BerandaTafsir TematikMembaca QS. Al-Baqarah: 228, Ayat Pembela Kaum Wanita

Membaca QS. Al-Baqarah: 228, Ayat Pembela Kaum Wanita

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘wanita’ berarti 1) perempuan dewasa, 2) kaum putri (dewasa). Secara kodrat, ia tercipta sebagai sosok yang berbeda dengan laki-laki. Secara sosial, ia dikonstruksi supaya memiliki sisi emosional yang lebih kuat daripada akalnya. Imam al-Sya’rāwī dalam al-Mar`ah fī al-Qur`ān-nya (70) menuturkan bahwa kuatnya perasaannya ini kelak akan lebih ia butuhkan untuk menjalankan salah satu tugasnya sebagai seorang ibu, yakni mengandung dan menyusui putra-putrinya.

Ketika sudah berkeluarga, tidak jarang seorang istri mendapatkan perlakuan kurang baik dari suaminya. Komnas Perempuan menuliskan jumlah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami istri pada tahun 2020 sebanyak 3221 kasus. Hal ini dipicu oleh semakin banyaknya waktu berkumpul di rumah yang diperkuat oleh budaya patriarki. Pemahaman yang menempatkan perempuan sebagai penanggungjawab rumah tangga dan pengasuhan anak. Belum lagi ekonomi yang terdampak oleh pandemi. Tidak jarang seorang suami melakukan kekerasan atas nama maskulinitas (kemampuan memenuhi tanggung jawab sebagai suami) yang semakin tidak menentu. (CATAHU 2021: Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020, 12-13).

Baca juga: Respon Al-Qur’an Terhadap Toxic Masculinity dalam Berumah Tangga

Keseimbangan hak dan kewajiban

Mengenai kekerasan ini, ada satu ayat yang layak untuk dijadikan pedoman kaum Adam dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala rumah tangga. Ayat ini dikutip oleh Imam Nawawi saat menjelaskan ‘hak-hak istri atas suami’ dalam Kitab Syarh ‘Uqūḍ al-Lujjain. Allah berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut” (QS. Al-Baqarah: 228).

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an (LPMQ) memahami penggalan QS. Al-Baqarah: 228 di atas sebagai dalil bahwa syarat amal kebajikan mencapai kemajuan, perempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai hak dan kewajiban. Meskipun demikian hak dan kewajiban itu disesuaikan dengan fitrah fisik maupun mentalnya. Dalam rumah tangga, suami dan istri adalah mitra sejajar, saling tolong menolong dan bantu membantu dalam mewujudkan rumah tangga sakinah yang diridai Allah Swt. (al-Qur’an dan Tafsirnya, 1/337).

Dalam salah satu hadisnya yang diriwayatkan oleh Imam Thabrānī dan al-Hākim, Nabi memberitahu hak-hak istri yang harus dipenuhi suami. Dalam hadis tersebut Nabi menyebutkan lima hak istri; mendapatkan makan, memperoleh pakaian yang layak, tidak mendapatkan kekerasan fisik ketika suami marah, jangan sampai mendengar ucapan yang tidak disukainya, dan tidak merasa dikucilkan.

Hak istri yang masih sulit dijumpai hingga saat ini adalah ucapan yang tidak disukainya dari sang suami. Karena memang sedikit sekali manusia yang bisa menjaga lisannya. Terlebih ketika dalam kondisi marah. Bukankah lidah itu tidak bertulang? Adapun mengucilkan istri, Nabi membatasinya hanya di dalam kamar. Yakni ketika pisah tempat tidur karena istri durhaka pada suami. Hal ini tidak lain agar keharmonisan rumah tangga tetap terjaga di mata masyarakat.

Baca juga: Kesalingan dan Kesetaraan Relasi Suami-Istri dalam Maqashid Al-Quran

Teladan dari sahabat Nabi

Berkaitan dengan QS. Al-Baqarah: 228 di atas, sahabat Ibnu Abbas, sepupu Nabi, mengambil sikap yang unik. Jika kebanyakan hanya sampai pada rasa tanggung jawab yang sepenuh hati, sahabat yang dijuluki tarjumān al-qur’ān ini tidak demikian. Tidak hanya berbuat baik kepada sang istri, ia berdandan untuk sang istri. Sebagaimana istrinya berdandan untuknya. Ia memperlakukan istrinya sebagaimana ia diperlakukan olehnya. Hal ini dikutip oleh Imam al-Qurthubī dalam tafsirnya (4/52) dan Imam Nawawi dalam Kitab Syarh ‘Uqūḍ al-Lujjain.

Berbeda dengan sepupu Nabi, sahabat Umar yang menjadi mertua Nabi memahami Al-Baqarah: 228 tersebut dengan memilih diam saat dimarahi istrinya. Ketika itu, ada seorang sahabat yang hendak mengadukan perilaku kasar istrinya kepada sahabat Umar yang kala itu menjabat sebagai khalifah kaum muslimin. Ketika sampai di depan pintu rumahnya, sahabat tadi tercengang karena mendapati sahabat yang terkenal tegas itu diam tanpa sepatah katapun ketika dimarahi istrinya.

Melihat kejadian ini, sahabat tadi memutuskan untuk pulang. Belum jauh dari rumah orang nomor satu kala itu, sahabat tadi dipanggil dan terjadilah percakapan. Setelah mendengar keluh kesah sahabat tadi, Sahabat Umar berkata “Saudaraku, aku diam karena ia memiliki hak atas diriku. Ia memasak dan membuat roti untukku, mencuci bajuku, menyusui anak-anakku. Padahal semua itu bukanlah kewajibannya. Darinya aku mendapatkan ketenangan tidak melakukan perbuatan yang dilarang”. Kurang lebih demikianlah gambaran siakp dua sahabat besar terhadap pasangan mereka.

Betapapun kuatnya wibawa dua sahabat agung ini di hadapan sahabat yang lain, mereka adalah seorang suami yang tidak bisa lepas dari peran istri dalam rumah tangganya. Memang, pasangan suami istri memiliki posisi dan tugas yang berbeda. Namun demikian, perbedaan ini bukan untuk diunggulkan salah satunya atau malah dipertentangkan. Perbedaan ini harus dikelola sebagai dua hal yang saling melengkapi. Ibarat sepasang sandal atau sepatu. Kendati memiliki bentuk dan tempat yang berbeda, sepasang dari keduanya bisa bersinergi berjalan bersama memberikan manfaat kepada pemakainya.

Penutup

Orang bijak berpesan kepada seorang lelaki di hari pernikahannya. “Ketika engkau menikahi seorang wanita, jadikanlah juga dirimu sebagai ayah, saudara, dan teman baginya. Karena dia meninggalkan mereka semua demi mengikutimu”. Seorang suami harus bisa dan pandai memposisikan diri saat bersama istri. Dia harus siap menjelma sebagai sosok ayah yang menjadi tempat berkeluh kesah istri sebelum menikah. Siap menjadi saudaranya yang mengisi hari-harinya penuh kebahagiaan dan canda tawa. Dan sebagai kawan yang menjadi partner ngobrolnya. Begitu pula sebaliknya, istri terhadap suami.

Jika seseorang sudah berhasil menguasai tiga aktor tersebut dan memerankan dengan baik, maka kebahagiaanlah yang akan dirasakan oleh pasangan dan tentunya kebahagiaan itu juga akan dirasakan oleh putra-putri mereka. Wallaahu a’lam.

Baca juga: Lima Pilar Kehidupan Rumah Tangga dalam Al-Quran Menurut Faqihuddin Abdul Kodir

Syafiul Huda
Syafiul Huda
Musyrif dan mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU