BerandaTafsir TematikTren Mengemis di Media Sosial, Simak Penjelasan Mufasir Mengenai Fenomena Ini

Tren Mengemis di Media Sosial, Simak Penjelasan Mufasir Mengenai Fenomena Ini

Fenomena mengemis di media sosial belakangan marak di Indonesia. Fenomena tersebut diduga diawali oleh tren ikoy-ikoyan yang dipopulerkan oleh salah seorang selebgram.

Tren ini sendiri mulanya hanya sekedar permainan yang dimainkan youtuber sekaligus influencer bersama para pengikutnya. Tren tersebut kemudian semakin berkembang, dan turut diviralkan beberapa selegram, dengan membagikan uang atau hadiah secara acak kepada para pengikutnya.

Tren ini kemudian disinyalir menimbulkan tren negatif. Kerap kali para selegram berkeluh kesah akibat dari followers mereka yang meminta uang, barang dan kebutuhan lainnya.

Tidak hanya itu, bahkan beberapa akun secara terang-terangan meminta hadiah ulang tahun dengan disertai gambar nomor rekening atau dompet digital mereka. Faktanya, tidak sedikit yang merespon dengan mengirimkan uang kepada akun-akun tersebut.

Fenomena mengemis di media sosial ini tentu merupakan fenomena yang perlu kita kaji secara mendalam. Tentunya sebagai seorang muslim, kita harus melihat fenomena tersebut berdasarkan Alquran, melalui penuturan para ulama ahli Alquran.

Baca Juga: Isyarat Ilmiah dalam Peristiwa Mikraj dalam Pembacaan Bisri Musthofa

Allah Swt sangat menjunjung tinggi derajat orang yang mau memeras keringatnya untuk bekerja, sebagaimana perintah-Nya kepada Nabi Daud yang disebutkan dalam Qs. Saba [34]: 13

اعْمَلُوا آَلَ دَاوُودَ شُكْرًا

“Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur.”

Adapun mengenai orang-orang yang layak untuk mendapat sedekah, Allah Swt menyebutkannya dalam Qs. Al-Baqarah[2]: 273.

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

“(Apa pun yang kamu infakkan) diperuntukkan bagi orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah dan mereka tidak dapat berusaha di bumi. Orang yang tidak mengetahuinya mengira bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka memelihara diri dari mengemis. Engkau (Nabi Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya (karena) mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Kebaikan apa pun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Mahatahu tentang itu.”

Berdasarkan ayat tersebut, Dr. Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menjelaskan karakteristik orang yang paling berhak menerima sedekah, yaitu mereka yang mempunyai lima sifat berikut:

Pertama, terhalang di jalan Allah (al-Ihsar fi sabilillah). Mereka yang tercakup dalam kriteria pertama ini, adalah orang-orang yang terhalang mencari nafkah disebabkan kesibukan berjihad atau berjuang menggapai ridha Allah. Layaknya penuntut ilmu, sekiranya mereka menyibukkan diri bekerja maka akan berpotensi terbengkalainya kemaslahatan umat. Padahal merekalah penebus umat dan pemimpin masa depan, dalam kondisi damai maupun konflik.

Ayat ini turun kepada Ahl as-Suffah, yaitu fakir miskin muhajirin yang tinggal di emperan masjid Nabawi dimana aktifitasnya adalah mengkaji al-Quran di malam hari dan berjihad di siang hari.

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. melihat kondisi kefakiran, kepayahan dan keelokan hati mereka. Rasulullah kemudian bersabda, “Bergembiralah wahai Ashab as-Suffah, Siapapun umatku yang mempunyai karakter sebagaimana kalian, serta ridha terhadapnya maka dia termasuk teman dekatku”.

Kedua, Tidak mampu bekerja (la yastathiun dharba fil ardh). Sifat kedua adalah mereka tidak mampu melakukan perjalanan di muka bumi baik berupa dagang atau bekerja Ketidakmampuan mereka bisa dilatarbelakangi beberapa hal, seperti tua renta, sakit dan juga kekhawatiran terhadap musuh.

Ketiga, Memelihara harga diri (ta’affuf). Karakter selanjutnya adalah bersikap menjaga harga diri dan menghindari sifat tamak terhadap kepunyaan orang lain.

Bahkan terkadang orang dengan kepekaan sosial rendah menduga mereka sebagai orang kaya. Ini disebabkan karena sikap menjaga diri, kesabaran, keqanaahan dan sikap iffah mereka dalam berpenampilan, bertingkahlaku dan bertuturkata.

Keempat, Memiliki tanda pengenal (ta’rifuhum bi simahum). Mengenal mereka membutuhkan firasat seorang mukmin, pengamatan berulang, kepekaan hati dan akal, serta kesediaan bertanya kepada kenalan, tetangga dan kerabat mereka.

Terkadang mereka dapat dikenali melalui penampilan mereka, kelemahan dan juga pakaian mereka. Akan tetapi, terkadang tidak ada indikator pasti, terkadang terlihat dari penampilan, terkadang juga mereka sengaja mengenakan pakaian layak demi menjaga kehormatan mereka.

Kelima, Tidak meminta-minta sama sekali dan tidak ngotot ketika meminta (la yas’aluna an-nas ilhafa). Jumhur mufassir berpendapat bahwa ciri kelima, tidak meminta kepada manusia dengan paksa ditafsirkan sebagai mereka menjaga diri dari meminta secara total. Sehingga sikap menjaga diri telah menjadi kepribadian yang melekat pada diri mereka.

Baca Juga: Tafsir Ayat Relasional yang Kurang Mencerminkan Kesetaraan

Kelima sifat tersebut haruslah dimiliki para pengemis online agar dapat memenuhi klasifikasi orang yang berhak diberi. Jelaslah sangat jarang pengemis online yang sedang menyibukkan diri di jalan Allah,  atau tidak mampu bekerja karena tua renta dan sakit-sakitan.

Mengemis di media sosial dan menjadikannya sebagai profesi jelas tidak memenuhi kualifikasi memelihara diri (ta’affuf) dan tidak meminta-minta (la yas’aluna an-nas ilhafa) karena sikap meminta terang-terangan yang mereka lakukan.

Mereka juga terkadang tidak memenuhi sifat terakhir yaitu dapat dikenali (ta’rifuhum bi simahum) karena sikap menonjolkan kekayaan dalam postingan-postingan dan juga ketersediaan waktu luang mereka bermain media sosial.

Kesimpulan dari penjelasan ini, adalah para pengemis online tidak mencakup keseluruhan karakteristik yang disebutkan Dr Wahbah Zuhaili, sebagai orang yang berhak diberi sedekah. Tidak sepatutnya juga bagi kita merendahkan martabat kita sendiri dengan meminta-minta di media sosial, dimana setiap orang bisa melihatnya. Wallahu A’lam.

Muhtarul Alif
Muhtarul Alif
Mahasiswa magister Institut PTIQ Jakarta program studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir melalui Program Kader Ulama Masjid Istiqlal. Minat kajian seputar ilmu al-Quran, terutama kajian kemukjizatan al-Quran, tafsir tematik dan tafsir ijtimai.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...