BerandaTafsir TematikLima Pilar Kehidupan Rumah Tangga dalam Al-Quran Menurut Faqihuddin Abdul Kodir

Lima Pilar Kehidupan Rumah Tangga dalam Al-Quran Menurut Faqihuddin Abdul Kodir

Setiap pasangan suami istri mendambakan kehidupan keluarga tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Ini bukan hal yang taken for granted, tiba-tiba terjadi tanpa usaha. Beberapa ayat Al-Quran telah memberi pedoman terkait hal ini. Kandungan dari ayat-ayat ini kemudian berwujud menjadi dan dikenal dengan istilah lima pilar kehidupan rumah tangga.

Merujuk pada Q.S ar-Rum [30]: 21, manusia secara umum baik laki-laki maupun perempuan mendambakan pasangannya masing-masing agar memperoleh ketentraman (sakinah), dengan pondasi rasa dan sikap cinta (mawaddah) juga kasih (rahmah) dalam hidupnya. Tujuan tentram tersebut erat kaitannya dengan hal-hal yang bersifat biologis, ekonomi, sosial, keluarga (nasab), maupun moral-spiritual (din).

Namun, di antara beberapa hal tersebut, Al-Quran dan hadis menganjurkan bahwa din-lah yang harus menjadi tujuan utama pernikahan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Maka, dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut, dibutuhkan pilar kehidupan rumah tangga. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Qira’ah Mubādalah merumuskan setidaknya ada lima pilar kehidupan rumah tangga, sebagai berikut:


Baca Juga: Mengenal Faqihuddin Abdul Kodir, Perintis Metode Qira’ah Mubādalah


Memahami pernikahan sebagai ikrar yang kuat dan berat

Lima pilar kehidupan rumah tangga yang pertama yaitu memahami ulang arti pernikahan. Pernikahan merupakan kesepakatan kedua belah pihak dan komitmen bersama yang diwujudkan dengan akad nikah. Laki-laki dan perempuan yang telah menjadi pasangan suami istri berarti telah terikat pada perjanjian yang kokoh (mītsāqan ghalīzhan) (Q.S an-Nisā’[4]: 21). Ikatan tersebut harus dijaga, dipelihara, dan tetap dilestarikan bersama-sama sepanjang kehidupan pernikahan.

Pada hakikatnya ikatan dalam pernikahan bukan hanya antara suami dan istri melainkan perjanjian agung antara suami istri dan Allah swt., sehingga pengelolaan rumah tangga haruslah dengan prinsip “berkumpul secara baik-baik atau berpisah secara baik-baik” karena memberikan perlakuan baik kepada suami atau istri merupakan bagian dari ajaran ketakwaan kepada Allah swt.

Relasi pernikahan adalah berpasangan

Ungkapan garwo atau sigare jiwo (separuh jiwa) berlaku untuk suami dan istri. Artinya, suami dan istri masing-masing adalah separuh bagi yang lain dan sempurna jika antara keduanya saling menyatu dan bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan pernikahan.

Al-Quran berbicara tentang hal ini, bahwa suami adalah pakaian untuk istri dan istri adalah pakaian untuk suami (hunna libāsun lakum wa antum libāsun lahunna) (Q.S al-Baqarah [2]: 187).  Gambaran tersebut mengingatkan bahwa suami dan istri sebagai pasangan di antaranya harus saling menghangatkan, memelihara, menghiasi, menutupi, menyempurnakan juga memuliakan satu sama lain.


Baca Juga: Pernikahan; Tujuan dan Hukumnya, Tafsir Surat An-Nahl Ayat 72


Prinsip pernikahan berdasarkan kesalingan (mu’asyarah bil ma’ruf)

satu dari lima pilar kehidupan rumah tangga yang lain adalah sikap kesalingan. Prinsip kesalingan antara suami dan istri adalah turunan dari dua pilar sebelumnya, yaitu sikap saling memperlakukan satu sama lain secara baik (mu’asyarah bil ma’ruf). Sikap ini adalah etika paling fundamental dalam relasi antara suami istri.

Menumbuhkan prinsip kesalingan dalam rumah tangga akan membantu menjaga dan menghidupkan segala kebaikan yang menjadi tujuan bersama. Disebutkan juga dalam Q.S an-Nisā’ [4]: 19

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”

Anjuran berlaku baik terhadap istri dan larangan berlaku sewenang-wenang seperti pemaksaan, mewarisi tubuh, menghalangi dan mengambil harta benda istri sebagaimana kebiasaan masyarakat Arab pra-Islam yang digambarkan dalam ayat tersebut, memberikan pesan universal bahwa seorang laki-laki (suami) tidak berhak sewenang-wenang terhadap perempuan (istri).

Begitupun sebaliknya anjuran dan larangan tersebut berlaku untuk perempuan (istri) terhadap suami. Artinya, para istri dilarang juga melakukan pemaksaan terhadap suami, menghalangi dan merampas hartanya. Baik suami maupun istri harus berperilaku baik terhadap pasangannya.


Baca Juga: Tafsir Surah An Nisa Ayat 34: Peran Suami Istri dari Pemutlakan hingga Fleksibilitas Kewajiban


Senantiasa bermusyawarah dengan pasangan

Sikap dan perilaku untuk selalu bermusyawarah atau merembuk dan saling tukar pendapat dalam memutuskan sesuatu dalam rumah tangga adalah hal yang sangat penting. Baik suami ataupun istri hendaknya tidak menjadi pribadi yang otoriter dan selalu memaksakan kehendak pada pasangannya. Segala sesuatu terutama perkara yang menyangkut dengan pasangan dan keluarga, tidak boleh langsung diputuskan sendiri tanpa melibatkan dan meminta pendapat dari pasangan.

Pilar untuk saling bermusyawarah juga disinggung dalam  Q.S al-Baqarah [2]: 233. Ayat ini membincang tentang penyapihan anak yang harus diputuskan berdasarkan musyawarah antara kedua belah pihak yaitu suami dan istri.


Baca Juga: Tafsir Ahkam: Wajibkah Seorang Ibu Menyusui Anaknya?


Melibatkan, mengajak berbicara dan musyawarah merupakan salah satu bentuk pengakuan dan penghargaan terhadap harga diri dan kemampuan pasangan. Dengan perbedaan sudut pandang yang digunakan dalam melihat suatu masalah oleh pasangan akan menjadikan keputusan sangat matang dengan kesadaran penuh akan manfaat dan akibat yang ditimbulkan dari keputusan tersebut.

Saling memberi kenyamanan satu sama lain

Merasa nyaman dan saling memberi kenyamanan antara suami dan istri adalah pilar yang terakhir dalam bahasan ini.  Al-Quran membahasakannya dengan tarādhin min humā yaitu kerelaan dan penerimaan dari dua belah pihak. Kerelaan merupakan penerimaan paling puncak dan menimbulkan kenyamanan yang paripurna. Pasangan suami istri harus menjadikan pilar ini penyangga segala aspek baik itu perilaku, ucapan, sikap dan tindakan sehingga rumah tangga tidak hanya kokoh namun memberikan kebahagiaan dan rasa cinta kasih.

Pilar ini diambil dari Q.S al-Baqarah [2]: 233. Dalam penyapihan anak saja harus berdasarkan kerelaan antara kedua belah pihak, apalagi untuk hal-hal dalam kehidupan yang lebih mendasar. Sehingga dalam rumah tangga tersebut tercipta kehidupan surgawi yang memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi suami dan istri. Lebih lanjut rumah tangga tersebut menjadi ladang ibadah yang kemudian membuka kebaikan-kebaikan yang begitu banyak dalam kehidupan, karena setiap kebaikan adalah sedekah dan setiap sedekah akan diapresiasi oleh pahala.

Demikian lima pilar penyangga rumah tangga menurut Faqihuddin Abdul Kodir. Terakhir penulis ingin mengutip Kahlil Gibran tentang pernikahan. Saling isilah piala minumanmu, tapi jangan mimun dari satu piala. Saling bagilah rotimu, tapi jangan makan dari pinggan yang sama. Bernyanyi dan menarilah bersama dalam segala suka dan cita, hanya biarkanlah masing-masing menghayati ketunggalannya. Tali rebana masing-masing punya hidup sendiri, walau lagu yang sama sedang menggetarkannya. 

Wallahu A’lam.

Mida Hardianti
Mida Hardianti
Mahasiswi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...