BerandaUlumul QuranMelacak Jejak Para Kontributor Pengembang Ilmu Isytiqaq

Melacak Jejak Para Kontributor Pengembang Ilmu Isytiqaq

Dalam memahami suatu term asing, umumnya, pelacakan dimulai dari sisi etimologis. Salah satu potret tersebut ialah upaya Ulama klasik yang mencoba mencari makna Al-Quran yang secara garis besar terbagi dalam dua fase: 1) Al-Quran sebagai Musytaq (mengikuti konsep Isytiqaq), 2) Al-Quran sebagai Isim ‘Alam, sebagaimana dalam penelitian Fadhli Lukman dalam buku Menyingkap Jati Diri Al-Qur`an: Sejarah Perjuangan Identitas Melalui Teori Asma’ al-Qur`an. Melihat potret tersebut, posisi Ilmu Isytiqaq bisa jadi mendapat peran sentral dalam mengungkap makna etimologis suatu term, terutama dalam pelacakan sisi derivasinya. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, kita kenali terlebih dahulu para kontributor pengembang Ilmu Istiqaq.

Tiga peletak pertama Ilmu Isytiqaq

Menurut Muḥammad Ṣadīq Ḥasan Khān, dalam al-‘Ilm al-Khaffāq min ‘Ilm al-Isytiqāq, disebutkan bahwa pembahasan mengenai Isytiqâq sampai pada paruh abad keempat hijriyah tidak keluar dari kata yang bersesuaian dalam lafaz dan makna bersamaan dengan runtutan huruf. Pembahasan ini yang nanti dinamakan dengan Isytiqâq Shaghîr atau Ashghâr.

Ada tiga tokoh yang tersebut sebagai peletak pertama ilmu isytiqâq dalam pertumbuhannya: 1) Abȗ Sa’îd Abd al-Mâlik ibn Quraîb al-Asma’î (wafat sekitar 215 H.) dengan kitabnya, Isytiqâq al-Asmâ’, 2) Abū ‘Alī Muḥammad ibn al-Mustanir, yang juga dikenal dengan Qutrūb (w. 206 H.), dan 3) Abū al-Ḥasan Sa’īd ibn Mus’ada al-Balkhi al-Baṣrī, atau disebut juga dengan al-Akhfasy Al-Awsaṭ (w. 216 H.).

Hanya saja, seiring berkembangnya zaman banyak tangan-tangan yang merusak dan menghilangkan tulisan-tulisan mereka hingga hilanglah warisan bangsa Arab yang sangat ahli dalam bidang bahasa Arab.

Para kontributor pengembang Isytiqaq Saghīr

Kemudian pada abad ketiga Hijriyyah muncullah Abȗ Bakar Muhammad ibn al-Hasan ibn Duraid (w. 321 H) dengan karyanya, al-Isytiqâq, yang menjelaskan nama-nama populer di kalangan Arab karena di dalam nama tersebut terdapat suatu makna. Ibn Duraid juga mengarang sebuah kamus yang bernama Jamharah al-Lughah. Kemudian diikuti oleh Abȗ al-Husain Ahmad ibn Fâris (w. 395 H) dengan kitabnya, al-Maqâyîs, yang menjelaskan tentang tiap-tiap kosa kata yang ada berdasarkan materi yang satu (susunan hurufnya).

Para kontributor pengembang Isytiqāq Kabīr

Setelah paruh akhir abad keempat Hijriyah pembahasan mengenai isytiqâq mulai dibahas dari sudut pertukaran lafal yang satu, dan dapat difahami bahwa dari hal itu ada keterkaitan arti dari satu lafal yang diputar dan dibalik lafalnya yang dikenal dengan Isytiqâq Kabîr. Tokoh yang pertama mempunyai ide mengenai isytiqâq ini adalah Utsmân ibn al-Jinnî (w. 392 H.).

Pada waktu itu, juga sudah ada yang menulis kamus bergenre Isytiqāq Kabīr berdasarkan kosa kata yang dimulai dengan huruf ’ain dan sebanyak 15 jilid. Kitab ini dikenal dengan nama Tahdzîb al-Lughah yang dikarang oleh Abū Mansūr Muḥammad ibn Aḥmad al-Azharī (282-370 H.).

Baca juga: Peran Ilmu Isytiqaq dalam Kajian Al-Qur’an

Setelah paruh akhir abad keempat hijriyah, ibn al-Jinnî (w. 392 H.) muncul dengan menggagas teori baru yang disebut sebagai Isytiqâq Kabîr dalam kitabnya, al-Khaāi.

Menurutnya, kata-kata dalam bahasa Arab yang berasal dari tiga huruf yang sama meskipun urutan hurufnya berbeda memiliki makna umum yang sama. Misalnya kata-kata berikut ini : جبر  – جرب بجرربجبرج  – رجب mempunyai makna umum yang sama yakni القوة والشدة  (al-quwwah wa al-syiddah: kekuatan dan kekerasan).

Dari sinilah isytiqâq mulai terbagi menjadi dua jenis; Saghir dan Kabir. Jenis yang pertama dikaji dalam ilmu sharaf, misalnya isim fâil atau pun isim maf’ȗl yang diambil dari masdarnya, seperti قائل  (qâ’il) danمقول  (maqȗl) dari kata قول  (qawl). Yang kedua (Isytiqâq Kabîr) dikaji dalam fiqh lughah.

Baca juga: Mengenal Konsep “Akar-Pola” Ilmu Istiqaq dalam Memahami Makna Bahasa Al-Qur’an

Isytiqâq Kabîr disebut juga dengan derivasi tengah, yaitu pembentukan kata turunan dengan mengubah susunan huruf-huruf konsonan. Ibn Jinnî termasuk salah seorang pendukung awal terhadap metode ini. Asumsi yang mendasari prinsip ini adalah bahwa bunyi mempunyai hubungan yang erat dengan makna tanpa memandang letak suatu huruf.

Literatur-literatur Ilmu Isytiqaq

Dalam perkembangannya, sampai saat ini sudah banyak literatur-literatur yang membahas mengenai keilmuan ini. Selain kitab-kitab yang disebutkan sebelumnya, penulis menemukan berbagai literatur mengenai isytiqâq diantaranya, al-Isytiqâq karya Abȗ ‘Abbâs al-Mubarrad (w. 275 H.), al-Isytiqâq karya Abȗ Ishâq al-Zujjâj (w. 311 H.), al-Isytiqâq karya Abȗ Bakr ibn al-Sirrâj (w. 316 H.), Isytiqâq Asmâ` Allah Ta’âlâ karya Abȗ al-Qâsim Abd al-Rahmân al-Zujjâjî (w. 337 H.), al-Sahabi fî Fiqh al-Lughah karya Ibn Fâris (w. 395 H), al-Muzhîr fî ‘Ulȗm al-Lughah karya Jalâl al-Dîn al-Suyȗtî (w. 911 H), Nuzhah al-Ahdâq karya Muhammad ibn ‘Alî al-Syaukânî (w. 1255 H.), dan sebagainya.

Kemudian kajian ini dikaji oleh para ahli bahasa kontemporer, seperti Emin Badî’ Ya’qȗb dalam Fiqh al-Lughah (1983 M.) dan ‘Abdullah Amîn dalam al-Isytiqâq (2000 M.). Mereka mengembangkan isytiqâq menjadi empat macam selain kedua jenis sebelumnya (Isytiqâq Saghîr, asghar, ‘âm atau sarfî, dan Isytiqâq Kabîr), yakni  Isytiqâq Akbâr dan Isytiqâq Kubbâr atau al-Naht.

Perdebatan dalam eksistensi Isytiqāq Kabīr

Kemunculan Ilmu Isytiqaq tidak hadir begitu saja tanpa adanya unsur perdebatan. Salah satu yang menjadi wacana dalam perdebatan ialah eksistensi Isytiqâq kabir yang digagas oleh Ibn Jinnī untuk menunjukkan bahwa ia menjadi salah satu ciri khas Bahasa Arab.

Namun demikian, ada beberapa yang tidak setuju dengan gagasan Ibn Jinnī ini di antaranya ialah Jalāluddin al-Suyȗtî, yang adalah salah satu kontributor Ilmu Isytiqaq. Menurutnya, teori ibn Jinnî ini tidak dapat dijadikan pegangan, sebab selain kosa kata yang disebutkan oleh ibn Jinnî, yang mempunyai persamaan hanya sedikit sekali, dan memberikan kesan pemaksaan arti dan gegabah.

Baca juga: 4 Macam Bacaan Mad Badal dalam Ilmu Tajwid dan Contohnya

Tidak sedikit juga yang mendukung gagasan Ibn Jinnī ini, termasuk dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, M. Suryadinata, yang pada tahun 2008 menulis disertasi berjudul “Pertukaran Huruf dalam Kosa Kata Al-Qur`an: Studi Analisis Teori Isytiqāq Taqlīb terhadap Pemahaman Al-Qur`an”, yang dipromotori oleh Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, M.A., Prof. Dr. H. D. Hidayat, M.A., Prof. Dr. Suwito, M.A., Prof. Dr. Salman Harun, Prof. Dr. Moh. Matsna, M.A. Wallahu a’lam.

Salman Al Farisi
Salman Al Farisi
Mahasiswa pasca (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Aktif kajian Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...