Iktikaf (Bahasa Indonesia) berasal dari bahasa Arab, yakni i’tikaf. Kata ini masuk dalam bahasa Indonesia menjadi serapan (KBBI, 2022). Iktikaf diartikan diam beberapa waktu di dalam masjid sebagai suatu ibadah dengan syarat-syarat tertentu (sambil menjauhkan pikiran dari keduniaan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan). Iktikaf bukan sekadar berdiam diri. Kegiatannya dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Para ulama telah banyak mendefinisikan iktikaf sebagaimana diringkas pada KBBI tersebut.
Iktikaf menjadi semarak ketika sepuluh hari menjelang akhir Ramadan. Dari ‘A’isyah r.a, ia menuturkan bahwa Nabi Saw. sering melakukan iktikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan (HR Tirmidzi). Nabi Saw. sering meninggalkan isteri-isterinya pada waktu tersebut untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini menjadi contoh bagi umatnya untuk memantapkan hati beriktikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan.
Alquran sebagai petunjuk hidup manusia pasti memberikan informasi tentang iktikaf ini. Bagaimana Alquran menuturkannya? Berikut ini penjelasannya.
Baca Juga: Paket “Three in One” dalam Iktikaf di Sepuluh Hari Terakhir Ramadan
Kata iktikaf dalam Alquran
Iktikaf dalam Alquran diawakili oleh beberapa kata. Pertama, kata الْعَاكِفِينَ (Albaqarah [2]: 125) dalam bentuk jamak yang bermakna orang-orang yang beriktikaf. Kedua, kata عَاكِفُونَ (Albaqarah [2]: 187) dalam bentuk jamak yang maknanya sama dengan poin pertama. Ketiga, kata الْعَاكِفُ (Alhajj [22]:25) berbentuk mufrad (tunggal) bermakna seseorang yang iktikaf.
Dua ayat berbentuk jamak dan satu ayat berbentuk mufrad tergantung pada narasi kalimat yang berada pada ayat tersebut. Pada Albaqarah [2]: 125, kata الْعَاكِفِينَ berbentuk jamak karena ia menjadi rangkaian konjungsi (‘athaf) dengan kata sebelumnya yaitu لِلطَّائِفِينَ (untuk orang-orang yang tawaf). Pada Albaqarah [2]: 185, kata عَاكِفُونَ berbentuk jamak yang selaras dengan posisinya sebagai khabar dari mubtada’ kata antum. Sementara pada Alhajj [22]: 25, kata الْعَاكِفُ berbentuk mufrad.
Kata yang jamak menunjukkan ada pihak lain yang terlibat atau penyebutan banyaknya orang yang melakukan pekerjaan tersebut. Sementara kata mufrad, menunjukkan makna hanya seseorang yang melakukannya. Jamak dan tidaknya kata ini setidaknya menggambarkan ruang makna yang ada dalam khithab ayat pada situasi masyarakat ketika ayat ini turun. Misalnya, pada kata yang jamak di Albaqarah [2]:125, kata ini rangkaian dari kata sebelumnya yang masih berbentuk jamak. Artinya, perbuatan iktikaf telah banyak dilakukan oleh orang-orang yang mendatangi Baitullah. Tidak hanya satu orang, melainkan banyak orang yang telah melakukakannya. Ada informasi historis dari ayat ini bahwa telah banyak orang yang melakukan iktikaf sebelum zaman Nabi Muhammad Saw.
Baca Juga: Hikmah Disandingkannya Ayat Tentang Itikaf dan Puasa Di dalam Al-Qur’an
Makna Ayat Iktikaf
Semua kata ‘akafa dan turunannya baik jamak maupun mufrad memiliki arti yang sama. Kata ini berasal dari huruf ain, kaf, dan fa. Kata ini dimaknai mempersembahkan, mendedikasikan, mulai bekerja, disibukkan dengan (Kamus al-Ma’anny, 2021). Ini pengertian secara bahasa, apabila polanya ‘akafa ya’kufu. Ketika menjadi kata subjek al-‘akifin (jamak) maknanya menjadi beriktikaf.
Albaqarah [2]: 125 mengandung kata al-‘akifin. Ayat ini berhubungan dengan Kakbah yang dijadikan tempat berkumpul dan aman. Ibrahim a.s dan Ismail a.s diwasiatkan untuk membersihkan Kakbah agar nyaman bagi orang yang tawaf, iktikaf, rukuk dan sujud. Dalam ayat ini, iktikaf dilakukan di sekitar Kakbah atau hari ini Masjidilharam. Iktikaf pada ayat ini menunjukkan berdiam diri di sekitar Kakbah untuk ibadah seperti halnya tawaf, rukuk, dan sujud. Kenyamanan untuk melakukannya disediakan oleh Ibrahim a.s dan Ismail a.s sesuai perintah Allah Swt.
Albaqarah [2]: 186 memuat kata ‘akifun dengan bentuk jamak. Kata ini berada pada frasa wa la tubasyiru hunna wa antum ‘akifun fi al-masajid. Frasa ini berarti, janganlah kalian mencampuri isteri-isteri kalian sedangkan kalian sedang beriktikaf di masjid. Ayat ini berada dalam ruang konteks Ramadan. Nabi Saw. sering melakukan iktikaf dan lebih meningkat ketika sepuluh hari menjelang akhir Ramadan. Kata iktikaf pada ayat ini nyata langsung dihubungkan dengan masjid. Maknanya adalah iktikaf dilakukan hanya di masjid.
Dari ayat Albaqarah [2]: 187 ini, banyak ulama yang menjelaskan iktikaf. Jumhur ulama berpendapat iktikaf dilakukan di masjid dengan syarat tertentu. Sesuai ayat ini, laki-laki tidak boleh menggauli isterinya selama ia sedang beriktikaf.
Baca Juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Itikaf Tidak di Masjid?
Alhajj [22]: 25, kata al-‘akif bermakna bermukim, bukan iktikaf seperti dua ayat sebelumnya. Kata al-‘akif disandingkan dengan kata al-bad, yaitu baik yang bermukim di sana maupun yang datang dari luar. Ayat ini menjelaskan orang yang menghalangi kaum muslimin untuk beribadah di Masjidilharam, baik penduduk Mekah asli (al-‘akif) maupun pendapat dari negeri lain (al-bad). Masjidilharam pada ayat ini dipahami sebagai tempat untuk berhaji, salat, tawaf, iktikaf, zikir, dan sebagainya.
Pengertian iktikaf untuk berdiam diri di masjid diwakili oleh dua ayat, yaitu Albaqarah [2]: 125 dan 187. Pada ayat pertama dikaitkan dengan Masjidilharam. Ayat kedua dihubungkan dengan masjid-masjid secara umum, meskipun konteks ayat 187 ini turun di Madinah. Peristiwa ini terjadi ketika Ramadan. Penyebutan al-masajid (jamak) memberi peluang untuk iktikaf tidak hanya di Masjid Nabawi melainkan di masjid-masjid sekitar. Wallahu a’lam.