Satu lagi cabang dari ilmu Al-Quran, yaitu ilmu maqashid Al-Quran. Apa pengertian dari ilmu maqashid Al-Quran dan bagaimana contoh penerapannya dalam penafsiran Al-Quran, khususnya pada ayat-ayat perang?
Maqasid Al-Quran merupakan sebuah term yang bersifat idiomatis. Terdiri dari dua kata, yaitu maqaṣhid dan Al-Quran. Tidak ada kesepakatan antar ulama tentang definisi maqashid Al-Quran. ‘Abd al-Ṣabūr Syāhīn dalam Tārīkh al-Qur’ān mendefinisikan maqasid Al-Quran sebagai tujuan-tujuan utama yang karenanya Al-Quran diturunkan demi kemaslahatan manusia.
Definisi yang lebih komprehensif ditawarkan oleh Tazul Islam dalam Maqashid al-Qur’an a Search for a Scholarly Definition. Menurutnya, maqashid Al-Quran adalah ilmu untuk memahami diskursus Al-Quran dengan mempertimbangkan tujuan-tujuan utamanya yang merepresentasikan inti Al-Quran sebagaimana ditunjukkan oleh makna-maknanya yang terdistribusi dalam ayat-ayat muḥkamāt (a science of understanding the Qur’anic discourse in light of its purposes [maqāṣid], which represent the core of the Qur’an and are corroborated by their means, and distributed among the understandable [muḥkam] verses of the Qur’an).
Meski demikian, semua definisi yang ditawarkan oleh mereka mengerucut pada satu hal yang sama bahwa maqashid Al-Quran merupakan inti ajaran Al-Quran yang bersifat abadi dan seharusnya digunakan untuk melihat Al-Quran.
Baca Juga: Mengenal 8 Maqasid Al Quran Versi Ibnu ‘Asyur
Deradikalisasi Penafsiran Berbasis Maqashid Al-Quran
Deradikalisasi penafsiran merupakan proses elastisitas terhadap hasil pembacaan ayat-ayat yang mengandung diksi “radikal”. Dalam tulisan ini, penulis memilih untuk mengambil ayat al-qitâl (ayat-ayat perang) atau âyât al-sayf (ayat-ayat pedang) sebagai sampel penerapan maqashid Al-Quran.
Usaha untuk “melunakkan” tersebut menjadi sebuah “keharusan” dalam konteks keindonesiaan saat ini. Ketika masyarakat yang ada tidak lagi dibagi-bagi menjadi masyarakat Muslim dan non-Muslim—sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok- kelompok radikal yang ada di Indonesia. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai entitas berbeda namun saling terkait dan bersimbiosis mutualisme. Berikut aplikasi deradikalisasi ayat-ayat yang terkesan “radikal” berbasis pada maqashid Al-Quran:
- Surat al-Tawbah [9]: 5
فَاِذَا انْسَلَخَ الْاَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُّمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍۚ فَاِنْ تَابُوْا وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Apabila sudah habis bulan-bulan suci itu, maka bunuhlah orang- orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat, mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang”.
Ayat tersebut menunjukkan beberapa diksi “radikal” seperti: membunuh, mengepung dan mengintai orang-orang non-Muslim. Izin tersebut tidak dibatasi kecuali oleh keadaan ketika orang-orang non- Muslim telah masuk Islam yang diungkapkan dengan “mendirikan salat dan menunaikan zakat”.
2. Surat At-Tawbah [9]: 29
قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَلَا يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَلَا يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حَتّٰى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَّدٍ وَّهُمْ صٰغِرُوْنَ ࣖ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan Kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
3. Surat at-Tawbah [9]: 36
وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ
“……dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa.”
Diksi ketiga yang menunjukkan kekerasan, merupakan potongan yang tidak utuh dari sebuah ayat. Bagian yang memerintahkan semua umat Islam untuk memerangi dan atau membunuh semua orang non- Muslim, seakan menjadi justifikasi untuk melegalkan segala bentuk anarkisme terhadap “yang lain”. Berbeda dengan ayat-ayat pedang lainnya, ayat ini membatasi perintah untuk memerangi dengan keadaan “sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya”. Namun demikian, bagian tersebut sering dianggap tiada dan diacuhkan, dalam “penafsiran radikal”.
4. Surat at-Tawbah [9]: 41
اِنْفِرُوْا خِفَافًا وَّثِقَالًا وَّجَاهِدُوْا بِاَمْوَالِكُمْ وَاَنْفُسِكُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Keempat ayat tersebut masih diperkuat lagi dengan ayat-ayat semisal yang menyatakan betapa orang-orang non-Muslim tidak akan menyukai dan akan selalu “membahayakan” umat Islam, sampai mereka mengikuti agama-agama tersebut (QS. Al-Baqarah: 120). Ketika seluruhnya disatukan dan dituangkan dalam sebuah ideologi, tentunya akan melahirkan ideologi radikal yang menghalalkan cara-cara “zaman batu” untuk menyelesaikan perbedaan.
Deradikalisasi atas penafsiran ayat-ayat tersebut menjadi sebuah keniscayaan bagi masyarakat Indonesia yang memiliki keragaman budaya dan agama. Proses deradikalisasi ini bisa dilakukan dengan banyak teknik. Dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan maqashid Al-Quran.
Baca Juga: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 120: Benarkah Yahudi dan Nasrani Tidak Rela Terhadap Islam?
Hifz al-Din wa Tatwir Wasailih
Poin pertama dari maqashid Al-Quran adalah mempertahankan agama dan mengembangkan segala sarana untuk kemajuan agama. Dalam konteks penafsiran ayat-ayat pedang di atas, dalam satu sisi memang terlihat seolah poin mempertahankan Islam dari serangan dan bahaya dari luar terpenuhi dengan memperbolehkan dan bahkan memerintahkan untuk mengintai, mengepung, dan bahkan membunuh orang-orang non-Muslim.
Akan tetapi, perlu diperhatikan juga sisi tatwîr wasâilih yang menjadi bagian dari hifz al-dîn. Mempertahankan agama tidak melulu harus dengan kekerasan, sebaliknya, dapat dilakukan dengan cara-cara “elegan” sesuai dengan masa dan wilayahnya.
Dalam bahasa Arab sendiri, kata qatl tidak hanya berarti membunuh secara fisik dengan kekerasan. Akan tetapi juga dapat dimaknai dengan segala hal yang dapat menyebabkan kehinaan dan kematian (yadull ‘alâ idhlâl wa imâtah). Ketika menjelaskan tentang kata qatala, Ibn Fâris dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah tidak membatasi hanya pada hal-hal bersifat fisik dan dengan cara kekerasan. Akan tetapi ada pula hal-hal psikis dan non-fisik tanpa menggunakan kekerasan yang juga dapat mengakibatkan kehinaan ataupun kematian. Lebih dari itu, kematian juga tidak harus berarti hilangnya nyawa dari badan, akan tetapi bisa juga diartikan dengan hilangnya kesadaran atau sesuatu yang lain dari diri seseorang.
Jika secara bahasa, kata qatl tidak selalu diartikan dengan membunuh secara fisik, maka menafsirkan perintah qâtilû yang ada dalam ayat-ayat sayf dengan arti lain, selain membunuh, tidaklah menyalahi kaidah penafsiran. Ditambah dengan lingkup sosial di mana ayat tersebut “dibaca” dan ditafsirkan.
Mempertahankan Islam dengan kekerasan dalam konteks keindonesiaan tentunya perlu untuk ditimbang kembali. Membunuh dan memerangi bukanlah solusi terbaik dalam meneguhkan agama Islam di Indonesia. Sejarah masuknya Islam di Nusantara menjadi bukti atasnya. Keyakinan Islam yang dianut oleh masyarakat Nusantara saat itu lebih bersifat “adhesi” dari pada “konversi”. Hal ini disampaikan oleh cendekiawan muslim Indonesia, Azyumardi Azra dalam Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara. Islam disebarkan dan dipertahankan dengan “menarik perhatian”, dan bukan dengan “memusnahkan” apa yang telah ada dalam masyarakat lokal.
Baca Juga: Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror
Seperti disampaikan oleh Mustansir Mir, membaca sebuah ayat tidak dapat dilepaskan dari konteks surat dan keseluruhan al-Qur’ân, karena Al-Quran adalah sebuah kesatuan yang utuh. Demikian pula dengan ayat-ayat pedang di atas. Pada ayat ke-5 dari surat al-Tawbah, misalnya, merupakan poin kedua dari sebuah kaidah utama tentang interaksi politik antara masyarakat Muslim dan non- Muslim dalam keadaan perang.
Dengan demikian, penafsiran ayat tersebut tidak harus sama persis dengan teks tertulisnya, jika diaplikasikan pada wilayah damai seperti Indonesia. Sebaliknya, kata “memerangi” atau “membunuh” harus ditafsirkan dengan “lebih lunak”, semisal dengan melakukan diplomasi atau opsi-opsi lain yang meminimalisir tindak kekerasan. Sesuai dengan maqashid Al-Quran yang pertama.
Wallahu A’lam