BerandaTafsir TematikMakna Puasa Menurut Tafsir Surah Maryam Ayat 26

Makna Puasa Menurut Tafsir Surah Maryam Ayat 26

Marhaban, ahlan wa sahlan Ya Ramadan”, demikianlah ucapan tahniah penuh riang gembira atas kedatangan bulan suci nan mulia, bulan Ramadan. Pada rutinitas tahunan umat Islam ini, ada satu ayat Alquran yang juga menemukan momentumnya, yaitu surah Al-Baqarah ayat 183. Semua orang tahu bahwa ayat tersebut berisi tentang informasi kewajiban puasa.

Namun ternyata, istilah puasa dalam Alquran tidak hanya ada pada ayat tersebut. Ayat lain yang juga menyinggung tentang puasa adalah ayat 26 surah Maryam, bahkan pada ayat ini digambarkan sedikit tentang praktik puasa. Ayat tersebut merupakan rangkaian dari kisah perjuangan seorang Maryam ketika mengandung Nabi Isa. Di ayat ini dikatakan bahwa Siti Maryam berpuasa, dia tidak akan berbicara dengan siapa pun. Ini yang saya maksud dengan sedikit gambaran praktik puasa di awal.

Dalam surah Maryam ayat 26, Allah berfirman,

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini”. (Q.S. Maryam [19]: 26)

Baca Juga: Tahapan Turun Ayat-Ayat Puasa dalam Alquran

Puasa juga menahan untuk tidak berkata buruk

Hampir semua mufasir bersepakat bahwa makna shaum dalam ayat di atas adalah diam (menjaga lisan) dan tidak berkata yang buruk kepada orang lain. Seperti penafsiran al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan, dia mengatakan bahwa makna shaum adalah shumtan (diam).

Hal senada juga disampaikan Ibn Abbas, Qatadah dan al-Dhahhak bahwa shaum bermakna menjaga lisan dari makanan, minuman dan perkataan. Penafsiran yang lebih spesifik tentang makna shaum sebagai aktivitas yang mencegah mulut untuk berkata buruk dijelaskan oleh Ibn Katsir dalam Tafsir Al-Quran al-Adzim. Menurut Ibn Katsir, yang dimaksud puasa ialah diam atau puasa tidak berbicara. Mereka yang melakukan puasa, maka – menurut syariat – mereka tidak boleh makan dan berbicara seperti yang dinaskan oleh al-Saddi, Qatadah, dan Abdurrahman bin Zaid.

Tidak jauh berbeda, al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib dan al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyaf, keduanya memaknai kata shaum dengan shumtan (berpuasa bicara). Keduanya melandaskan makna ini dengan menukil riwayat Anas bin Malik. Berdasar riwayat Anas bin Malik, bahwa yang dimaksud shumtan adalah mereka berpuasa, tetapi mereka tidak berbicara tentang puasa mereka sehingga orang lain tidak mengetahui (illa annahum kanu la yatakallamuna fi shiyamihim).

Jikalau mayoritas mufasir di atas memaknai puasa dengan menjaga lisan dalam konteks syariat, maka lain halnya dengan mufasir sufistik seperti al-Qusyairi, Ismail Haqqi, Ibn Ajibah, al-Jilani dan sebagainya. Al-Qusyairi, misalnya, dalam Lathaif al-Isyarat-nya dia menafsirinya dengan ‘diamlah bersama ciptaan itu (anak kandung Maryam, Nabi Isa) dan tinggalkanlah perdebatan bersama mereka (baca: Bani Israil)’ Hal senada juga dituturkan Ismail Haqqi dalam Ruh al-Bayan fi Tafsir al-Quran, makna shaum adalah menahan diri dari makan dan pembicaraan yang kotor lagi buruk hingga sore hari (al-imsaku ‘an al-tha’am wal kalam hatta yumsa).

Kemudian, makna berdiam atau tidak berbicara ini diperjelas lagi oleh Ibn Ajibah dalam al-Bahr al-Madid dan Makki bin Abi Thalib dalam Tafsir Hidayah ila Bulugh al-Nihayah dengan wa kana shiyamuhum al-sukut fa kanu yashumuna ‘an al-kalam kama yashumuna an a’-tha’am, yakni puasa mereka adalah diam (tidak berbicara) dan mereka terbiasa berpuasa dari berbicara sebagaimana mereka berpuasa dari makan.

Baca Juga: Berkata Kotor di Medsos Batalkan Puasa?

Berbekal penjelasan mufasir di atas, dapat diketahui bahwa salah satu makna shaum (berpuasa) adalah berpuasa untuk tidak berbicara hal-hal yang buruk. Selain itu, Nabi Muhammad saw mengajarkan kepada kita jikalau ada orang mengajak makan atau menggunjing, katakanlah “inni sha’im” (Aku sedang puasa). Dalam maqalah para ulama yang lain, Izzuddin bin Abdus Salam dalam Maqashidus Shaum, membolehkan bagi seorang muslim mencari alasan lain agar tidak tergoda dengan ajakan dan rayuan yang berujung pada jurang kemaksiatan dan mereduksi kekhusyu’an ibadah berpuasa selama bulan suci Ramadhan.

Semoga momentum puasa kali ini tidak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga, lebih dari itu, puasa sebagai kawah candradimuka guna menggembleng dan melatih diri kita untuk juga menahan perkataan dan bahkan pikiran buruk dan kotor. Aamiin. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah at-Taubah ayat 122_menuntut ilmu sebagai bentuk cinta tanah air

Surah at-Taubah Ayat 122: Menuntut Ilmu sebagai Bentuk Cinta Tanah Air

0
Surah at-Taubah ayat 122 mengandung informasi tentang pembagian tugas orang-orang yang beriman. Tidak semua dari mereka harus pergi berperang; ada pula sebagian dari mereka...