BerandaTafsir Al QuranMengenal Corak Sufistik Tafsir Ruh Al-Ma’ani Karya Al-Alusi

Mengenal Corak Sufistik Tafsir Ruh Al-Ma’ani Karya Al-Alusi

Kita telah mengenal berbagai karya kitab tafsir dari waktu ke waktu baik dari segi ciri khas, metode, sumber hingga coraknya. Demikian pula beragamnya latar belakang historis dan sosio-kultural masing-masing mufasirnya. Di antara karya yang cermerlang adalah kitab tafsir Ruh al-Ma’ani karya Imam al-Alusi dengan corak sufistiknya.

Nama lengkap al-Alūsī adalah Abū Sana’ Syiḥāb al-Dīn al-Sayyid Maḣmūd Afandī al-Alūsī al-Bagdādī. Lahir pada tahun 1217 H / 1802 M Di Kurkh-Baghdad-Irak. Wafat pada hari Jum’at, 25 Dzulqa’dah 1270 H / 1854 M di pemakaman keluarga, Kurkh-Baghdad-Irak. Al-Alusi adalah seorang Mufti Baghdad, pendidik, pemikir, berpengetahuan luas, ulama besar (al-‘Allāmah) baik dalam bidang ilmu naqli maupun ilmu ‘aqli (Al-Alusi, 1983).

Sejak usia 13 tahun, al-Alusi mendalami ilmu dari para ulama yang mumpuni. Ia belajar kepada ayahnya yaitu Syaikh ‘Abdullāh Ṣalih al-Dīn. Ia juga belajar dari Syaikh ‘Alī Suwaidī dan Syaikh Khālid Naqsabandī yang ahli dalam bidang tasawuf (Mahmud, 2003).

Baca Juga: Mengenal Al-Alusi: Sang Arsitek Ruh al-Ma’ani

Al-Alūsī menganut akidah salaf dan bermazhab Syāfi’ī. Sekitar tahun 1248 H al-Alūsī mulai mengikuti fatwa-fatwa kalangan Mazhab Hanafī dan ia memiliki kecenderungan untuk berijtihad (Al-Alusi, 1983). Karena kecenderungan tersebut, al-Alūsī menggunakan rasionalitas (bi al-ra’yi) di samping menjelaskan dalil naql dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an (bi al-ma’ṡūr).

Metode yang digunakan al-Alūsī dalam penafsirannya adalah taḣlīlī. Ia banyak mengedepankan paradigma tafsir bercorak sufi isyari. Corak tafsir sufi lahir sebagai reaksi dari kecenderungan seseorang terhadap kehidupan materi dan duniawi menjadi sebab utama lahirnya tafsir bercorak ini yang membedakan dari corak tafsir lainnya.

Corak sufistik dalam tafsir dapat diklasifikasikan menjadi dua macam: pertama, tasawuf nadzari (teoritis) yaitu corak tafsir yang cenderung menafsirkan al-Qur’an berdasarkan teori atau paham tasawuf yang umumnya bertentangan dengan makna lahir ayat dan menyimpang dari pengertian bahasa. Kedua, Tasawuf ‘Amali (Isyari) yaitu menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh sufi dalam suluknya (Shihab, 2004).

Penafsiran bercorak sufistik menjadikan makna yang tersurat dan tersirat ibarat dua mata koin yang tidak dapat terpisahkan. Al-Alūsī menitikberatkan penafsirannya yang tersurat kemudian menelusuri makna yang tersirat yang samar dan tersembunyi di balik ayat secara kontekstual (Setyaningsih, 2017). Tafsir corak ini menjadi pilihannya karena dalam sufi, untuk mencapai ilmu hakikat, seseorang harus melalui ilmu syariat. Untuk mencapai makna tersirat/batin suatu ayat, harus terlebih dahulu menelusuri dan mengungkapkan makna tersurat/zahir ayat.

Sebagai contoh ringkas tafsir corak sufistik al-Alusi adalah ketika ia menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 50,

. وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَأَنجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ

Ketika menafsirkan وانتم تنظرون, Al-Alusi menafsirkan kata نظر dengan علم . dan menjelaskan makna isyari;

وَالاِشَارَةُ فِى الآيَةِ أَنَّ البَحْرَهُوَ الدُّنْيَا وَمَاءُهُ شَهْوَاتُهَا وَلَذَاتُهَا وَ مُوْسَى هُوالقَلْبُ وَقَوْمُهُ صِفَاتُ الْقَلْبِ وَفِرْعَوْنُ هُوَ النَّفْسُ الاَمَارَةُ

“Ayat ini mengisyaratkan bahwa laut adalah dunia, air adalah syahwat dan kelezatan dunia, Musa adalah hati dan kaumnya adalah sifat hati, Fir’aun adalah nafsu amarah, dan kaumnya adalah sifat nafsu amarah” (al-Alusi, 1983, I: 256).

Baca Juga: Teladan Kisah Nabi Yusuf: Meminta Jabatan Boleh Asal Mampu Mendatangkan Kebaikan

Demikian pula ketika al-Alusi menafsirkan makanan yang halal dan thayyib sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah [2]: 178,

. يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Ia menjelaskan makna isyari ayat tersebut dalam tafsirnya;

وَالقَوْلُ بِاَنَّ فِى الآ يَةِ عَلَى هَذَا التَّفْسِيْرِاِلَى النَّهْيِ عَنِ الاَكْلِ عَلَى امْتِلاَءِ المَعْدَةِ وَالشَّهْوَةِ الكَا ذِ بَةِ لِاَنَّ ذَالِكَ لاَيَسْتَطِيْبُ

“Ayat tersebut dalam tafsir ini mengisyaratkan larangan makan hingga lambung/perut terisi penuh (kekenyangan) karena hal tersebut tidak akan mendatangkan kebaikan” (al-Alusi, 1983, II: 39).

Beberapa contoh di atas adalah penjelasan makna eksoterik/sufistik/bathin yang secara umum ia tampilkan pada bagian akhir penafsirannya. Adapun makna esoterik/zahir ia jelaskan pada bagian awal dengan mencantumkan berbagai pendapat para ulama salaf. Dengan adanya corak sufistik ini, pembaca dapat memahami makna ayat al-Qur’an secara mendalam dan luas. Wallahu a’lam bish-shawwab

Nurun Nisaa Baihaqi
Nurun Nisaa Baihaqi
Penyuluh KUA Kasihan, Bantul dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir FUSPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...