BerandaKhazanah Al-QuranMushaf Al-QuranManuscript Culture Naskah Jalalain MAJT 

Manuscript Culture Naskah Jalalain MAJT 

Studi parateks pada naskah kuno terinspirasi dari karya Gerard Genette berjudul Seuils. Alih-alih menyajikan teks yang siap ‘dikonsumsi’ pembaca khas kajian filologi, parateks lebih fokus pada unsur ‘eksternal’ teks. Yakni seluruh elemen yang ada pada naskah, tetapi bukan teks utama naskah itu sendiri, seperti catatan pada bagian pias naskah, interlinear translation (pemaknaan antar baris), kolofon, dan lain sebagainya.

Studi parateks mencakup dua sub kajian utama, periteks dan epiteks. Periteks didefinisikan sebagai segala sesuatu yang ada di dalam naskah, tetapi bukan teks naskah atau matan itu sendiri. Sedangkan epiteks didefinisikan sebagai segala sesuatu yang menyertai teks naskah atau matan tetapi tidak ada dalam naskah itu.

Sebagaimana gagasan awal Genette, studi parateks dalam naskah kuno dilakukan untuk lebih memahami naskah tersebut. Dalam bahasa Oman Fathurahman, studi parateks dilakukan untuk menemukan manuscript culture atau budaya manuskrip (baca: naskah). Hal ini karena sebuah teks tidak benar-benar berdiri sendiri. Ada banyak hal di sekitarnya yang harus ‘dilewati’ untuk sampai pada makna teks sesungguhnya.

Dalam konteks naskah Tafsir Jalalain koleksi Museum Perkembangan Islam Jawa Tengah, studi parateks dapat dilakukan dengan menyasar bukan pada teks Jalalain-nya sebagai teks utama atau matan, tetapi pada berbagai catatan yang menyertainya, seperti catatan yang dikutip dari Tafsir Al-Wajiz karya Al-Wahidi (w. 468 H.), keberadaan teks Fath al-Mu‘in, catatan titi mongso (kalender), dan pemaknaan antar baris.

Baca juga: Naskah Tafsir Jalalain di Museum Masjid Agung Jawa Tengah

Studi terhadap elemen yang terlihat, yakni seluruh catatan nonmatan yang ada, disebut dengan periteks. Sedangkan studi terhadap elemen yang tidak terlihat, yakni elemen yang menyertai catatan nonmatan tersebut, disebut dengan epiteks. Studi epiteks dilakukan dengan merujuk pada sumber eksternal seperti wawancara, hasil penelusuran, kajian, dan catatan lain yang dapat ditemukan.

Studi parateks terhadap kutipan catatan teks Al-Wajiz pada naskah Jalalain koleksi Museum Perkembangan Islam Jawa Tengah mendapati beberapa dugaan culture. Di antaranya bahwa budaya menukil catatan dari suatu karya yang kemudian disandingkan dengan karya tertentu yang tengah dikaji merupakan aktivitas yang lazim dilakukan dan telah berlangsung lama, bahkan ketika media literasi tidak semasif saat ini.

Terlepas dari tujuan pasti dari penulisnya, jika membandingkan dengan apa yang terjadi saat ini, boleh jadi bahwa penulis hendak menyajikan keterangan yang ‘berbeda’ dari karya yang tengah ia kaji. Atau keterangan yang dinukil dianggap sangat penting dan menarik sehingga layak untuk dikutip. Atau dalam tingkat yang lebih tinggi, penulis ingin melakukan perbandingan di antara keduanya.

Aktivitas kutip mengutip ini dapat terjadi tentunya dengan mengandaikan keberadaan karya-karya lain yang dikutip. Dan melihat ragam rujukan kutipan yang ada, diketahui bahwa karya-karya tersebut telah beredar dan dikenal di antara para pengkaji, yang dalam hal ini adalah pengkaji tafsir. Kendati bukti temuan atas karya-karya tersebut masih dipertanyakan saat ini (baca selengkapnya pada Popularitas Tafsir al-Baghawi di Masa lalu).

Baca juga: Mengenal Hasyiah al-Shawi, Kitab Penjelas Tafsir al-Jalalain

Dugaan culture yang lain dari studi parateks naskah Jalalain tersebut adalah adanya resepsi sastra yang dilakukan oleh penulis naskah. Hal ini diketahui setelah dilakukan kajian lebih mendalam terhadap detail catatan yang ditulis. Adanya ‘perubahan’ dari teks asli catatan yang dikutip. Sebagai contoh, terdapat catatan berbunyi,

أعطيناه علما من علم الغيب فلما راه موسى سلم عليه فقال عليك السلام يا بني إسرائيل لم جئت فتواضع موسى هـ و

Setelah ditelusuri, catatan tersebut merupakan kutipan dari teks Al-Wajiz karya Al-Wahidi (w. 468 H.), tetapi hanya pada bagian awalnya saja, yakni pada bagian,

أعطيناه علماً من علم الغيب

Sementara sisanya tidak didapati pada teks Al-Wajiz. Pertanyaannya kemudian, dari manakah teks tambahan tersebut? Dikatakan tambahan karena pola kutipan yang digunakan membubuhkan huruf wawu setelah ha’ di akhir kutipan yang merupakan inisial dari Al-Wajiz (الوجيز).

Jika mengikuti pakem pengutipan, harusnya inisial tersebut diletakkan setelah kata al-gaib yang merupakan akhir dari teks Al-Wajiz. Nyatanya tidak demikian. Sehingga sisa teks yang ada dimungkinkan merupakan tambahan dari penulis yang ia dapatkan setelah membaca karya lain atau mungkin mendapatkan keterangan dari seorang kiai atau guru ngaji.

Baca juga: Terjemahan Tafsir Jalalain Berbahasa Madura

Resepsi ini mengecualikan catatan-catatan yang ‘sedikit’ berbeda dari teks asli yang dikutip karena mungkin terjadi kesalahan (error) saat mengutip oleh penulis. Dalam naskah Jalalain, kesalahan semacam ini seperti pada kutipan,

أي عجب عجبا أخبر عنه تعجبه من ذلك هـ و

Yang dalam teks asli Al-Wajiz tertulis,

أَي: أعجب عجباً أخبر عن تعجُّبه من ذلك

Demikian juga mengecualikan catatan-catatan yang setelah ditelusuri tidak ditemukan pada teks aslinya. Apakah penulis salah memberikan inisial rujukan teksnya ataukah teks tersebut memang bukan bagian dari teks asli yang dimaksudkan dalam inisial yang diberikan? Wallahu a‘lam.

Dua manuscript culture yang disebutkan di atas merupakan sebagian dari banyak culture yang dapat dikuak dari sebuah naskah kuno. Dalam konteks tulisan ini, naskah yang dimaksud adalah Tafsir Jalalain koleksi Museum Perkembangan Islam Jawa Tengah. Dan sudut pandang yang dilihat adalah catatan interpolasi yang dirujuk dari teks Al-Wajiz.

Manuscript culture lain sangat mungkin ditemukan, entah dengan melihat pada sudut pandang yang sama atau sudut pandang lain dari seluruh temuan catatan yang ada, seperti teks Fath al-Mu‘in, catatan titi mongso, dan atau pemaknaan antar baris. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...