Kajian tafsir Al-quran terus mengalami perkembangan sepanjang zaman, mulai dari metode yang digunakan hingga corak penafsiran yang berkembang. Salah satu corak penafsiran yang pertama kali berkembang adalah corak tafsir lughawi atau kebahasaan, salah satu tokohnya adalah Abu Ja’far al-Nahhas.
Dalam kitab Ma’ani al-Qur’an al-Karim (1/10-11) karya al-Nahhas, Syekh al-Shabuni selaku muhaqqiq kitab tersebut menyebutkan nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Isma’il bin Yunus al-Muradi, atau lebih dikenal dengan Abu Ja’far al-Nahhas. Selain itu beliau juga memiliki beberapa julukan lain seperti ibn al-Nahhas dan al-Shaffar, namun gelar al-Nahhas lebih populer dan melekat kepada beliau.
Al-Nahhas lahir di Mesir dan tinggal dalam waktu yang lama di sana, tidak diketahui dengan pasti pada tahun berapa beliau dilahirkan namun menurut al-Shabuni diperkirakan beliau lahir pada tahun 260 H. Beliau tumbuh di Mesir yang ketika itu sedang mengalami kemajuan intelektual dan menjadi kiblat keilmuan bersaing dengan Baghdad yang ketika itu menjadi ibu kota kekhalifahan Islam.
Baca juga: Kontekstualisasi Nas ala Abu Yusuf: Pembebasan Nas dari Budaya Arab
Meskipun keadaannya demikian, beliau tetap melakukan rihlah ilmiah sebagaimanya umumnya kebiasaan para ulama dalam menuntut ilmu ke berbagai daerah. Dalam hal ini al-Nahhas tercatat pernah bepergian ke Baghdad, berdasarkan catatan ‘Adil nuwaihidh dalam Mu’jam al-Mufassirin disana al-Nahhas sempat belajar ilmu bahasa Arab kepada al-Zajjaj dan Nifthawaih. Dari al-Zajjaj inilah beliau mempelajari kitabnya imam Sibawaih.
Beliau terkenal sebagai pakar gramatika bahasa Arab (nahwu), dalam siyar a’lam al-nubala imam al-Dzahabi bahkan menybutkan bahwa beliau ini pada zamannya seringkali disejajarkan dengan Ibn al-Anbari dan Nifthawaih.
Selain belajar bahasa Arab, menurut catatan al-Shabuni (1/12-13) di Baghdad beliau juga belajar ilmu hadis kepada Ahmad bin Muhammad al-Marwazi, Abi Hatim al-Razi, Abu Daud al-Sijistani dan Ibrahim bin Ishaq al-Harbi.
Baca juga: Uraian Singkat Beberapa Mufasir Indonesia Modern dari A. Hassan hingga Quraish Shihab
Lalu belajar tafsir dan ilmu-ilmu Alquran kepada Abu Ja’far Muhammad al-Thabaro dan Baqi bin Makhlad. Sesudah mengambil ilmu dari berbagai bidang di Baghdad, al-Nahhas kembali ke Mesir dan tetap lanjut belajar kepada para ulama hingga ia menjadi tokoh di bidang tafsir, ilmu bahasa Arab dan hadis.
Karya – karya Abu Ja’far al-Nahhas
Beliau memiliki banyak karya di bidang-bidang tafsir Al-Qur’an, beberapa di antaranya sebagaimana disebutkan oleh al-Dzahabi adalah kitab I’rab al-Qur’an dan al-Nasikh wa al-Mansukh, Isytiqaq al-Asma al-Husna, Tafsir Abyat Sibawaih, Kitab al-Ma’ani dan kitab al-Kafi fi al-Nahw.
Ada yang mengatakan bahwa karya-karya al-Nahhas mencapai 50 buah karya, namun tidak semuanya sudah dicetak, rata-rata masih berupa manuskrip. Disebutkan olah al-Shabuni di antara karyanya yang lain ialah, kitab al-Anwar, Kitab Ikhtilaf al-Kufiyyin wa al-Bashriyyin atau disebut juga al-Muqni’, Akhbar al-Syu’ara, Adab al-Kuttab, Shina’ah al-Kuttab, Ma’ani al-Syi’r, al-Tufahah fi al-Nahw, Syarh al-Sab’ al-Thiwal dan kitab Adab al-Muluk.
Banyaknya karya tulis yang beliau telurkan ini merupakan hasil dari perjalanan intelektual yang telah al-Nahhas lalui, ia telah belajar ke berbagai tempat di Mesir dan Baghdad serta mengambil ilmu dan manfaat dari para ulama disana. Sehingga dengan ketekunan dan anugrah dari Allah beliau bisa menjadi pakar dalam bidang-bidang tersebut, khususnya bahasa Arab.
Karena sangat dalamnya kepakaran beliau di bidang ini beberapa pujian dilantunkan para ulama kepada beliau, diantaranya adalah oleh al-Zabidi sebagaimana dinukil dalam kitab Mu’jam al-Mufassirin,
كان واسع العلم, غزير الرواية, ولم يكن له مشاهدة, وإذا خلا بقلمه جود وأحسن…
Artinya, “dia (al-Nahhas) adalah seorang yang luas ilmunya, banyak memiliki riwayat, tiada bandingannya dan jika sudah memegang penanya (menulis) maka ia akan membaguskannya dan membuatnya indah…”
Ada cerita menarik yang dituliskan oleh al-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala terkait akhir hayat al-Nahhas ini, disebutkan dalam suatu riwayat bahwa al-Nahhas meninggal akibat tenggelam di sungai Nil. Beliau wafat pada tahun 338 H.
Baca juga; Media Sosial dan Urgensi Tabayun Menurut Al-Quran dan Hadits
Ceritanya ketika itu beliau sedang duduk santai di tepi sungai Nil sambil melantunkan sebuah sya’ir, kemudian lantunan ini didengar oleh seorang jahil yang tidak kenal dengan al-Nahhas yang mengira beliau sedang ‘merapal’ mantra sihir sehingga air sungai Nil menjadi surut, akhirnya ia mendorong al-Nahhas hingga tenggelam di sungai Nil.
Inilah bukti nyata kejahilan dan tergesa-gesa dalam menghakimi tidak hanya bisa membinasakan diri sendiri, namun juga bisa membahayakan orang lain. Na’udzu billah.