BerandaUlumul QuranMelihat Fungsi Interpretasi Jorge J E Gracia sebagai Teori Penafsiran Al-Quran

Melihat Fungsi Interpretasi Jorge J E Gracia sebagai Teori Penafsiran Al-Quran

Teori fungsi interpretasi yang ditawarkan oleh Jorge J E Gracia memungkinkan untuk dipakai sebagai salah satu perangkat berpikir dalam mengembangkan kaidah penasiran. Pendekatan hermeneutika yang digagasnya dikenal bersifat moderat yang ditempatkan ke dalam aliran obyektif cum subyektif yakni berada ditengah antara subyektif dan obyektif.

Hermeunitika Gracia sebagai jalan tengah

Seperti yang ditulisan Syamsul Wathani dalam Hermeneutika Jorge J E Gracia Sebagai Alternative Teori Penafsiran Tekstual Al-Quran, Sebagai sistem interpretasi, hermeneutika masih dipandang sebagai pendekatan yang bisa melenyapkan kesakralan teks. Sebagian pihak setuju dan sebagian lain menggugatnya. Perdebatan terjadi berdasarkan beberapa elemen seperti, ketidaksesuaian hermeneutika dengan beberapa perangkat penafsiran Al-Quran.

Melihat permasalahan yang muncul, maka penulis akan mengangkat hermenutika Gracia sebagai jalan tengah dalam polemik ini. Karena adanya keseimbangan antara makna asal teks dan peran seorang pembaca dalam penafsiran hermeneutika moderat yang diperkenalkan oleh Gracia. Sahiron Syamsuddin dalam karyanya  Hermenetuika Dan Pengembangan Ulumul Qur’an menjelaskan bahwa dalam hal ini, memungkinkan model hermeneutika yang diperkenalkan oleh Gracia untuk diaplikasikan dalam lingkup Ilmu Al-Quran dan Tafsir. Karena dianggap memiliki kemiripan dalam tradisi penafsiran Al-Quran.

Mengutip Nablur Rahman dalam Hermeneutika J E Gracia (Sebuah Pengantar), Sebab dalamnya perhatian Gracia terhadap interpretasi, membuatnya tidak hanya mengkaji secara general tetapi juga mengamati bagaimana proses pemahaman seseorang untuk memaknai sebuah teks. Maka, Gracia membagi teks ke dalam lima bentuk yang berbeda dan dirumusakan sebagai berikut: 1. Teks-teks nyata yang prakteknya lebih mengarah ke teks historis. 2. teks perantara. 3. teks kontemporer. 4. teks yang dimaksud dan 5. teks ideal. Pembagian tersebut merupakan sebuah proses interpretasi yang dilalui oleh para penafsir.

Baca juga: Teori Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Perkembangannya dalam Studi Al-Quran

Teks historis seringkali membuat penafsir terjebak dalam asumsi pribadi yang akan mengubah makna dari sebuah teks. Sehingga muncul beberapa perbedaan pemahaman dari audiens dan menimbulkan dilema para penafsir. Gracia berpendapat bahwa sebuah makna memang memliki batasan, tetapi batasan tersebut tergantung pada berbagai faktor maka sebaiknya pengkaji teks tidak memahami makna teks dalam lingkupan yang sempit. Jadi, meskipun pembaca boleh memahami teks dengan perspektifnya namun tidak diperbolehkan memahami sekehendaknya.(Syamsuddin, 2017: 106-108).

Menurut Gracia, teks adalah sebuah entitas historis, yakni teks yang di produksi oleh pengarang atau muncul pada waktu dan tempat yang tertentu. Maka, sebuah teks merupakan bagian dari masa lalu. Ketika seorang pengkaji ingin berinteraksi dengan teks harus dipastikan menjadi seorang historian untuk mendapatkan kembali makna masa lalu. Permasalahannya, tidak semua pengkaji teks memiliki akses untuk mendapatkan entitas dari pengarang dan menyampaikan maknanya, hal ini disebut Gracia dengan dilema penafsiran. Kemudian, untuk mendapatkan solusi dari permasalahan tersebut Gracia menawarkan sebuah temuan yang disebut dengan “the development of tekxtual interpretation”(pengembangan interpretasi tekstual) yang bertujuan untuk menjembantani ketidaksesuaian antara keadaan ketika teks historis di produksi dan keadaan audiens kontemporer yang mencoba untuk mengimplikasikan makna teks tersebut.

Baca juga: Massimo Campanini; Pengkaji Al-Quran Kontemporer dari Italia

Teori penafsiran tidak akan terlepas dari tiga komponen dasar yaitu; teks, konteks dan kontekstualisasi. Begitupula yang diperbincangkan oleh Gracia mengenai interpretasinya, ia tidak terlepas dari pemahaman original teks yang dikaitkan dengan pengarang teks dan para audiens terdahulu dan sekarang. Menurut Gracia ada tiga hal yang dilibatkan dalam interpretasi yaitu teks yang ditafsirkan (interpretandum), penafsir dan keterangan tambahan (interpretans). Interpretendum adalah teks historis itu sendiri dan interpretans adalah ungkapan yang memuat tambahan-tambahan dari penafsir sehingga lebih mudah dipahami.(Syamsuddin, 2017: 112)

Teori fungsi interpretasi Gracia dan langkah-langkahnya

Teori fungsi interpretasi adalah cara yang ditawarkan Gracia untuk menciptakan pemahaman dalam diri audiens kontemporer terhadap teks yang ditafsirkan. Fungsi tersebut terbagai menjadi tiga yaitu; fungsi historis, fungsi makna, dan fungsi implikatif.

Fungsi historis berfungsi untuk menciptakan pemahaman dalam benak audiens kontemporer yaitu mengenai pemahaman sang pengarang teks dan audiens historis.

Fungsi makna betujuan untuk meciptakan pemahaman dalam benak audiens kontemporer untuk mengangkap makna dari teks, terlepas apakah makna tersebut memang yang dimaksud oleh sang pengarang teks atau tidak.

Sementara, fungsi implikatif bertujuan untuk memunculkan pemahaman dalam benak audiens kontemporer untuk memhamai teks yang ditafsirkan secara implikatif.

Mengutip Ali Akbar dalam Tawaran Hermeneutika Untuk Menafsirkan, Paul Ricoeur mendefinisikan hermeneutika menjadi acuan balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai dasar dari hermenenutika. Menurutnya, hermenutika adalah teori tentang kaidah yang menata sebuah eksegesis.

Baca juga: Amina Wadud dan Hermeunitika Tauhid dalam Tafsir Berkeadilan Gender

Pernyataan diatas dapat dijadikan landasan bahwa penawaran Gracia tentang teori fungsi penafsiran bisa digunakan dalam pengembangan penafsiran pada Al-Quran. Seperti penjelasan Ulummudin dalam Tafsir Kontemporer Atas “Ayat Perang” Q.S. Al-Taubah(9):5-6:Perspektif Hermeneutika Jorge J E Gracia, di mulai dengan fungsi historis, seorang penafsir bisa menggunakan analisis historis dan bahasa (linguistik) terhadap ayat yang ingin ditafsirkan. Analisis Bahasa digunakan untuk meneliti pengunaan struktur tertentu atau kata yang ada pada masa turunnya ayat. Kemudian analisis historis sendiri bisa digunakan sama halnya dengan asbabun nuzul mikro atau makro. Metode intertekstualisasi juga bisa digunakan untuk mencari hubungan ayat Al-Quran dengan teks lain.

Setelah mendapatkan makna utama ayat yang dimaksud, langkah selanjutnya yaitu mengembangkannya dengan fungsi makna berdasarkan pada makna dasar hasil dari fungsi historis dan tidak lupa dengan aspek kebahasaan yang menempati posisi penting dalam penafsiran Al-Quran serta keterkaitannya dengan makna. Dengan memperhatikan korelasi ayat-ayat Al-Quran serta kajian lingusitik terhadap ayat tersebut. Pada akhirnya, makna tersebut bisa dikembangkan pada konteks kekinian. Hal tersebut layaknya seperti upaya untuk mengontekstualisasi makna teks.

Dan, terakhir, fungsi implikatif, yakni penafsiran yang dibantu dengan ilmu lain seperti antropologi, sosiologi ataupun ilmu kedoteran. Pada fungsi ini, penafsiran tidak hanya mamahami arti atau makna sebuah ayat tetapi juga mengembangkannya. Fungsi implikatif bisa dilihat dengan munculnya penafsiran-penafsiran Al-Quran kontemporer dengan berbagai macam corak seperti corak tafsir ilmi dan fiqh.

Baca juga: Inilah Lima Latar Belakang Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed

Suatu kemungkinan jika gagasan Gracia ini sudah dibahas oleh beberapa pakar kebahasaan. Tetapi, tentu Gracia juga sudah memodifikasi dengan olahan yang menarik. Dengan begitu, heremeneutika Gracia bisa menjadi alternatif bagi para pengkaji tafsir untuk menggali dan mencari makna asli sebuah teks khususnya Al-Quran.

Walaupun sejumlah kalangan masih manafikan beberapa tawaran metodologi modern dengan asumsi yang diyakini masing-masing, teori dan pemikiran yang digagas oleh Gracia ini dapat dipertimbangkan. Sehingga, perlu kiranya para pakar tafsir memahami kembali, memodifikasi, serta menelaah aspek hermeneutika Gracia. Di sisi lain, juga mengaitkannya dengan Studi Al-Quran dan Islam tanpa harus merubah teori lama agar dapat menghadirkan makna Al-Quran. Doktrin keagamaan yang rasional sehingga melahirkan pemahaman yang luas, karena Al-Quran shalih li kulli zaman wa makan.

Wallahu a’lam[]

Syifa Fitri Kiftiana
Syifa Fitri Kiftiana
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Minat pada kajian tafsir dan Ulumul Quran
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...