BerandaTafsir TematikMakna dari Penyebutan Harta Terlebih Dulu Daripada Keturunan

Makna dari Penyebutan Harta Terlebih Dulu Daripada Keturunan

Dunia adalah tempat bersenang-senang, permainan, dan semacamnya. Semua itu sebagai hiburan bagi manusia dalam mempersiapkan dirinya menuju kehidupan akhirat. Asal dipagari dengan keimanan dan ketakwaan, tentunya hal tersebut tidak sampai melalaikan diri sendiri. Dalam surah Ali Imran ayat 14, zīnah atau perhiasan yang berpotensi menimbulkan kelalaian di dunia terdapat beragam jenis, yakni wanita, harta, keturunan, hewan ternak, dan tanaman pertanian.

Dalam redaksi ayat yang lain, harta disebutkan terlebih dahulu daripada keturunan sebagaimana tercantum dalam Alquran surah Alkahfi ayat 46, berikut redaksi ayatnya.

اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلًا

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, sedangkan amal kebajikan yang abadi (pahalanya) adalah lebih baik balasannya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 46: Maksud Al-Baqiyat Ash-Shalihat

Ayat di atas, secara jelas menyebutkan perhiasan yang tersedia di dunia adalah harta, disusul kemudian keturunan. Dikemukakan oleh al-Zuhaili dalam tafsirnya, hal ini beralasan bahwa harta menjadi aspek terpenting dalam kehidupan, lebih beresiko, serta sebagai pertahanan untuk keberlangsungan hidup (al-ḥājah), keinginan (al-raghbah), dan hawa nafsu (al-hawa). Justru terkadang, keturunan tanpa disertai dengan harta yang cukup, dapat menimbulkan kesengsaraan. [Tafsīr al-Munīr, 15/261]

Menanggapi pertanyaan mengapa ia lebih didahulukan daripada keturunan, al-Sya’rawi mengemukakan bahwa hal itu bukanlah dikarenakan ia lebih berharga daripada keturunan. Akan tetapi, karena memiliki sifat yang umum bagi penerimanya, atau dapat dikatakan bahwa hampir semua orang memilikinya meskipun sedikit.

Lain halnya dengan banīn atau anak keturunan, yang bersifat khuṣūṣiyyah, yakni sebuah kebebasan pribadi yang tidak semua orang dapat memilikinya. Ini dapat digambarkan bahwasanya seorang anak yang lahir, pastilah mengeluarkan biaya. Dimulai dari pernikahan, hingga proses pemeliharaan dan tumbuh kembang anak keturunan. Akhir kata, al-Sya’rawi menuturkan bahwa setiap orang memiliki harta, namun tidak semua orang memiliki anak keturunan. [Tafsīr al-Sya’rawī, 14/924-925]

Harta menjadi bagian dari komponen penting dalam keberlangsungan hidup di dunia. Apa-apa yang dilakukan di dunia, tidak jauh dari keterlibatannya. Makan dan minum, berpakaian, hingga kebutuhan sekunder dan tersier-pun juga tentu membutuhkannya. Sedangkan anak keturunan adalah bentuk pemeliharaan kehidupan manusia di muka bumi. Dan dalam hal ini sebagaimana disampaikan oleh al-Sya’rawi, memelihara keturunan juga memerlukan kesediaan harta. Sehingga, dapat ditarik pertimbangan bahwa kebutuhan manusia akan harta lebih prioritas daripada anak keturunan.

Baca Juga: Surah Ali Imran [3] Ayat 14: Kecenderungan Alamiah Manusia Terhadap Duniawi Harus Dikontrol

Pasalnya, manusia memang seringkali diuji dengan harta daripada keturunan. Karena ia selalu tersaji dihadapan manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Seperti penyalahgunaan harta untuk maksiat, penyelewengan kemanfaatannya, dan semacamnya. Sedangkan ujian dalam bentuk keturunan bersifat kondisional. Tidak semua orang lebih terlena dengan karunia anak keturunan daripada harta. Inilah kiranya yang menjadi sebuah alasan mengapa ia lebih dahulu disebutkan daripada keturunan.

Keduanya sama-sama rawan berpotensi menjerumuskan kelalaian akan tugas manusia di dunia agar mempersiapkan dirinya menuju keabadian akhirat. Namun, bilamana manusia mampu menyikapi keduanya dengan cara yang baik, akan membawa amal jariyah bagi dirinya sendiri. Atau dalam istilah lain, disebut investasi akhirat. Beramal saleh menggunakan harta, dan mendidik serta menumbuhkembangkan anak keturunan menjadi pribadi yang saleh.

Dengan demikian, nikmat harta yang disediakan oleh Allah di dunia jauh lebih rawan menjadikan manusia terlena daripada anak keturunan. Ini tidak berarti menafikan anak keturunan tidak membawa dampak manusia terlena. Hanya saja, jika keduanya dibandingkan, maka lebih besar potensi harta dalam melalaikan manusia. Sebagaimana diketahui pada umumnya, bahwa manusia tidak dapat lepas darinya dalam hal apapun, meski dalam jumlah sedikit-pun.

Wallāhu A’lamu.

Fatia Salma Fiddaroyni
Fatia Salma Fiddaroyni
Alumni jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri; santri PP. Al-Amien, Ngasinan, Kediri.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tafsir tentang laut yang tidak bercampur

Tafsir tentang Laut yang Tidak Bercampur: Mukjizat atau Fenomena Ilmiah?

0
Alquran bukan sekadar kitab petunjuk spiritual, tetapi juga lumbung keajaiban yang terus mengundang rasa ingin tahu. Salah satu ayatnya, yang membahas tentang "laut yang...