Prof. DR. H. Mahmud Yunus lahir di Sungayang, Tanah Datar, Minangkabau, 10 Februari tahun 1899 dan meninggal di Jakarta, 16 Januari tahun 1982 (pada umur 82 tahun). Beliau adalah seorang ulama Indonesia yang dikenal melalui karya-karyanya berjumlah kurang lebih 75 judul buku, termasuk Tafsir Qur’an Karim dan Kamus Arab-Indonesia.
Mahmud Yunus dilahirkan dari keluarga terkemuka di Nagari Sungayang dan memiliki nuansa keagamaan yang kuat. Ayahnya adalah seorang petani bernama Yunus bin Incek dari suku Mandailing, ia menjabat sebagai Imam Nagari dan ibunya bernama Hafsah binti M Thahir dari suku Chaniago bekerja sebagai penenun.
Sejak belia, Yunus kecil sudah memperlihatkan minat dan kecenderungan yang kuat untuk memperdalam ilmu agama Islam. Melihat hal tersebut, Ibrahim, mamak-nya (sebutan bagi paman atau saudara laki-laki dari jalur ibu di dalam adat Minangkabau) yang juga seorang saudagar kaya memberikan dukungan penuh kepadanya dengan membiayai seluruh biaya pendidikannya.
Perjalanan Intelektual Mahmud Yunus
Mahmud Yunus memulai pendidikan agamanya dengan belajar mengaji di surau seperti anak-anak Minang kebanyakan. Pada awalnya, beliau belajar dengan kakeknya sendiri, Muhammad Thaher bin Muhammad Ali dengan gelar Engku Gadang. Di surau inilah ia mempelajari cara shalat, puasa dan membaca Al-Qur’an dengan benar.
Pada tahun 1908 M, warga Nagari Sungayang membuka Sekolah Desa, Mamud Yunus pun tertarik untuk memasuki sekolah ini. Ia mengikuti pelajaran di sekolah desa pada tengah hari dan belajar Al-Quran di surau bersama kakeknya pada malam harinya. Namun karena ketidakpuasan, Yunus berhenti dari sekolah desa pada tahun ketiga.
Selanjutnya, Mahmud Yunus memasuki Madras School (Sekolah Surau) di Surau Tanjung Pauh Sungayang yang dibangun oleh Syekh Haji Muhammad Thaib Umar (tokoh mujaddid dari Minangkabau dan beliau termasuk sebagai Kaum Muda/Reformis). Di sini Ia mempelajari berbagai pelajaran agama, seperti Bahasa Arab, fikih, balaghah, tasawuf, dan berhitung.
Baca Juga: Buya Hamka, Mufasir Reformis Indonesia Asal Minangkabau
Mahmud Yunus merasa belum puas terhadap wawasan dan keilmuan yang dimilikinya selama ini, sehingga setelah beliau menunaikan ibadah haji ke Makkah pada tahun 1924 M, Ia berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi di Negara Timur Tengah, yaitu Mesir.
Setelah mendapatkan ijazah (syahadah) ‘Alimiyyah melalui ujian akhir bagi siswa di Univeritas Al-Azhar, Mahmud Yunus memasuki Darul ‘Ulum ‘Ulya Mesir (setingkat perguruan tinggi). Ini adalah Sekolah Tinggi pemerintah Mesir untuk menghasilkan guru-guru agama dan bahasa Arab yang akan mengajar di sekolah-sekolah pemerintah.
Sepulangnya dari Mesir, Mahmud Yunus mengabdikan hampir seluruh sisa hidupnya di dalam dunia pendidikan. Pendidikan Islam adalah jalur profesi yang dipilihnya dan pilihan itulah yang memantapkan setiap langkah dalam karir yang dilaluinya dengan bekal dan pengaplikasian ilmu yang di dapatnya selama di Mesir.
Selama hidupnya Mahmud Yunus pernah memimpin beberapa lembaga di antaranya: Al-Jami’ah Al-Islamiyyah di Sungayang selama 2 tahun (1931-1932), Normal Islam di Padang, Sekolah Tinggi Islam di Padang (1940-1944). Selain itu, Ia juga mendirikan dan memimpin Sekolah Menengah Islam (SMI) di Bukit tinggi (1946), dan memimpin IAIN Imam Bonjol di Padang (Rektor pertama) (1967-1970).
Sekilas tentang Tafsir Qur’an Karim
Selain aktif di dunia pendidikan, Mahmud Yunus juga aktif menulis. Tercatat setidaknya ada sekitar 75 buku yang telah ditulisnya. Dari karya-karya tersebut yang paling terkenal adalah Tafsir Qur’an Karim dan kamus Arab-Indonesia.
Tafsir Qur’an Karim adalah magnum opus dari Mahmud Yunus. Buku ini ia tulis dengan tujuan memahamkan masyarakat tentang makna-makna Al-Qur’an, meskipun pada saat itu penerjemahan dianggap sesuatu yang tidak lumrah. Baginya, bagaimana mungkin dapat menyampaikan kitabullah kepada masyarakat, jika tidak diterjemahkan ke dalam bahasa mereka.
Sebenarnya, upaya Mahmud Yunus menerjemahkan Al-Qur’an telah dimulai sebelum keberangkatannya ke Mesir, hanya saja baru bisa dipublikasikan pasca kembali ke Indonesia. Beliau menerbitkan tafsir ini setiap bulan sebanyak 2 juz. Pada bulan April 1938 terjemahan Al-Qur’an dan tafsirnya lengkap 30 juz diselesaikan dan didistribusikan ke seluruh Indonesia.
Ditegaskan oleh Mahmud Yunus bahwa tafsir ini disertai dengan kesimpulan isi Al-Quran, bukanlah merupakan tejemahan dari kitab bahasa arab, melainkan hasil penelitiannya sejak berusia 20 tahun sampai saat itu berumur 73 tahun. Sebab itu tafsir ini berbeda dengan tafsir-tafsir yang lain pada masa itu.
Baca Juga: Mufasir Nusantara: Oemar Bakry asal Danau Singkarak
Dalam tafsir ini yang paling dipentingkan ialah menerangkan dan menjelaskan petunujuk-petunjuk yang termaktub dalam Al-Quran untuk diamalkan kaum Muslimin khususnya dan seluruh umat manusia pada umumnya sebagai petunjuk universal.
Jika seseorang membaca setiap lembar dari karya Mahmud Yunus ini, maka akan dapati penyajian ulasan ayat-ayat Al-Qur’an dalam Tafsir Qur’an Karim lebih menonjolkan aspek-aspek metode ijmali. Penafsiran dengan metode ini berusaha menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi dengan menggunakan bahasa yang popular, mudah dimengerti dan enak dibaca.
Dalam upaya menghadirkan makna-makna yang terkandung dalam setiap ayat Al-Qur’am, Mahmud Yunus tampak lebih sering menggunakan kekuatan nalarnya (ra’yi). Namun beliau juga berusaha menampilkan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan penjelasan makna suatu ayat, meskipun relatif sedikit jumlahnya. Wallahu a’lam.