Istilah tafsir ahkam dari pesantren yang dimaksudkan dalam artikel ini adalah tafsir ahkam yang ditulis oleh kiai pesantren, yang dijadikan sebagai bahan pembelajaran bagi santri pada khususnya dan komunitas lain pada umumnya. Sepanjang penelusuran saya menemukan bahwa terdapat dua karya tafsir ahkam yang lahir dari ruang pesantren. Dua karya tafsir ahkam yang dimaksud adalah Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān al-Karīm karya Abil Fadhal, dan al-Tibyān fī Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān karya Ahmad Nasrullah Abdurrahim.
- Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān al-Karīm karya Abil Fadhal, Senori Tuban
Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān al-Karīm tidak diketahui secara pasti kapan mulai ditulis oleh Abil Fadhal. Namun, di beberapa bagian naskah ditemukan catatan bahwa tafsir ini mulai didiktekan pada 14 Januari 1971 dan terakhir diajarkan pada malam Rabu, 30 Muharram 1394 H/ 13 Februari 1974 M (Tafsir Ayat Aḥkām dari Pesantren, Vol. 10, No. 2, Desember 2017).
Di samping itu, tidak ditemukan pula motivasi dan tujuan penulisan tafsir ini. Hanya saja, Abil Fadhal dalam mukadimahnya, menuturkan bahwa tujuan penulisan tafsir ahkamnya adalah agar Allah Swt senantiasa memberikan manfaat kepada orang-orang yang sedang mencari ilmu agama (Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān al-Karīm, 1). Namun, secara praktis tafsir ini ditujukan sebagai diktat Mata Pelajaran Tafsir yang diajarkan di Madrasah Diniyah dalam naungan Pesantren -sekarang menjadi MA (Madrasah Aliyah) Islamiyyah Sunnatun Nur, Senori, Tuban, Jawa Timur- pada era 1970-an.
Tafsir ini ditulis dalam bahasa Arab. Tafsir ini sekaligus juga memperpanjang deretan dominasi produktivitas karya-karya berbahasa Arab Abil Fadhal lainnya. Sesuai dengan namanya, Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān al-Karīm, topik yang dibahas dalam kitab ini adalah seputar hukum-hukum Islam dalam perspektif Alquran. Berbeda dengan tafsir ahkam pada umumnya, sistematika penulisan tafsir ini mengikuti format bab-bab sebagaimana yang termaktub dalam kitab-kitab fikih, yakni dimulai dengan pembahasan ṭahārah (bersuci), ‘ubūdiyyah (amaliah seorang hamba terhadap Tuhannya), mu’āmalah (transaksi antar sesama manusia), dan permasalahan mengenai warisan. Dengan demikian, hadirnya Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān al-Karīm karya Abil Fadhal ini memberikan tren baru terhadap kajian-kajian fikih dalam perspektif tafsir Alquran.
Baca Juga: Sejarah Kemunculan Tafsir Pesantren
- Al-Tibyān fī Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān karya Ahmad Nasrullah Abdurrahim, Jombang
Sama seperti Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān al-Karīm karya Abil Fadhal, tafsir al-Tibyān fī Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān karya Ahmad Nasrullah Abdurrahim ini juga tidak diketahui kapan mulai ditulis. Namun, menurut Gusmian, tafsir ini dapat diprediksi bahwa penulisannya dilakukan sekitar tahun 1990-an (Islah Gusmian, wawancara via seluler, 8 Juni 2017).
Asumsi Gusmian tersebut kiranya senada dengan apa yang dikatakan cucu Kiai Nasrullah, Ning Nabilah. Nabilah mengatakan bahwa kakeknya, Kiai Nasrullah, di tahun 1990-an memang lagi gemar-gemarnya memperdalam disiplin ilmu tafsir. Tidak hanya Tafsīr Jalālain yang kerap kali ia baca, tetapi tafsir-tafsir ahkam seperti Rawāi’ al-Bayān karya ‘Alī al-Ṣābūnī dan Tafsīr al-Aḥkām karya ‘Alī al-Sāyis juga menjadi bahan bacaannya di sela-sela kesibukannya mengajar di pesantren dan dakwah di masyarakat. Melalui pendalamannya terhadap dua tafsir yang disebutkan terakhir, Kiai Nasrul—sapaan akrab Kiai Nasrullah—lantas mempunyai keinginan kuat untuk menulis tafsir yang secara khusus memuat ayat-ayat hukum Islam.
Dengan didasari komitmen yang kuat dan niat yang ikhlas, keinginannya tersebut segera terealisasi dengan terciptanya karya tafsir tiga jilid tipis yang diberi nama al-Tibyān fī Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān (Kiai Nasrul: antara Bantaran Brantas dengan Tambakberas, dalam buku Tambakberas: Menelisik Sejarah Memetik Uswah, 360).
Informasi berbeda datang dari putri Kiai Nasrul, Umdatul Choirot. Dia mengatakan bahwa al-Tibyān fī Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān ditulis oleh Kiai Nasrul selama kurang lebih dua tahun, yaitu 1985-1987. Penulisan tafsir ini dilatarbelakangi oleh faktor di mana Kiai Nasrul yang semula menggunakan Tafsīr Jalālain dengan model taḥlīlī sebagai bahan ajar tafsir di pesantrennya, ternyata tidak mudah dipahami para santri. Oleh karena itu, Kiai Nasrul berinisiatif membuat tafsir mauḍū’ī (tematik) yang dikhususkan pada domain hukum, agar para santri mampu memahaminya dengan mudah (Metodologi Penafsiran Achmad Nasrullah Abdurrohim, 2019, 50).
Informasi yang disampaikan Umdatul Choirot tersebut kiranya lebih kuat untuk dijadikan dasar, sebab dibeberkan langsung oleh orang terdekat sekaligus putri Kiai Nasrul sendiri. Sebagai tambahan, dalam mukadimah Kiai Nasrul juga secara eksplisit menyampaikan bahwa tafsir yang ditulis dalam bahasa Arab ini difungsikan untuk mempermudah siswa MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Tambakberas di naungan Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Jombang, dalam mengkaji tafsir ayat ahkam yang sejalan dengan ragam persoalan hukum-hukum Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari (al-Tibyān fī Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān, I: 3).
Baca Juga: Menyelisik Awal Kemunculan Tafsir Ahkam di Indonesia
Berdasarkan penelusuran di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir ahkam yang lahir dari rahim pesantren masih terbilang sedikit, di tengah maraknya karya-karya tafsir al-Qur’an yang berkembang di Indonesia. Dari kedua tafsir ahkam di atas, hanya tafsir ahkam karya Abil Fadhal hadir dengan membawa nuansa tren kebaruan yang berbeda dengan model karya-karya tafsir ahkam di dunia Islam pada umumnya. Sebab, sistematika penulisan tafsir yang diterapkan Abil Fadhal mengacu pada sistematika penulisan kitab-kitab fikih. Namun, kedua tafsir ahkam dari pesantren tersebut dari aspek penggunaan bahasa Arab yang diterapkan cenderung “elitis” di tengah tren penulisan tafsir yang umumnya menggunakan bahasa dan aksara lokal di Indonesia.