Mendengar istilah bersedekah, tentunya tak asing lagi di dengar. Secara bahasa, sedekah berasal dari kata ash-Shadaqah, yang diambil dari asal kata al-Shidq yang berarti “benar” (Candra Hirmawan, dkk, Sedekah: Hidup Berkah Rezeki Melimpah, 17). Maka pada umumnya, sedekah adalah perilaku manusia dalam rangka membantu orang lain, tatkala bertujuan mencari ridho Allah Swt.
Secara implisit, sedekah tidak hanya diartikan sebagai pemberian harta kepada seseorang, tetapi lebih dari itu, sedekah mencakup juga dengan semua perbuatan baik, bisa bersifat fisik, maupun nonfisik. Sehingga bersedekah bisa dilakukan siapa saja, kapan pun, dan dimana pun (Ahmad Rajafi, dkk, Khazanah Islam, Perjumpaan Kajian dengan Ilmu Sosial, 158).
Baca juga: Tafsir Kontekstual Gus Dur Seputar Moderasi Islam
Dalam bersedekah tentu yang diinginkan adalah memberikan yang terbaik. Tidak ingin amalnya mendadak berkurang pahalanya karena diketahui oleh orang lain (Taufiq FR, Tak Henti Engkau Berlari Dikejar Rezeki, 107). Hal ini, termaktub dalam firman Allah yang berbunyi:
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya: Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Baqarah [2]: 271).
Antara Sedekah Tersembunyi dan Terang-terangan, Manakah yang Lebih Utama?
Ayat di atas, menjelaskan bahwa menyembunyikan sedekah sunah lebih utama daripada menampakkannya. Begitu juga dengan ibadah lainnya, melakukannya dengan sembunyi-sembunyi lebih baik jika memang ibadah tersebut adalah ibadah sunnah. Karena melakukannya secara sembunyi-sembunyi lebih bisa menjamin kemurniannya. Kecuali jika melakukannya secara terang-terangan diyakini bisa mendatangkan maslahat, seperti bisa menarik orang lain untuk menirunya (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, 02/97).
Ibnu Katsir juga menjelaskan bahwa sedekah secara sembunyi-sembunyi itu lebih baik daripada secara terang-terangan. Alasannya, sedekah secara tersembunyi cenderung lebih bisa menghindari riya’ atau pamrih. Namun ini akan berbeda jika sedekah secara terang-terangan dapat menarik banyak orang untuk ikut berbondong-bondong meniru bersedekah (Hasan Muhammad A, Panduan Beribadah Khusus Pria: Menjalankan Ibadah sesuai Tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, 536).
Baca juga: Keutamaan Ilmu dalam al-Quran dan Kiat Memiliki Seorang Anak yang Alim
Sejalan dengan itu, entah sedekah sunah ataupun wajib, tentu belum bisa dipungkiri dengan jelas tentang keterkaitannya dalam meraih kebaikan yang hakiki, hal ini dijelaskan dalam firman Allah yang berbunyi:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (QS. Ali Imran [3]: 92).
Syarat Meraih Hidup yang Baik
Dalam Tafsir Al-Azhar, menjelaskan tentang ayat di atas bahwa menyebut iman adalah perkara yang mudah, tetapi mencapai hasil iman yang mulia adalah ujian hati yang berat. Orang belum akan mencapai kebaikan (birr) atau hidup yang baik bahkan jiwa yang baik, jika belum sanggup mendermawankan barang yang paling dicintainya (Hamka, Tafsir Al-Azhar, 02/06).
Bukan hanya itu, simbol kebaikan ini tentunya memilki prinsip yang harus dipenuhi. Tentang hal ini, secara lahiriyah termaktub dalam firman Allah yang berbunyi:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Artinya: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Baqarah [2]: 177).
Dalam ayat di atas, kebajikan mampu terpenuhi manakala mempunyai lima prinsip (Ahmad Nur Alam B, Manusia dalam Perspektif Pendidikan Al-Qur’an, 246), yaitu:
- Prinsip aqidah (al-Iman), meliputi iman kepada Allah, hari akhir, kemudian para malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi.
- Prinsip sosial atau kemanusiaan (al-Mu’amalah), yaitu memberikan harta yang dicintainya kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, orang-orang yang meminta-minta, dan hamba sahaya.
- Prinsip ubudiyah (‘ibadah), seperti mendirikan shalat, dan menunaikan zakat.
- Prinsip berkomitmen (mu’ahadah), yaitu menempati janji bilamana ia berjanji.
- Prinsip integritas, yaitu sabar di dalam kesempitan dan penderitaan.
Maka dari itu, dari pemaparan yang di atas dapat disimpulkan bahwasannya bersedekah dengan cara tersembunyi adalah cara yang terbaik bilamana melaksanakan sedekah sunah. Namun, kebaikan yang diliputi daripada sedekah tersebut tentunya harus memegang prinsip aqidah, sosial, ubudiyah, berkomitmen, dan untegritas. Akhir kata, wallahu a’lamu bishowab[].
Baca juga: Bebas Bukan Berarti Tanpa Etika, Berikut Etika Jurnalistik dalam Al-Quran