BerandaTafsir TematikMembingkai Kembali Nafs al-Muthma'innah di Era Distraksi Digital

Membingkai Kembali Nafs al-Muthma’innah di Era Distraksi Digital

Dunia digital menghadapkan setiap individu pada sebuah kenyataan pahit. Sebuah studi yang dipaparkan oleh Dr. Gloria Mark, seorang pakar rentang perhatian, mengungkap bahwa alih-alih membantu, perangkat digital justru sering dikaitkan dengan tingkat stres yang lebih tinggi dan produktivitas yang menurun (Mark, 2025, hlm. 190). Dalam kacamata Islam, fenomena ini bukanlah hal baru. Ia adalah cerminan modern dari tabiat asli hati manusia yang oleh Imam al-Ghazali (3/36) gambarkan memang mudah bergejolak (taqallub), laksana sehelai bulu di tengah gurun yang diombang-ambingkan angin.

Kondisi ini bahkan terbukti berdampak pada kesehatan fisik. Studi Dr. Mark menemukan adanya korelasi antara aktivitas digital yang sarat interupsi dengan tingginya tekanan darah. Partisipan studi yang pekerjaannya sering diganggu juga menunjukkan ekspresi wajah marah yang terdeteksi oleh perangkat lunak, berbeda dengan kelompok yang bekerja tanpa gangguan (Mark, 2025, hlm. 191). Jika hati secara alami sudah mudah goyah, lantas bagaimana ajaran Islam membingkai ulang konsep ketenangan jiwa agar tetap relevan di tengah badai distraksi ini?

Solusi Al-Qur’an untuk Jiwa yang Gundah

Al-Qur’an menawarkan satu solusi inti yang tak lekang oleh waktu dalam surah Ar-Ra’d ayat 28: “…Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.”

Ayat ini bukan sekadar kalimat motivasi, melainkan sebuah kaidah psikologis-spiritual yang fundamental.

Menurut Imam Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya (13/137), kata “tenteram” atau thuma’ninah di sini adalah kondisi tenang yang lahir dari keyakinan, menjadi lawan dari idhthirab atau kegoncangan batin akibat keraguan. Kata kerja bentuk sekarang (fi’il mudhari’) pada frasa tathma’innu menandakan sebuah ketenteraman yang bersifat terus-menerus dan berkelanjutan.

Baca juga: Tiga Fase Kehidupan Jiwa dalam Perspektif Tafsir al-Razi

Makna dzikrullah (mengingat Allah) pun sangatlah dalam. Bagi Syekh Abdurrahman as-Sa’di, saat jiwa memahami kebenaran-kebenaran dalam Al-Qur’an, yakni sebagai bentuk dzikrullah, ia akan menemukan kepastian yang menyingkirkan segala cemas dan ragu (As-Sa‘dī, 2000, hlm. 418). Dalam pandangan Ibnu ‘Asyur (13/138), dzikrullah juga mencakup kesadaran akan pengawasan-Nya serta zikir lisan yang berfungsi mengingatkan hati.

Dari sini, dapat ditarik sebuah benang merah. Dzikrullah bukan sekadar aktivitas, melainkan sebuah proses sadar untuk mengalihkan fokus hati dari kebisingan dunia menuju satu-satunya sumber kepastian. Proses inilah yang menjadi fondasi untuk meraih kondisi jiwa yang lebih tinggi.

Puncak Ketenangan: An-Nafs al-Muthma’innah

Kondisi puncak inilah yang disebut sebagai an-nafs al-muthma’innah. Ia adalah sebuah tingkatan mulia yang diganjar dengan panggilan langsung dari Sang Pencipta dalam surah Al-Fajr ayat 27-30: “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya…”

Jiwa yang mencapai derajat ini adalah jiwa yang oleh Ibnu ‘Asyur sebut keyakinan seseorang pada Al-Qur’an sudah kokoh dan hatinya merasa aman dari segala bentuk ketakutan di masa depan. Frasa “rida dan diridai-Nya” menunjukkan sebuah hubungan timbal balik yang indah. Jiwa tersebut rida dan lapang dada menerima segala ketetapan takdir dari Allah, dan sebagai balasannya, Allah pun rida atas segala amal dan pengabdiannya (30/341).

Baca juga: Tafsir Surah Ar-Ra’d Ayat 28: Zikir dalam Perpsektif Buya Hamka

Inilah kondisi jiwa yang, dalam bahasa Imam al-Ghazali (3/37), telah bersih dan dimakmurkan oleh takwa, sehingga menjadi singgasana bagi ilham kebaikan, bukan lagi sarang bagi bisikan keburukan.

Analisis atas konsep ini menunjukkan sebuah relevansi yang luar biasa. Nafs al-Muthma’innah bukan lagi sekadar tujuan ukhrawi yang abstrak, tetapi menjadi sebuah kebutuhan mendesak di dunia yang secara aktif memerangi ketidaktenangan batin setiap insan.

Kearifan Klasik di Tengah Arus Digital

Di sinilah letak inti dari “pembingkaian kembali” itu. Apa yang digambarkan dalam studi Dr. Mark sebagai “perang atensi” di era digital, sesungguhnya adalah arena modern dari pertarungan abadi dalam hati yang digambarkan Imam al-Ghazali berabad-abad lalu.

Maka, ajakan Dr. Mark untuk beralih dari “tindakan otomatis” (seperti refleks membuka gawai) menuju “tindakan terkontrol” yang penuh kesadaran atau meta-awareness (Mark, 2025, hlm. 192), adalah gema modern dari seruan Al-Qur’an untuk memilih dzikrullah secara sadar. Memilih untuk merenungi satu ayat Al-Qur’an adalah sebuah “tindakan terkontrol” paling ampuh untuk melawan arus distraksi otomatis yang dirancang untuk membuat manusia lupa.

Beberapa Pelajaran untuk Diamalkan

  • Pelajaran pertama adalah pentingnya intervensi yang sadar. Alih-alih merespons dorongan gelisah secara otomatis dengan distraksi, seseorang bisa belajar untuk menjeda dan menyadari dorongan tersebut. Momen jeda inilah yang menjadi kesempatan untuk secara sadar memilih zikir sebagai penenang, sebuah latihan praktis untuk mengendalikan gejolak hati.
  • Pelajaran kedua adalah menjadikan Al-Qur’an sebagai jangkar keyakinan. Di tengah lautan informasi yang seringkali nisbi dan membingungkan, kembali kepada satu ayat Al-Qur’an setiap hari dapat menjadi sumber kepastian. Ketenangan sejati, sebagaimana diisyaratkan dalam oleh Syekh as-Sa’di, lahir dari sebuah kebenaran yang pasti, bukan dari opini yang terus berubah (As-Sa‘dī, 2000, hlm. 418).
  • Pelajaran ketiga adalah menginternalisasi hakikat kekayaan jiwa. Budaya membandingkan diri yang marak di era modern dapat dilawan dengan pemahaman mendalam atas sabda Rasulullah saw: “Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan jiwa” (H.R. Tirmidzi, no. 2373). Rasa syukur yang aktif menjadi cara praktis untuk menumbuhkan kekayaan jiwa tersebut dan membangun sifat ridha.

Penutup

Perjalanan dari cemas digital menuju jiwa yang tenang adalah sebuah hijrah batin yang memerlukan kesadaran dan usaha. Ia bukanlah tentang meninggalkan dunia modern, melainkan tentang menaklukkan gejolak hati dengan senjata yang telah Allah sediakan. Dengan menjadikan zikir sebagai napas, Al-Qur’an sebagai kompas, dan rasa syukur sebagai perisai, seorang hamba dapat meraih ketenangan sejati di tengah zaman yang penuh tantangan ini. Wallahu a’lam.

Muhammad Arsyad
Muhammad Arsyad
Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Antasari Banjarmasin. Akun Ig: @arsyadmodh.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

ayat-ayat Alquran di balik hijrah nabi Muhammad

Ayat-Ayat Alquran di Balik Hijrah Nabi Muhammad saw.

0
Hijrah Nabi Muhammad saw. dan umat Islam dari Makkah ke Madinah menandai mulainya era baru dakwah Islam. Di Madinah, umat Islam seakan menemukan ‘rumah’,...