Makna Qur’an yang Plural dan Kontradiktif, Makna Awal Qur’an yang Terlupakan

makna Qur'an yang plural dan kontradiktif
makna Qur'an yang plural dan kontradiktif

Melalui risalah ini, saya berikhtiar untuk mengeksplorasi makna awal Qur’ān yang selama ini terlupakan dalam diskursus pemikiran Islam. Hingga saat ini, umat Islam sudah terbiasa untuk berpikir tentang Qur’ān sebagai koleksi teks-teks wahyu Tuhan yang tertulis dan terkodifikasi dalam bentuk mushaf. Akibatnya, mushaf menjadi identik dengan Qur’ān itu sendiri, meskipun keduanya jelas berbeda. Identifikasi ini mereduksi makna orisinal Qur’ān yang plural dan kontradiktif di fase Islam awal, yang kurang terkait dengan tekstualitas wahyu—textus receptus.

Baca Juga: Makna Wahyu dalam Penafsiran Muqatil bin Sulayman

Makna Qur’an dalam tradisi penafsiran awal

Saya ingin memulai eksplorasi atas makna Qur’an melalui otoritas terbesar dalam tradisi penafsiran Al-Qur’ān: ‘Abd Allāh b. ‘Abbās. Dikenal sebagai “penafsir Al-Qur’ān yang istimewa” (tarjūman Al-Qur’ān), Ibn ‘Abbās memproduksi makna Qur’an sebagai “bacaan” (qirā’a, tilāwa: recitation) atau “bacaan dengan suara keras dan jelas” (reading aloud). Makna ini adalah produk dari metode penafsirannya dalam memaknai dua wahyu, surah Al-Qiyama ayat 17 dan 18:

Pertama, terjemah harfiyah surah Al-Qiyama [75]: 18 berbunyi, “Ketika Kami telah selesai membacakannya (qara’nā-hu), maka ikutilah bacaannya (Qur’āna-hu). Ditafsirkan oleh Ibn Abbas dengan “ketika Kami telah menjelaskan kepadamu [Muhammad] dengan bacaan (bil-qirā’a), maka bertindaklah berdasarkan apa yang telah Kami jelaskan kepadamu dengan bacaan itu.” Di sini makna Qur’an ditafsirkan sebagai bacaan yang dibacakan kepada Muhammad agar ia mengikuti bacaan, Qur’ān, dengan keras dan jelas (read aloud). Ketika proses pewahyuan sedang berlangsung dan wahyu masih turun secara aktif, Muhammad tidak sedang menerima teks-teks tertulis dari Tuhan (written texts of the divine revelation), tetapi ia justru sedang diinstruksikan untuk mengikuti bacaan (Qur’ān) yang disampaikan kepadanya secara lisan.

Karena itu, diskur­sus tekstualitas Qur’ān pada proses pewahyuan, seperti diformulasikan secara kontroversial oleh Nasr Hāmid Abū Zayd (w. 2010), tidaklah menjadi the hallmark of revelation pada fase Islam awal, karena apa yang sebenarnya terjadi pada proses pewahyuan yang sedang berlangsung waktu itu adalah karakter utama Qur’ān sebagai bacaan yang bersifat lisan (oral nature of the recitation) yang dibacakan kepada Muhammad secara gradual, sedikit demi sedikit. Dengan demikian, Qur’ān ditafsirkan sebagai “bacaan” (the recitation) yang dikomunikasikan kepada Muhammad secara lisan dengan bahasa Arab yang jelas dan mudah dipahami.

Kedua, terjemah harfiyah surah Al-Qiyama [75]: 17 berbunyi, “Sesungguhnya, tugas Kami adalah mengumpulkannya dan membacakannya (Qur’āna-hu)”. Yakni, menurut Ibn ‘Abbās, Kami melibatkan diri secara aktif dalam pewahyuan untuk membacakan Qur’ān secara lisan kepada Muhammad sehingga Nabi tidak akan lupa atas apa yang dibacakan kepadanya secara bertahap.

Sementara itu, periwayat hadīts dan penafsir Al-Qur’ān yang otorita­tif lainnya, Qatada bin Di’ama (w. 117/735) menafsirkan Qur’an dalam dua ayat di atas dengan “kompilasi” (ta’līf, compilation). ini terefleksikan ketika menafsirkan Qur’ān dengan makna “untuk membawa sesuatu secara bersama dan untuk menggabungkan satu bagian dengan yang lain.” Atas dasar inilah, Qatāda berargumen bahwa Qur’ān bermakna “kompilasi” berda­sarkan wahyu Tuhan: “Sesungguhnya, tugas Kami adalah menjaganya dan mengkompilasinya” (Al-Qiyama [75]:17) dan “Ikutilah apa yang halal dan jauhilah apa yang haram” (Al-Qiyama [75]:18).

Pemaknaan Qur’ān sebagai wahyu yang berfungsi sebagai “bacaan” terutama oleh Nabi dan para sahabat secara lisan (oral mode of the divine revelation) sangatlah kontradiktif dengan pemaknaan Qur’ān sebagai “kompila­si” (ta’līf, compilation).

Baca Juga: Wa An-Najm Idha Hawa: Demi Bintang, Demi Muhammad, Demi Al-Quran

Konflik atas dua makna Qur’an yang kontradiktif ini, antara “bacaan” dan “kompilasi,” dipresentasikan secara jujur oleh Abū Ja‘far b. Jarīr Al-Tabarī (d. 310/923), seo­rang sejarawan dan penafsir agung yang memiliki jasa intelektual terbesar dalam menemukan, merawat, dan mengkompilasi keragaman tradisi penafsiran Al-Qur’ān selama dua setengah abad pertama Islam melalui karya tafsirnya yang monumental: Jāmi‘ al-bayān ‘an ta’wīl āy Al-Qur’ān, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1954). Pencapaiannya yang luar biasa dalam disiplin tafsīr menginspirasi Ahmad M. Shākir (w. 1958) untuk memberikan gelar intelektual kepada Al-Tabarī sebagai “the leader of interpreters” (imām al-mufassirīn).

Di tengah kontradiksi makna Qur’ān, Al- Tabarī mengakui bahwa kedua makna itu memiliki aspek kebenaran (wajhun malihun) dari segi bahasa Arab, tetapi ia sendiri lebih berpihak pada penafsiran Ibn ‘Abbās seba­gai pendapat yang benar, karena Nabi memang diwajibkan untuk mengikuti bacaan yang dikomunikasikan kepadanya dan bertindak atas dasar perintah dalam wahyu itu, ter­lepas apakah setiap wahyu yang dibacakan kepadanya itu sudah dikompilasikan bersama dengan wahyu-wahyu lain ataukah tidak.

Memang benar bahwa Al-Tabarī terbuka untuk mengeksplorasi kemungkinan makna-makna Al-Qur’ān dalam tradisi penafsiran Islam awal, tetapi dia juga sering menggunakan konsensus sebagai mekanisme intelektual untuk melakukan “kontrol” atas makna Al-Qur’ān yang benar, yang sesuai dengan paham ortodoksi Islam. Karena itu, makna Al-Qur’ān secara umum yang tidak disahkan sebagai “kebenaran” oleh Al-Tabarī biasanya tidak populer dan bahkan sering “hilang” dari diskursus pemikiran Islam. Hal inilah yang mendorong saya untuk merasa perlu membaca kembali tradisi penafsiran Al-Qur’ān lain di fase Islam awal, yang secara sengaja diabaikan begitu saja oleh Al-Tabarī.

Ia, misalnya, sepenuhnya mengabaikan tradisi penafsiran Muqātil b. Sulaymān (w. 150/767), sekalipun dia menjadi penafsir Al-Qur’ān yang untuk pertama kali menafsirkan Al-Qur’ān secara utuh dalam Tafsr Muqtil b. Sulaymn (Kairo, 2002). Paska tafsīr Al-Tabarī, saya pun mulai melihat temuan sejumlah tafsīr Al-Qur’ān yang baru, mulai dari karya Al-Matūrīdī (w. 333/944), Ath-Tha‘labī (w. 427/1035) sampai muridnya yang terkenal, Al-Wālidī (w. 468/1076), yang memperkaya tradisi penafsiran Al-Qur’ān yang kadang tidak terekam dalam tafsīr Al-Tabarī.

Baca Juga: Ilmu Isytiqaq dan Diskursus Klasik Pelacakan Makna Term Al-Qur’an

As-Suyuti dan diskusi makna Qur’an

Dalam konteks itulah, saya ingin merujuk pada pemi­kiran raksasa intelektual Islam pada periode Mamlūk, Jalāl Al-Dīn Al-Suyūtī (w. 919/1505), karena ia berhasil mere­kam dua riwayat dalam al-Itqān fī ‘ulūm Al-Qur’ān yang justru tidak saya temukan dalam pengantar tafsir Jāmi‘ al-bayān ketika Al-Tabarī menafsirkan dua makna Qur’an secara kontradiktif. Di sini saya terkesan pada ikhtiar intelektual Al-Suyūtī dalam memperkaya diskusi Qur’ān yang justru memiliki paralelisme dengan tawrāt dan injīl di tradisi Islam awal. Karena itu, sejumlah otoritas Islam pada fase awal merasa cukup rileks, misalnya, ketika menyebut Qur’ān dengan tawrāt dan injīl, seperti terekam dalam dua riwa­yat yang berbeda ini.

Pertama, “Ibn Durays dan otoritas lainnya telah melaporkan dari Ka‘ab bahwa dia berkata: ‘Di dalam Tawrāt [dikatakan], O Muhammad, Aku akan mengirimkan kepadamu tawrāt baru, yang akan membuka mata orang buta, telinga orang tuli, dan hati orang kotor.’” Kedua, “Ibn Abī Hātim meriwayatkan dari Qatāda bahwa dia berkata: ‘Ketika Musa menerima lembaran-lembaran tawrāt (alwāh, tablets), dia berkata:’O Tuhan, saya temu­kan di lembaran-lembaran tawrāt sebuah komunitas yang “kitab sucinya” [gospels] berada di hati mereka (anājīluhum fī qulūbihim). Jadikan mereka komunitasku. Tuhan pun menjawab: itu adalah komunitas Ahmad.” Keberanian intelektual Al-Suyūtī dalam merekam dua tradisi ini patut diapresiasi karena ia berhasil menghadirkan kembali sejumlah otoritas penafsir awal yang berpikiran terbuka ketika menyebut Qur’ān dengan tawrāt dan injīl.

makna Qur’an yang plural dan kontradiktif dalam penafsiran tersebut, memberikan inspirasi intelektual kepada saya untuk mengajukan pertanyaan akademis yang selama ini terabaikan dalam wacana pemikiran Islam: Where is exactly the locus of meaning? Apakah lokus makna Qur’an inheren dalam teks-teks wahyu itu sendiri atau justru berada dalam komunitas penafsir Al-Qur’ān? Inilah pertanyaan metodologis yang membutuhkan keberanian intelektual tersendiri.