Quran baik secara cara bacanya (adâan) maupun pelafalannya (nuthqan). Lalu objek pembahasan tersebut diperjelas oleh Qadari Muhammad Abdul Wahab dalam kitabnya al-Âdâb wa al-Minah ar-Rabbâniyyah fî Ushûl asy-Syâthibiyyah wa ad-Durrah al-Mudhiyyah dengan menyebutkan beberapa teori. Objek pembahasan ilmu menyasar pada kalimat Al-Quran dari segi cara bacanya seperti qashr, ibdâl dsb.
3. Pencetusnya (Wâdhi’)
Pencetus sebuah disiplin ilmu berarti mereka yang memiliki saham dalam lahirnya ilmu tersebut. Baik yang punya peran meletakkan pondasi maupun yang mengenalkannya secara massif. Para penggagas disiplin ilmu qirâât ini adalah para ulama (imâm-imâm) qirâât yang memiliki jalur tranmisi (riwayat) dari Nabi Muhammad saw.
Sementara ulama yang paling pertama melakukan pengkodifikasian (tadwîn) ilmu qirâât adalah Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Salâm (w. 224 H). Demikian dalam al-Busyrâ fî Taisîr al-Qirâât al-‘Asyr al-Kubrâ karya Muhammad Nabhân bin Husain Mishrî (w. 2015 M). Ada yang berpendapat –disebutkan oleh Muhammad Salim Muhaisin (w. 2001 M) dalam bukunya al-Irsyâdât al-Jaliyyah fî al-Qirâât as-Sab’ min Tharîq asy-Syâthibiyyah– bahwa pencetus ilmu qirâât adalah Hafsh bin ‘Umar ad-Dûrî (w. 246 H).
Baca juga: Warisan Intelektual dari Aljazair: Tafsir Ibnu Badis dan Wacana Reformisme
4. Sebutan Nama (Ism)
Penamaan sebuah disiplin ilmu terkadang memiliki dinamika tersendiri. Terlebih lagi para ulama terdahulu (mutaqaddimîn) pandangannya tak semuanya dan selalu diikuti oleh para generasi penerusnya. Salah satu ilmu yang tidak memiliki banyak nama adalah ilmu Qirâât.
Merujuk kitab al-Âdâb wa al-Minah ar-Rabbâniyyah karya Qadari Muhammad Abdul Wahab, para ulama terdahulu (mutaqaddimîn) ada yang menyebutnya dengan harf seperti mereka katakan qaraa bi harf ‘Âshim (dia membaca dengan qirâah ‘Âshim). Namun saat ini sudah tidak digunakan lagi.
Kata qirâât sendiri merupakan bentuk plural dari kata tunggal qirâah yang artinya satu wajah (varian) cara baca (wajh maqrû bih). Demikian jelas Muhammad Salim Muhaisin (w. 2001 M) dalam kitab al-Irsyâdât al-Jaliyyah. Pemilihan bentuk kata plural (jam’) dalam penamaan disiplin ilmu ini mengindikasikan cara baca (qirâât) Al-Quran itu tidak hanya satu. Namun ada banyak ragam cara baca Al-Quran yang kesemuanya bersumber dari Nabi saw.
5. Hubungan (Nisbah)
Mengetahui hubungan (nisbah) ilmu qirâât ini dengan ilmu lain bertujuan untuk mengerti kedudukan dan urgensi disiplin ilmu ini secara spesifik. Keterkaitannya dengan ilmu-ilmu ke-Al-Quran-an yang lain begitu erat. Varian cara bacanya diakomodasi dalam bentuk tulisan dalam ilmu rasm utsmânî.
Kaitannya dengan ilmu tafsir, ragam cara bacanya yang memberikan banyak opsi makna dalam penafsiran ayat. Kesemua itu disatukan dalam khidmah li alfâzh Al-Qurân (berkhidmah pada Al-Quran) atau dalam bahasa Qadari Muhammad Abdul Wahab min al-‘ulûm asy-syarî’ah. Meski demikian ilmu qirâât mempunyai tabâyun (perbedaan spesifik) dengan ilmu-ilmu lainya.
6. Sumber (Istimdâd)
Merujuk kitab al-Budûr az-Zâhirah karya Abdul Fattah al-Qâdhî (w. 1403 H/1982 M) ilmu qirâât bersumber dari riwayat sahih mutawâtir para perawi Qirâât yang menyambung hingga Nabi Muhammad saw. Kemudian dalam buku kitab al-Âdâb wa al-Minah ar-Rabbâniyyah sumber disiplin ini disederhanakan bahasanya dengan as-sunnah (berbasis riwayat dari Nabi saw) dan al-ijmâ’ (konsesus ulama).
Baca juga: Menanti Riset Manuskrip Al-Qur’an Nusantara Koleksi Prancis
7. Keistimewaan (Fadhl)
Ilmu Qirâât merupakan satu dari sekian ilmu-ilmu ke-Al-Quran-an (‘ulûm Al-Qurân). Keistimewaan yang dimiliki disiplin ilmu ini tentu secara otomatis mengikuti pada keistimewaan dan keutamaan yang dimiliki kitab samawi yaitu Al-Qurân.
Tidak berlebihan jika ilmu qirâât disebut sebagai ilmu syariat yang paling luhur nan mulia. Setidaknya orang yang mempelajarinya bisa mendekatkan diri kepada Allah dan mendapat pahala lebih melalui membaca Al-Quran dengan berbagai riwayat yang banyak.
8. Kegunaan (Tsamrah)
Merujuk Abdul Fattah al-Qâdhî (w. 1403 H/1982 M) dalam bukunya al-Budûr az-Zâhirah, di antara kegunaan ilmu qirâât adalah: menjaga kesalahan baca maupun pelafalan setiap kata dalam ayat, melindungi keotentikan teks-teks Al-Quran dari pemalsuan, mengetahui cara baca setiap imam dan para perawinya, dan untuk memilah mana qirâât yang boleh dibaca dalam shalat (qirâât mutawâtir) dan qirâât yang tidak diperkenankan menjadi bacaan dalam shalat (qirâât syâdzdzah).
Selain itu ilmu ini juga berguna untuk mengetahui kemukjizatannya dengan perbedaan gaya bahasa (uslub) dan menjadi khazanah dan referensi ilmu kebahasaan bagi suku-suku di Arab.
9. Hukum Menekuni Ilmu Qirâât (Hukm asy-Syâri’ fîh)
Mempelajari dan mengajarkan Ilmu Qirâât hukumnya fardhu kifayah. Sehingga akan berdosa seluruh penduduk suatu wilayah jika tidak ada yang menggeluti ilmu ini.
10. Materi Pembahasan (Masâil)
Dalam kitab al-Busyrâ bahwa materi pembahasan (masâil) dalam ilmu qirâât meliputi kaedah umum (Qawâ’id Kulliyyah) bagi setiap imam qirâât serta para perawinya. Muhaisin (w. 2001 M) memberikan sedikit gambaran. Misal seperti setiap huruf alif yang perubahannya berasal dari huruf yâ’ maka oleh Hamzah (w. H) dibaca imâlah. Sementara al-Kisa’î, dan salah satu riwayat Warsy membacanya dengan taqlîl. Sedangkan yang lainnya membacanya dengan fath. Dalam kitab Faidh al-Asânî ‘alâ Hirz al-Amânî, KH. Sya’rani Ahmadi Kudus, menambahkan catatan pada masâil ilmu qirâât, Warsy membaca tarqîq setiap huruf râ’ berharakat fathah atau dhammah yang didahului oleh harakat kasrah ashliyyah atau huruf yâ’ berharakat sukûn. Wallahu A’lam. []