Memposisikan Kajian Living Qur’an: Sebuah Refleksi Akademik

Memposisikan Kajian Living Qur’an: Sebuah Refleksi Akademik
Ilustrasi praktik Living Qur’an.

Living Qur’an menjadi mata kuliah yang wajib dipelajari bagi setiap mahasiswa tafsir dan hadis. Eksisnya kajian ini terus dikembangkan dari jenjang strata 1 hingga scope keilmuan guru besar (profesor). Tema-tema dalam Alquran tidak hanya bicara tentang ibadah, tetapi juga berbicara tentang keadilan, musyawarah, hubungan sosial dan tema sosial lainnya serta sejauh mana tema-tema tersebut dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat (Adibah, 2017: 15).

Kajian living Qur’an pada dasarnya merupakan upaya pengkajian tentang masyarakat muslim modern dalam menerima, merespons, dan menghidupkan Alquran yang berbahasa Arab di tengah komunitas berbahasa non-Arab, baik yang tersurat maupun yang tersirat, bahkan sampai kesan yang timbul dari pembacaan teks (Fidiana, 2017: 4).

Jika sejak dahulu kalangan sahabat menerima dan memahami ayat Alquran secara keseluruhan, masyarakat modern saat ini ada sebagian yang hanya meresepsi satu ayat atau bahkan memenggal kata dalam ayat untuk memperoleh sebuah pemahaman. Hal ini dalam kacamata penulis agaknya dapat menimbulkan kekhawatiran dan sedikit miskonsepsi.

Baca juga: Living Qur’an; Melihat Kembali Relasi Alquran dengan Pembacanya

Alquran sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk tentunya memberikan dampak pemahaman yang berbeda bagi pembacanya. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan latar belakang yang dimiliki pembaca. Urgensi penelitian living Qur’an yang ada selama ini merupakan kajian sosiologis yang melihat agama bukan sebagai doktrin spiritual melainkan sebagai fenomena sosial (Farhan, 2017: 92).

Tulisan ini merupakan refleksi dari pengalaman penulis dalam mempelajari perkembangan living Qur’an sebagai penelitian ilmiah yang bersifat keagamaan (religious researech). Peneliti living Qur’an umumnya tidak meletakan posisi dirinya dalam mengkaji masyarakat dan resepsi Alquran.

Dengan konsep living Qur’an yang dikatakan Ahmad Rafiq (2021: 471)-masih dialogis-maka penulis menawarkan pemetaan dua posisi yang ada dalam penelitian living Qur’an, yakni posisi netral dan posisi kritis yang akan dibahas sebagai berikut.

Posisi Netral Living Qur’an

Kajian living Qur’an semakin dikembangkan dalam penelitian sosio-kultural PTKI seluruh Indonesia. Para akademisi mengkaji respons masyarakat terhadap ajaran-ajaran serta nilai-nilai Alquran yang kemudian mereka aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Proses “living Qur’an” atau juga disebut quranisasi adalah praktik yang memasukan Alquran dalam segala aspek kehidupan. Manusia sebagai animal symbolicium yang memahami simbol-simbol untuk menyatakan ide-ide, pernyataan, dan gagasan sebagai fungsi produktif atau fungsi reseptif (Lubis, 2015: 63).

Baca juga: Mengenal Kajian Resepsi-Living Qur’an Ahmad Rafiq

Living Qur’an dalam posisi analisis-netral menempatkan manusia sebagai objek yang memaknai simbol (teks Alquran) sebagai simbol keyakinan (symbolic faith) yang hanya sebatas pada resepsi simbolik. Posisi analisis-netral tidak mencari kebenaran agama lewat pemahaman Alquran atau bersifat menghakimi, tetapi lebih mengedepankan tradisi di masyarakat dari perspektif kualitatif.

Beberapa contoh kajian yang menempati posisi netral living Qur’an adalah karya Ziauddin Sardar (2011) yang menceritakan bagaimana Alquran ia pelajari dan mempengaruhi hidupnya hingga dewasa. Selain itu, Neal Robinson (2003) yang menjelaskan beberapa term dalam Alquran yang sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari seperti basmalah, salam, dan lainnya. Kemudian beberapa kajian lokal (jurnal dan skripsi) yang mengkaji praktik ibadah, wirid, dan Alquran sebagai media pengobatan.

Posisi Kritis Living Qur’an

Peneltian living Qur’an yang ada pada umunya tidak berbicara tentang benar dan salahnya resepsi (penerimaan/pemaknaan), melainkan hanya membahas respons masyarakat dalam berinteraksi dengan Alquran sesuai dengan pemahaman mereka. Yang menjadi problem akademik adalah bahwa peneliti sepatutnya memberikan analisis-kritis dan menegaskan keberpihakan argumentasi untuk memastikan penafsiran yang mendekati kebenaran atau resepsi estetik, hermeneutik, atau fungsional.

Alquran secara linguistik berada dalam posisi yang sinkronik (luas dan tidak terbatas waktu), sementara tafsir sendiri bersifat diakronik (terbatas). Artinya pengkajian living Qur’an dalam analisis-kritis tidak sebatas melihat resepsi yang ada pada konteks budaya dan pergaulan sosial sebagai resepsi simbolik semata melainkan membumikan Alquran sebagai hudan (petunjuk).

Baca juga: Mengenal Rasm Alquran sebagai Bentuk Resepsi Alquran dan Hadis

Dengan kata lain, kajian living Alquran sangat penting untuk kepentingan dakwah sehingga tidak hanya berorientasi pada kajian ilmiah. Kajian ini juga hendaknya bertujuan memberikan pemahaman terhadap masyarakat tentang pesan kebenaran dari Alquran untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Analisis-kritis bermaksud mengintervensi pemahaman masyarakat terhadap Alquran yang sudah tepat atau tidak. Sehingga kajian living Alquran mengandung unsur dakwah amar ma’ruf nahi munkar.

Beberapa contoh kajian yang menempati posisi kritis adalah kajian Amin, dkk. (2020) yang menggambarkan betapa surah Al-Kafirun dimaknai dengan baik oleh kelompok kejawen yang menjaga toleransi, tetapi terkadang mendapat gangguan dari kelompok muslim mayoritas. Kemudian, skripsi Uswatun Hasanah (2008) yang menjelaskan beberapa praktik living Qur’an berupa peribadatan, media penyembuhan, pemikat/mahabbah, dan sebagai jimat.

Baca juga: Bentuk-Bentuk Resepsi Masyarakat Terhadap Fungsi Penyembuhan Alquran

Pemaknaan atau respsi yang berorientasi dalam penggunan ayat sebagai jimat atau praktik ibadah yang menyimpang (bid’ah) merupakan aspek yang dapat diperhatikan dalam posisi kritis living Qur’an. Apakah pemaknaan tersebut memiliki kesesuaian dalam penafsiran Alquran, hadis dan sunah Nabi atau bahkan dalam kaidah fikih.

Kesimpulan

Pengembangan metode dan kajian living Qur’an yang masih berlangsung menuntut adanya pembenahan dan kajian mendalam. Semangat untuk membumikan Alquran dalam kajian ilmiah living Qur’an memberikan akomodasi pada nilai suci agama dan nilai luhur budaya.

Penempatan posisi pengkaji living Qur’an setidaknya dapat memberikan analisis dan argumentasi yang jelas terkait tujuan dan ranah kajian living yang dilakukan, baik yang mengkaji resepsi secara sosiologis atau kritis-diakronis yang mengandung klaim atau klarifikasi. Keduanya merupakan ranah kajian yang dapat ditempuh pada kajian living Qur’an. Wallahu a’lam bisshawab.