Pada tulisan sebelumnya, Mengenal Fenomena Tafsir Lisan dalam Kajian Andreas Gorke, penulis telah membahas tentang tafsir lisan secara umum dengan merujuk kepada kajian Andreas Gorke. Di sana, di antaranya, disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW menjadi penafsir pertama dalam bentuk lisan. Kedudukan Nabi sebagai penafsir pertama tersebut dapat dijumpai dalam kitab-kitab studi tafsir lainnya.
Sebenarnya, penafsiran Nabi Muhammad SAW tidak hanya berbentuk lisan, tetapi juga dalam bentuk praktik. Abdullah Saeed dalam bukunya the Qur’an: an Introduction, menyebutkan bahwa ada dua model tafsir yang dilakukan oleh Nabi, yakni lisan dan praktik. Perlu dicatat di sini bahwa Nabi tidak pernah melakukan tafsir tulis.
Terlepas dari Nabi menafsirkan Al-Qur’an berbentuk praktik, penafsiran Nabi Muhammad SAW yang dilakukan secara lisan kemudian direkam dalam kitab-kitab hadis. Dengan tafsir lisan tersebut, Nabi Muhammad SAW berhasil memberikan pemahaman terjangkau kepada Sahabat-sahabatnya terkait ayat-ayat Al-Qur’an yang sulit dipahami.
Penafsiran Nabi Muhammad SAW terdiri dari ragam penafsiran, ada yang disebut Ta’rif, Tafshil, Tathabuq, Talazum, Tadhammun, Takhshis, Tamtsil. Bukan hanya itu, bila diamati dari pendekatan kelisanan, tafsir lisan Nabi Muhammad SAW tersebut mengundang diskusi yang khas, yang akan penulis ulas secara ringkas dalam tulisan ini.
Ragam Tafsir Lisan Nabi Muhammad SAW
Dalam bukunya, Kaidah Tafsir, Muhammad Quraish Shihab mencatat beberapa ragam penafsiran Nabi Muhammad SAW. Ragam tafsir tersebut saya tempatkan sebagai ragam tafsir lisan. Seperti yang dikemukakan terdahulu bahwa adapun ragam tafsir lisan Nabi Muhammad SAW tersebut adalah sebagai berikut:
Mengenai ta’rif, yakni penegasan makna. Misalnya, ketika Nabi menegaskan arti al-Khaith al-Abyadh min al-Khaith al-Aswad, sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah: 187. Nabi menafsirkannya sebagai cahaya siang atau fajar dan kegelapan malam.
Baca Juga: Merawat Nilai-nilai Kebangsaan dalam Tafsir Lisan M. Quraish Shihab
Mengenai Tafshil, yakni rincian. Misalnya, fidyah dalam bentuk puasa, sedekah, dan nusuk dalam QS. Al-Baqarah: 196. Nabi merincinya dengan puasa dilakukan selama tiga hari, memberi makan kepada enam orang miskin, setengah sha’ makanan bagi orang miskin, atau menyembeli seekor kambing.
Mengenai Tathabuq, yakni kesamaan atau kesesuaian. Misalnya, dalam Surah Al-Taubah ayat 36 dikatakan bahwa dalam setahun ada dua belas bulan, empat di antaranya haram, yakni bulan-bulan yang terlarang melaukan peperangan. Nabi menyebut empat bulan tersebut yakni Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram, dan rajab.
Mengenai Talazhum, yakni hubungan keharusan. Misalnya, tentang berdo’a yang dianjurkan atau diperintahkan dalam QS. Ghafir: 60, “Berdo’alah kepada-Ku niscaya Kuperkenankan untuk kamu…”. Nabi mengatakan bahwa “Do’a adalah intisari ibadah”.
Mengenai Tadhammun, yakni cakupan. Misalnya, dalam QS. Ibrahim: 27 dikatakan “Allah SWT meneguhkan orang-orang beriman dengan uccapan yang kukuh dalam kehidupan dunia dan akhirat.” Adapun ungkapan “kehidupan akhirat” oleh Nabi dijelaskan sebagai kehidupan yang terjadi sesaat setelah dikuburkannya seseorang.
Mengenai Takhshish, yakni pengecualian. Misalnya, dalam QS. Al-Baqarah: 173 dan QS. Al-Maidah:3 tentang pengharaman memakan bangkai. Nabi merespons dengan mengecualikan dua bangkai, yakni bangkai ikan dan belalang.
Mengenai Tamtsil, yakni contoh dalam QS. Al-Fatihah: 7 tentang siapa yang termasuk orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang tersesat. Nabi mengatakan bahwa yang termasuk dimurkai adalah orang-orang Yahudi, dan yang termasuk orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nashrani.
Tafsir Nabi dari Kacamata Kelisanan
Tidak banyak yang dapat diuraikan mengenai tafsir lisan Nabi Muhammad SAW di tempat terbatas ini, karena itu saya hanya akan mengungkap hal terpenting, menurut saya, dari tafsir lisan tersebut. Yang saya maksud adalah penafsir, teks tafsir, audiens tafsir, dan konteks tafsir, yang semuanya menjadi bagian tak dapat dipisahkan ketika membahas tafsir lisan.
Hal ini karena ketika proses penafsiran tersebut berlangsung pada dasarnya terjadi komunikasi langsung antara penafsir dengan audiens tafsir, atas teks tafsir serta dengan konteks tafsir tertentu yang mengitarinya. Semua bagian ini menentukan satu makna yang terjadi saat itu juga, yang saya sebut sebagai makna situasional, yakni makna berdasarkan situasi tertentu. Dalam artian makna teks tersebut dipahami oleh Nabi Muhammad SAW dan audiensnya pada situasi tertentu.
Makna situasional yang menjadikan penafsiran saat itu menjadi sebuah kesaksian, yang melibatkan Nabi Muhammad SAW sebagai penafsir dan (misalnya) sahabat sebagai audiens harus berada di situasi yang sama sekaligus sebagai saksi. Sekiranya penafsiran lisan ini berlalu, maka sangat mungkin makna itu pun akan berlalu. Ini karena makna tersebut hanya berlaku saat itu juga.
Dengan kata lain bahwa ketika kita membaca penafsiran Nabi Muhammad SAW terhadap sebuah ayat Al-Qur’an, makna tersebut hanya dapat dipahami (secara tepat) apabila dipahami ‘seputar’ dan ‘sekitar’ penafsir dan audiens tafsir.
Yang dimaksud seputar penafsir misalnya posisi Nabi Muhammad SAW saat menafsirkan ayat Al-Qur’an, apakah sebagai pemimpin Negara, Ayah, Suami, atau lainnya. Demikian halnya dengan seputar audiens tafsir misalnya posisi sahabat tersebut apakah seorang pedagang, telah pandai, masih awam, dan seterusnya.
Dengan demikian, sebenarnya, berbagai ragam tafsir yang dikemukakan di atas (mungkin masih sangat banyak ragam lainnya) merupakan sesuatu yang alamiah terjadi dalam kerangka kelisanan saat itu. Sebagaimana tujuan utama dari tafsir itu sendiri, yakni memberi pemahaman dari yang sulit dipahami, maka Nabi menafsirkan Al-Qur’an sesuai situasi yang berlangsung tersebut. Dan karenanya, makna yang lahir juga bersifat situasional. [] Wallahu A’lam.