Salah satu pertanyaan yang diberikan kepada penulis dalam satu kesempatan diskusi tafsir Kyai Sholeh Darat adalah maksud dari diksi tarjamah (terjemah) yang digunakan dalam penamaan tafsirnya. Tafsir Kyai Sholeh memiliki nama lengkap Faid al-Rahman fi Tarjamah Kalam Malik al-Dayyan.
Bagi beberapa pengkaji, penggunaan diksi ini cukup problematik. Pasalnya, Faid al-Rahman lebih masyhur dikenal sebagai tafsir, bukan terjemah. Kajian ilmu Alquran sendiri membedakan antara terjemah dan tafsir. Lantas, apa maksud dari penggunaan diksi ini?
Penggunaan diksi terjemah sejatinya tidak hanya ditemukan dalam tafsir Kyai Sholeh saja. Beberapa tafsir kenamaan juga menambahkan diksi ini pada namanya, seperti Al-Iklil fi Ma‘ani al-Tanzil karya Mbah Misbah Musthofa yang menambahkan redaksi mawi tarjamah bahasa Jawi (menggunakan terjemah bahasa Jawa).
Baca juga: Menelusuri Jejak Tafsir ‘Faidl al-Rahman’ Kiai Sholeh Darat
Diskusi mengenai terjemah dan tafsir pada dasarnya telah banyak dilakukan. Beberapa tulisan singkat yang dapat dirujuk adalah milik Ulin Nuha berjudul Apakah Terjemahan Al-Quran Dapat Disebut Karya Tafsir? Inilah Pemetaan Levelisasi Mufasir Menurut Para Ahli yang kemudian direspon oleh Hamam Faizin dengan Uraian Lengkap Soal Terjemah Al-Quran dan Perbedaannya dengan Tafsir.
Faizin dalam disertasinya, Sejarah Penerjamahan Al-Qur’an di Indonesia, juga telah memberikan paparan yang sangat lengkap terkait dengan istilah terjemah. Dalam paparannya, dia menghimpun setidaknya tujuh pendapat pakar ilmu Alquran berikut dengan dinamika kajiannya. Secara umum, pendapat-pendapat tersebut mengerucut pada dua jenis terjemah, yakni al-tarjamah al-harfiyyah dan al-tarjamah al-tafsiriyyah.
al-Tarjamah al-Harfiyyah atau terjemah harfiah adalah memindahkan satu bahasa ke dalam bahasa lain dengan mempertahankan struktur (al-nazhm wa al-tartib) bahasa asli. Sedangkan al-tarjamah al-tafsiriyyah adalah menjelaskan (bayan) makna kalam dari satu bahasa ke bahasa lain tanpa terpaku pada struktur aslinya. Demikian setidaknya menurut Manna‘ Khalil al-Qaththan.
Dalam konteks Alquran, diksi tarjamah sendiri banyak diartikan sebagai tafsir oleh para pakar. al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan, Al-‘Alusyi dalam Ahkam Tarjamah al-Qur’an, dan Najdah Ramadan dalam Tarjamah al-Qur’an al-Karim wa Atsaruha fi Ma‘aniha mengartikan kata tarjamah al-Qur’an dengan tafsir al-Qur’an. Ini berarti bahwa terjemah Alquran pada dasarnya adalah tafsir Alquran itu sendiri.
Namun demikian, menurut Faizin, perlu dicatat bahwa kendati terjemah dan tafsir adalah sama (dengan pengertian yang mirip), keduanya memiliki perbedaan dalam segi luas-lebarnya penjelasan. Terjemah bagaimanapun juga akan lebih sempit ketimbang sebuah tafsir yang memiliki ruang cukup luas untuk berbagai sisi Alquran.
Untuk dapat menangkap maksud penggunaan diksi terjemah dalam kitab-kitab tafsir terlebih dahulu mengharuskan pembacaan terhadap kitab tafsir yang dimaksud. Faid al-Rahman misalnya, merupakan tafsir bernuansa sufi yang ditulis mengikuti model tartib mushhafiy. Sajian yang disuguhkan terbagi dalam tiga bagian, yakni ayat Alquran yang hendak ditafsirkan, terjemahan ayat, dan tafsir sufistik.
Baca juga: Penulis Satu-Satunya Tafsir Isyari Nusantara: Kiai Sholeh Darat Semarang
Melihat unsur sajian yang telah menyertakan terjemahan ayat secara langsung, dapat disimpulkan sementara bahwa maksud diksi tarjamah dalam Faid al-Rahman adalah benar-benar terjemah. Artinya bukan terjemah yang menggunakan arti tafsir secara istilah. Hal ini dikarenakan Faid al-Rahman memiliki bagian tafsir tersendiri di luar terjemahan ayat. Meskipun kemungkinan adanya terjemah tafsiriyyah tetap muncul sesuai pilihan terjemah yang diberikan nantinya.
Namun setelah membaca salah satu terjemahan yang diberikan dalam salah satu ayatnya, dapat diketahui bahwa varian terjemahan yang digunakan adalah tafsiriyyah. Hal ini mengacu pada pemaknaan terjemahan yang tidak terpaku pada struktur dan makna leksikalnya serta beberapa tambahan penjelasan yang tidak ditemui dalam letterlijk redaksi ayat.
Dalam Surah Al-Baqarah [2] ayat 253 misalnya, Kiai Sholeh menuliskan,
“Lan lamun kersaha Allah Swt. ing yento nuduhaken ing manusa kabeh maka yekti ora ana pada sulaya manusa kabeh sangking sawuse para rasul kabeh. Olehe pada sulaya sawuse wus teka ing manusa kabeh apa ayat kang (per)tela2 (?) kang nuduhaken wahdaniyyah Allah. Lan tetapine pada sulaya manusa kabeh kerana ana dene kersane Allah Ta‘ala ing mangkono2 sulaya. Maka setengah sangking manusa iku maka ana ingkang netepi imane sawuse ilange rasul. Lan tetapine manusa iku ana ingkang pada kufur kaya kaum Nashara kufur sawuse Nabi ‘Isa. Artine sawuse ilange Nabi ‘Isa. Lan lamun kersa Allah maka yekti ora ana pada sulaya ing dalem perkarane agamane. Maka ana sulayane kelawan kersane Allah Swt. lan tetapine setuhune Allah Swt. agawe barang kang sa’ kersane sangking kersa paring taufiq ing wongkang sa’ kersane lan paring khidzlan ing wongkang sa’ kersane. Artine paring iman ing ‘Umar bin al-Khaththab lan paring kufur ing Abu Jahl sartane karo pada wus ningali pira2 ayat lan pira2 mu‘jizat. Yahdi man yasya’ wa yudlill man yasya’.”
Sementara dalam Qur’an Kemenag, ayat tersebut diterjemahkan dengan,
“Seandainya Allah menghendaki, niscaya orang-orang setelah mereka tidak akan saling membunuh setelah bukti-bukti sampai kepada mereka. Akan tetapi, mereka berselisih sehingga ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) yang kufur. Andaikat Allah menghendaki, tidaklah mereka saling membunuh. Namun, Allah melakukan apa yang Dia kehendaki.”
Perbandingan dua terjemahan ini menunjukkan terdapat perbedaan yang mencolok terutama dalam contoh dan implikasi makna ayat yang diberikan Kiai Sholeh, yang tentu berimbas pada luas-lebarnya terjemahan. Kendatipun, terjemahan Kiai Sholeh ini tetap dapat dikategorikan sebagai terjemahan, bukan tafsir.
Dari paparan ini dapat diketahui bahwa maksud penggunaan diksi tarjamah dalam nama tafsir Faid al-Rahman karya Kiai Sholeh Darat adalah terjemah tafsiriyyah, yakni terjemah ayat Alquran yang tidak terpaku pada struktur bahasa asli Alquran, yakni bahasa Arab. Maksud penggunaan diksi yang sama dalam kitab lain juga dapat ditelusuri melalui kajian yang serupa. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []