Dalam kajian ulumul Qur’an, ada salah satu konsep dan cabang ilmu yang perlu dibahas agar makna al-Quran bisa dipahami dengan tepat dan benar adalah ilmu Qira’at. Oleh karena itu dengan artikel sederhana ini penulis mencoba membahas mengenai pengertian, sejarah Qira’at, kualifikasi standar Qira’at dan macam-macam qira’at.
Pengertian Qira’at
Secara etimologis qira’at merupakan bentuk jama’ dari qiraah dan juga merupakan masdar dari qara-a yaqra-u qiraatan, menurut ar-Raghib dalam kitabnya Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an yang berarti dham al-huruf wa al-kalimat ba’dhihaa ila ba’dhin fi at-tartil (mengabungkan antara huruf dan kalimat satu sama lain dalam bacaan).
Dalam KBBI qiraah berarti bacaan atau membaca. Sedangkan secara terminologis yang dimaksud qiraah adalah cara membaca al-Qur’an oleh seoranng imam ahli qiraah berbeda dengan cara baca imam yang lain. az-Zarqani dalam kitabnya Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an mendefinisikan qiraah sebagai berikut :
مذهب يدهب إليه إمام من أئمة القراء مخالفا به غيره في النطق بالقرالكريم مع اتفاق الروايات والطرق عنه سواء أكنت هذه المخالفة في النطق الحروف أم في نطق هيئاتها
“suatu cara membaca al-Qur’an al-Karim dari seoramg Imam ahli qiraah yang berbeda dalam cara membaca dengan cara membaca imam yang lainnya, sekalipun riwayat dan jalur periwatannya sama, baik perbedaan itu dalam pengucapan hurf ataupun bentuknya.”
Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 60-61: Perintah Menaati Allah dan Mendurhakai Setan
Ash-Shabuni menambahkan dalam definisinya tentang qiraah dengan menyebutkan bahwa cara baca al-Qur’an itu harus mempunyai sanad yang sampai Rasulullah SAW.
مذهب من مذاهب النطق في القران يذهب به إمام من الأئمة القراء مذهبا يخالف غيره في النطق بالقرأن الكريم وهي ثابتة بأسانيد إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Cara membaca al-Qur’an dari seorang Imam ahli qiraah yang berbeda dengan cara membaca Imam yang lainnya berdasarkan sanad yang menyambung sampai kepada Rasulullah Saw.”
Dilihat dari kedua definisi di atas bahwa pengertian qiraah disini tidak sama seperti pengertian qiraah dalam percakapan sehari-hari yang sepadam dengan tilawah yaitu hanya sekedar dalam pengertian membaca atau bacaan. Atau dalam artian membaca al-Qur’an dengan irama atau lagu tertentu. Tapi yang dimaksud qiraah dalam kajian ulumul Qur’an adalah satu cara membaca al-Qur’an dengan madzhab yang dipilih oleh ahli qira’at dengan sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.
Baca juga: Apakah Sebenarnya Makna Jihad Menurut al-Quran? Begini Penjelasannya.
Sejarah singkat Qira’at
Meluasnya wilayah Islam dan menyebarnya para sahabat dan tabi’in mengajarkan al-Qur’an di berbagai kota menyebabkan timbulnya berbagai qira’at. Perbedaan pembacaan antara satu qira’at dengan lainnya bertambah besar pula sehingga sebagian riwayatnya tidak bisa lagi dipertanggungjawabkan.
Sehingga para ulama menulis qiraah-qiraah ini dan sebagaiannya menjadi masyhur, sehingga lahirlah istillah qiraah tujuh, qiraah sepuluh, dan qiraah empat belas. Adapun imam dan ahli qiraah yang di percaya dan diikuti kebanyakan orang.
As-Suyuthi dalam kitaabnya al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an, menjelaskan bahwa imam dan ahli qiraah itu tersebar kesemua penjuru pusat Islam, Mereka antara lain adalah
- Di madinah : Abu ja’far yazid ibn al-Qa’qa’, Syaibah ibn Nafshah, dan Nafi’ ibn adirrahman.
- Di makkah : Abdulllah ibn Katsir dan Humaid ibn Qais al-A;raj
- Di kuffah : Yahya ibn watsab, ‘Ashim ibn abi an-Nujud
- Di bashrah : Abdullah ibn abi Ishaq, ‘Isa ibn ‘aru
- Di syam : Abdullah ibn ‘Amir, Athiyyah ibn qais al-Kilabi
Dan jibril membaca al-Qur’an kepada Nabi tidak hanya dalam satu logat atau lahjah saja yaitu logat Quraisy, akan tetapi juga dalam beberapa lahjah. Sebagaimana yang terlihat dalam kisah perbedaan bacaan antara Umar ibn Khathab dan Hisyam ibn Hakim.
Baca juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28: Manfaat Ibadah Haji dalam Segi Sosial dan Ekonomi
Diriwayatkan bahwa ‘Umar ibn Khathâb berkata: Aku mendengar Hisyâm ibn Hâkim membaca Surat Al-Furqân di masa hidup Rasulullah SAW. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku berusaha sabar menunggunya sampai salam.
Begitu salam aku tarik sorbannya dan bertanya: “Siapakah yang membacakan (mengajarkan bacaan) surat itu kepadamu?” Ia menjawab: “Rasulullah yang membacakannya kepadaku”. Lalu aku katakan kepadanya: “Dusta kau. Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surat yang aku dengar tadi engkau membacanya (tapi tidak seperti bacaanmu).”
Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah dan aku ceritakan kepadanya bahwa aku telah mendengar orang ini membaca Surat Al-Furqân dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan Surat Al-Furqân kepadaku. Maka Rasulullah berkata: “Lepaskanlah dia wahai ‘Umar. Bacalah Surat tadi, wahai Hisyâm.” Hisyâm pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. Maka kata Rasulullah: “Begitulah surat itu diturunkan.” Ia berkata lagi: “Bacalah wahai ‘Umar.” Lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. Maka kata Rasulullah SAW: “Begitulah surat itu diturunkan.” Dan katanya lagi: “Sesungguhnya Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu di antaranya” (H.R. Bukhâri dan Muslim teksnya dari Bukhâri
Kualifikasi Standar Qira’at.
Dengan adanya penyelewengan dalam qiraah. Maka para ulama membuat sejumlah syarat qiraat yang baku dan dapat diterima. Untuk membedakan antara qiraah yang benar dan yang salah, apara ulama telah menetapkan tiga syarat bagi qiraah yang benar.
Pertama, sesuai dengan bahasa Arab meskipun melalui salah satu cara atau segi (Nahwu). Kedua, sesuai dengan salah satu msuhaf-mushaf ‘Utsmani sekalipun secara potensial. Ketiga, keshahihan sanadnya dari periwayatan imam tujuh dan sepuluh, maupun dari imam-imam qiraah lainnya.
Setiap qira’at yang tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat diatas di anggap qiraah yang tidak benar dan ditolak dan biasanya disebut dengan qiraah yang lemah sekalipun qiraah itu diriwayatkan oleh Imam tujuh. Ketika suatu qira’at yang sesuai dengan syarat diatas maka dianggap benar dan tidak tertolak, meskipun bukan dari golongan Imam tujuh.
Baca juga: Kajian Semantik Kata Membaca dan Konteksnya dalam Al-Quran
Macam-Macam Qira’at
Menurut Manna al-Qaththan dalam kitabnya Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, qiraah dilihat segi kualitas sanadnya, qirâât dapat dibagi menjadi qiraat mutawatirah, masyhurah, ahad, syadzah, maudhu’ah dan mudrajah. Sedangkan dari segi kuantias qiraat nya dapat dibagi menjadi qiraat sab’ah, ‘asyarah dan arba’ata ‘asyarah. Di bawah ini akan diuraikan secara ringkas macam-macam qiraat tersebut.
Qira’at mutawatirah adalah qiraat yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi pada setiao tingkata sanad yang mustahil untuk berdusta. Qira’at Masyhurah adalah sanadnya shahih tetapi tidak sampai derajat mutawatir. Qira’at Ahad adalah qiraat yang menyalahi msuhaf Ustmani dan kaidah bahasa arab. Qira’at Syadzah adalah yang sanadnya tidak shahih. Qira’at Maudhu’ah adalah yang riwayatnya palsu. Sedangkan Qira’at Mudrajah adalah qiraah yang di tambahkan kedalam qiraah sebagai bentuk penafsiran. Wallahu a’lam []