Dunia sedang menonton film kolosal terbesar, perang antara Israel vs Hamas. Ribuan korban terus berjatuhan, anak kecil, wanita dan rakyat sipil menjadi korban. Mata dunia tertuju pada mereka, protes terus bergulir dari berbagai penjuru dunia. Kita bisa melihat, segala macam seruan maupun kecaman international tidak digubris. Terdapat 190 kepala negara dan seakan tak satupun mampu untuk menghentikan kekejaman yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina.
MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengeluarkan fatwa No. 83 tahun 2023 tentang wajibnya mendukung perjuangan Palestina dan haramnya mendukung aneksasi Israel. Fatwa tersebut kemudian diimplementasikan secara berlebih dengan menganggap haram membeli produk yang berafiliasi terhadap Israel, padahal fatwa MUI tersebut tidak sampai ke tahap tersebut.
Fatwa tersebut hanya mengatakan keharaman mendukung agresi Israel, kecuali ketika kita membeli berbagai produk tersebut dengan tujuan mendukung kekejaman Israel terhadap Palestina, maka hukumnya bisa haram. Artinya lakukan boikot semampunya, dan lakukan dukungan perjuangan terhadap Palestina semampunya juga.
Apakah tindakan boikot mampu mengendorkan agresi yang mereka lakukan? Belum tentu juga, akan tetapi setidaknya kita tidak diam melihat peperangan itu dan ikut berbuat sesuatu meskipun kecil. Dalam satu Kaidah Ushuliyyah dikatakan, ‘jika kita tak mampu melakukan satu hal besar maka jangan sampai tidak melakukan apapun meskipun itu kecil’ (mȃ lȃ yudroku kulluh, lȃ yutroku julluh).
Baca Juga: Nabi Ibrahim Adalah Muslim, Bukan Yahudi ataupun Nasrani
Keteguhan Nabi Ibrahim
Untuk dapat memahami fenomena boikot tersebut, mari kita menempuh alur mundur ke kisah Nabi Ibrahim, yakni ketika Nabi Ibrahim menghadapi kaumnya dengan raja lalimnya yaitu Raja Namrȗz yang memperlakukan Nabi Ibrahim dengan semena-mena. Beliau pernah dilempar kedalam kobaran api karena telah berani menentang perintah sang raja.
Nabi Ibrahim dikenal sebagai abul anbiya atau kakek moyang para Nabi, karena dari beliau bersama Hajar kemudian lahirlah Nabi Ismail as. dan dari Sarah lahirlah Nabi Ishaq as. yang kemudian mempunyai anak Nabi Ya’qub as. (QS al-Ankabut:27) dan kemudian berketurunan Nabi Yusuf as.
Kenapa dalam Alquran terdapat banyak kisah baik tentang para Nabi maupun cerita tentang sekual ummat terdahulu? Hal tersebut tidak lain adalah karena pada dasarnya kita selalu tertarik dengan cerita. Satu kisah yang terdapat alur cerita, diketahui awal permulaannya serta diketahui ending akhir ceritanya, selalu menarik perhatian para pendengarnya.
Begitu juga dengan Alquran, akan tetapi bedanya adalah bahwa yang dikisahkan dalam Alquran bersandar dari wahyu, pada kisah nyata yang sarat akan makna (Manna al-Qattan, 1995: 303). Di samping itu kisah dalam Alquran mempunyai satu tujuan besar yakni menginspirasikan tentang ajakan pada ketauhidan dan keimanan kepada Allah semata (Fadl Hasan Abbas, 2010: 44).
Kisah tersebut seperti dituturkan dalam surah al-Anbiya’ ayat 52, berawal ketika Ibrahim muda mendapati tetua serta moyangnya masih dengan tekun menyembah berhalanya, padahal mereka membuat berhala tersebut, kemudian mengedarkan dan menjualnya, bukan tuhan yang mampu menciptakan, akan tetapi tuhan yang justru diciptakan mereka sendiri. Mereka beralasan dalam ayat 53: “kami mendapati nenek moyang kami menyembah mereka”, dan hal tersebut kemudian dijawab oleh Ibrahim bahwa apa yang telah mereka lakukan adalah sesuatu yang telah menyimpang dan sesat.
Resistensi berupa tentangan dan tantangan kemudian muncul terhadap Ibrahim, mereka kemudian meminta bukti serta argumentasi terhadap apa yang didakwahkan oleh Ibrahim.
Di sini Kemudian kebijaksanaan Ibrahim muncul dengan mengungkapkan kesamaan-kesamaan nilai yang ada dengan menjawab pada ayat 56: “Sebenarnya, Tuhanmu adalah Tuhan yang menguasai langit dan bumi yang telah menciptakannya dan aku adalah salah satu saksi atas hal tersebut.” Ibrahim muda seakan hendak mengatakan bahwa Tuhan adalah dzat yang mampu menciptakan langit dan bumi ini, bukan berhala yang justru kamu ciptakan. Lalu Ibrahim bergumam sendiri dan berjanji akan menghancurkan patung-patung yang menjadi sesembahan setelah mereka meninggalkan tempat tersebut (al-Anbiya; 57).
Baca Juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 52-55
Pada suatu hari terdapat sebuah perayaan besar yang melibatkan semua orang untuk mendatangi perayaan tersebut, Ibrahim sempat diminta ayahnya untuk mendatanginya, kemudian beliau ikut untuk berangkat menuju acara tersebut, akan tetapi di tengah perjalanan, beliau mengurungkan niatnya untuk pergi, dan justru balik bergegas menuju tempat berhala-berhala sesembahan mereka. Sesampainya di tempat sesembahan mereka, kemudian Ibrahim menghancurkan berhala mereka satu-persatu dengan kapaknya, dan mengalungkan kapak tersebut di berhala yang paling besar.
Setelah mereka kembali, ramailah mereka dan mulai mencari siapa pelakunya. Ayat 59 mengisahkan “Siapa yang telah melakukan (perusakan) ini terhadap para sesembahan kami?” kemudian dari mereka ada yang mendengar gumaman Ibrahim waktu itu yang hendak menghancurkan berhala-berhala tersebut, seraya berkata dalam ayat 60 “Kami mendengar ada seorang anak muda yang sempat mencela berhala-berhala itu, namanya adalah Ibrahim,” kemudian mereka membawa Ibrahim di hadapan semua orang untuk diadili, dan justru sebenarnya hal inilah yang diinginkan Ibrahim.
قَالُوا أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآلِهَتِنَا يَاإِبْرَاهِيمُ
“Apakah kamu yang telah melakukan semua ini, wahai Ibrahim?” Tanya mereka.
بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ
“Yang melakukannya ya patung besar ini, coba saja tanya kalau dia bisa jawab?” celetuk Nabi Ibrahim.
Jawaban Nabi Ibrahim tersebut hakikatnya bukanlah sebuah kebohongan, akan tetapi sebuah bahasa sindiran dan teguran karena sebenarnya sudah diketahui jawabannya (Fahruddin al-Razi, 1420: Vol. 22, H. 156) (Fadl Hasan Abbas, 2010: 305). Bahwa berhala tersebut pasti tidak akan bisa berbicara untuk menjawab semua pertanyaan itu, dan juga pelaku pengrusakan tersebut pastilah bukan berhala itu, karena berhala tersebut tidak mampu berbuat apa-apa, lalu untuk apa disembah? Kemudian Ibrahim justru balik bertanya pada mereka pada ayat 66: “lalu mengapa kalian menyembah sesuatu yang tidak bisa memberi manfaat ataupun tidak mampu mendatangkan mudarat bagi kalian?”
Setelah mereka tersinggung karena dipermalukan dan tidak bisa menjawab ucapan Nabi Ibrahim, kemudian mereka marah dan menggunakan kekuatan mereka untuk sepakat membakarnya. Semua orang berbondong untuk mengumpulkan kayu bakar, bahkan jika ada orang yang sakit, dia akan bernazar jika sembuh dia akan ikut mengumpulkan kayu bakar untuk Ibrahim. Api dinyalakan dan kobarannya benar-benar besar yang belum pernah ada sebelumnya, hingga Ibrahim dilemparkan kedalam kobaran api tersebut menggunakan kertapel raksasa.
Setelah dilempar ke dalam api, kemudian Allah berfirman pada api dalam ayat 69: “Wahai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim”. Ketika di dalam api, Ibrahim tidak terbakar sedikitpun kecuali tali ikatannya, dan beliau berdoa ketika dilemparkan kedalam kobaran api dengan membaca: Wahai Tuhanku, engkau adalah satu-satunya Tuhanku di langit, dan aku adalah satu-satunya yang ada di bumi, tidak ada satupun yang menyembahmu selain aku “حَسْبِيَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ” [Cukup bagiku Allah dan sebaik-baiknya pelindung] (Ibnu Kathir, 1999: Vol. 5, H. 351)(Bukhori, nomor 4563)
Terdapat fenomena menarik, ketika semua orang andil dan berusaha ikut membantu mengumpulkan kayu bakar untuk Nabi Ibrahim, di sisi lain diriwayatkan dari para sahabat Nabi, bahwa semua hewan melata ikut membantu memadamkan kobaran api Nabi Ibrahim kecuali cicak, hingga dikisahkan dalam hadis Nabi bahwa kita dianjurkan membunuh cicak (Tabari, 2000: Vol. 18, H. 467).
Semut meskipun kecil, dan meskipun dia tahu bahwa butiran air yang dibawanya tidak akan mampu memadamkan api, akan tetapi semut tetap dengan semangat dan tanpa ragu ikut memadamkan api Nabi Ibrahim. Hal ini juga sama dengan apa yang dilakukan oleh cicak yang tidak ikut memadamkan api, akan tetapi justru ikut meniup api tersebut, meskipun dengan tiupan cicak, api Nabi Ibrahim tidak akan semakin membesar.
Baca Juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 56-60
Keberpihakan Semut
Dari semut dan cicak tersebut, dapat kita ambil cerminan atau ibroh, bahwa keberpihakan itu penting, karena dari situ kita akan dinilai dan diganjar. Bukan masalah apakah keberpihakan kita akan memberikan ekses secara langsung atau tidak, akan tetapi setidaknya kita harus menentukan posisi kita.
Konflik Israel yang menggempur Palestina ini bukan lagi konflik yang bermotif agama, akan tetapi sudah menjadi konflik kepentingan. Krisis yang dialami bukan lagi krisis keamanan ataupun ekonomi lagi, akan tetapi krisis kemanusiaan. Maka demi kemanusiaan, pertumpahan darah harus dihentikan.
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Jika ternyata 190 kepala negara tak mampu menghentikan agresi Israel? Dewan Keamanan PBB tak digubris, undang-undang international dilanggar oleh Israel. Maka boikot menjadi salah satu pilihan untuk menyuarakan, memperlihatkan keberpihakan dan mendukung dihentikannya agresi yang dilakukan oleh Israel.
Boikot bukan berarti hanya anti terhadap produk yang berafiliasi dengan Israel atau yang mendukung agresi Israel, boikot bisa kita lakukan semampunya untuk tidak membeli produk-produk tersebut. Akan tetapi di sisi lain, boikot juga bisa kita lakukan dengan cara memberikan kontra narasi terhadap media mereka.
Media, baik stasiun televisi mainstream dunia, maupun media sosial digital menjadi pengetahuan umum jika mereka dikuasai atau berada pada bayang Israel, akan tetapi boikot media ini bukan berarti dengan cara tidak menggunakan media tersebut, justru dengan menggunakan dan memaksimalkan media tersebut dengan konten serta kontra narasi, sehingga kekuatan citizen journalist itu mampu menjadi penyeimbang atau bahkan mampu mengungkap fakta yang sebenarnya.
Baca Juga: Kisah Nabi Ibrahim as Yang Tak Hangus Dibakar Api
Penutup
Kisah Nabi Ibrahim adalah kisah keteguhan hati dan keberpihakan Nabi Ibrahim terhadap tauhid dan terhadap apa yang diyakini benar oleh beliau. Hal yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim mungkin adalah sesuatu yang besar, karena dia berani melawan kuasa raja dan menentangnya, akan tetapi apa yang dilakukan Nabi Ibrahim adalah sebanding dengan posisi serta anugerah yang diberikan kepadanya.
Hadis riwayat Muslim nomor 78, memaparkan bahwa jika kita punya kekuatan, maka gunakan kekuatan tersebut untuk merubah kemungkaran, jika tak mampu maka dengan lisan dan teguran dan jika masih tidak memungkinkan maka pilihan terakhir adalah dengan ingkar bil qolbi.
Ingkar bisa diapresiasikan dengan menunjukkan keberpihakan kita, dan meskipun merupakan posisi paling lemah, akan tetapi kita tetap dituntut untuk senantiasa menujukkan keberpihakan dan kepedulian terhadap sesama. Pembiaran atau ketidakpedulian terhadap adanya suatu kemungkaran dan ketidakadilan adalah suatu yang dilarang.
Tindakan yang dilakukan oleh semut mungkin terlihat sangat sepele, karena mungkin terlalu remeh menurut kita, akan tetapi apa yang dilakukan semut sejatinya adalah sebuah tindakan besar, yang menunjukkan sikap dan keberpihakan dia, karena keberpihakan dan konsistensi-lah yang kemudian akan menjadikan seseorang itu bernilai mulia.
Mau kalah dari semut?