BerandaTokoh TafsirTokoh Tafsir DuniaMengenal Ibnu Ajibah: Waliyullah Penulis Tafsir al-Baḥr al-Madīd

Mengenal Ibnu Ajibah: Waliyullah Penulis Tafsir al-Baḥr al-Madīd

Mufasir bergelar waliyullah yang dimaksudkan dalam tulisan ini nama aslinya adalah Ahmad. Dia keturunan dari Muhammad bin Mahdi bin Husen bin Muhammad. Orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan Ibnu Ajibah.

Profil Ibnu Ajibah

Ibnu Ajibah lahir di A’jabaisy pada tahun 1161 H dari suku Anjar yang lokasinya dikelilingi oleh gunung kota Teotani yang terletak di ujung utara Maroko, yakni sepuluh kilometer dari pesisir pantai putih.

Nuruddin Nās dalam karyanya yang berjudul Aḥmab Ibn ‘Ajībah: Syā’ir at-Taṣawwuf al-Maghribī, mengatakan bahwa Ibnu Ajibah lahir dari keluarga yang sangat religius dan memegang erat asas-asas ketakwaan. Sejak kecil, dia telah digladi untuk disiplin dan giat beribadah. Mulai dari istikamah salat di awal waktu, menjaga diri dari berbagai macam kemaksiatan, hingga tak pernah mengenal malas dalam menuntut ilmu. Semuanya itu dilakukan hanya semata-mata mengharap rida dari Allah Swt.

Ibnu Ajibah adalah figur lain daripada yang lain. Dia tidak seperti anak-anak pada umumnya yang gemar menghabiskan waktunya untuk bermain. Dia lebih asyik menikmati dunianya sendiri. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar, memperluas wawasan keilmuan, beribadah dengan penuh kekhusyukan, dan menghafal Alquran dengan sabar. Tak heran, jika di usianya yang masih dini, dia telah mampu memahami ilmu-ilmu dasar keislaman dan hafal Alquran dengan lancar.

Pencapadian yang luar biasa di usia dini Ibnu Ajibah di atas, sama sekali tidak membuatnya puas. Dia seakan candu dengan sesuatu yang dinyatakan sebagai sebuah ilmu. Berbagai macam majelis ilmu di daerahnya, baik itu di masjid maupun di lembaga pendidikan, baik siang maupun malam, selalu dia hadiri hanya untuk istifādah kepada para ulama yang kompeten di bidangnya.

Menurut Ibnu Ajibah, mempelajari ilmu tidak harus kepada ulama yang usianya sudah sepuh, tetapi bisa juga kepada yang lebih muda. Lebih lanjut, Ibnu Ajibah menambahkan bahwa ilmu itu tidak ada batas pangkal akhirnya. Oleh karena itu, ungkapan “Tuntutlah ilmu mulai dari fase gendongan hingga liang kuburan” sangatlah relevan dan kontekstual sepanjang masa.

Apa yang dikatakan Ibnu Ajibah dia buktikan secara konkret. Di usianya yang sudah berkepala empat, dia masih berkelana untuk menimba berbagai macam ilmu kepada para alim ulama di sana. Setelah bersungguh-sungguh memperdalam ilmu di kota Fas, dia kembali ke kampung halamannya untuk mengajar dan mengabadikan ilmunya dalam sebuah karya tulisan.

Baca juga: Memaknai Ayat Haji Ala Sufi

Sisi sufi Ibnu Ajibah

Setelah menguasai banyak ilmu-ilmu keislaman, Ibnu Ajibah tergugah hatinya untuk masuk lebih dalam ke tarekat tasawuf. Apa yang telah dipraktikkan Ibnu Ajibah ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi kita. Bahwa untuk masuk atau mengikuti tarekat, kita hendaknya telah mematangkan penguasaan terhadap dasar-dasar ilmu keislaman berbasis syariat. Agar ibadah yang kita jalani menjadi absah, terarah, dan mudah untuk wuṣūl (sampai) ke hadirat Allah Swt.

Tahapan demi tahapan yang telah dilalui oleh Ibnu Ajibah mampu mengantarkannya pada puncak karier intelektualitas dan spiritualitasnya dengan predikat al-‘ārif billah. Figur yang masyhur menguasai berbagai disiplin keilmuan sekaligus mempunyai hubungan vertikal yang dekat dengan Allah Swt. Maklum, jika di kemudian hari dia berada pada level “waliyullah”.

Pencapaian yang telah diraih Ibnu Ajibah sesungguhnya tidak terlepas dari peran dan kontribusi guru-gurunya. Di antara guru-guru yang telah membentuk karakter kesufian dan keulamaan Ibnu Ajibah adalah Muhammad bin al-Habib Ahmad al-Būzīdzī, Syekh Darqāwī, Abdul Karim bin Quraish (w. 1194 H), Abul Hasan Ali bin Ahmad (w. 1191 H), Abu Abdillah Muhammad bin al-Hasan al-Janūwī (w. 1200 H), Abu Abdillah Muhammad al-Tāwadī (w. 1209 H), Abu Abdillah al-Ṭayyib bin Abdul Majid (w. 1227 H), Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Fāsī (w. 1213 H), dan Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Warzāzī.

Baca juga: Mengenal Lataif Al-Isyarat, Tafsir Bernuansa Isyari (Sufi) Karya al-Qusyairi

Karya dan pemikiran Ibnu Ajibah tentang tafsir

Ibnu Ajibah adalah figur yang sangat produktif menulis. Hampir setiap disiplin ilmu pernah dia tuliskan dalam bentuk karya tulis. Produktivitasnya dalam menulis hampir mencapai lima puluh karya dari berbagai disiplin ilmu keislaman. Tak heran, selain dikenal sebagai waliyullah, dia juga diakui sebagai seorang yang fakih, muarrikh/pakar sejarah, muqri’/ahli qiraat, hingga mufasir.

Menyoal kepakarannya sebagai mufasir, Ibnu Ajibah telah melahirkan karya di bidang ini sebanyak empat karya, yaitu al-Baḥr al-Madīd fi Tafsīr al-Qur’ān al-Majīd, Tafsīr al-Kabīr li al-Fātiḥah, Tafsīr al-Wasīṭ li al-Fātiḥah, dan Tafsīr al-Mukhtaṣar li al-Fātiḥah.

Di antara lima karya tersebut yang paling masyhur dan fenomenal adalah al-Baḥr al-Madīd fi Tafsīr al-Qur’ān al-Majīd. Melalui karya ini, Ibnu Ajibah menyatakan bahwa di dalam Alquran terdapat makna zahir dan makna batin. Makna zahir dapat terurai dengan baik tatkala mufasir telah matang penguasaannya terhadap semua ilmu yang menjadi skala prioritas dalam proses menafsirkan Alquran. Sedangkan makna batin hanya dapat diungkap oleh mufasir yang pakar di bidang ilmu batin/ilmu makrifat dan hakikat, atau hatinya yang telah di-futūḥ (dibuka) oleh Allah Swt. (al-Baḥr al-Madīd, 1/42).

Lebih lanjut, Ibnu Ajibah menyampaikan bahwa siapa pun yang belum mencapai pengetahuan ilmu batin, maka jangan tergesa-gesa mengingkarinya. Terimalah dengan lapang dada. Sebab, penafsiran dengan model semacam itu memang lazimnya di luar nalar logika dan tidak melalui transmisi periwayatan. Sebaliknya, bagi yang telah mampu menafsirkan Alquran dari aspek batinnya, maka tidak boleh serta-merta menegasikan makna zahir ayat. Keduanya harus saling diterima dan diakui keberadaannya (al-Baḥr al-Madīd, 1/42).

Ibnu Ajibah menegaskan bahwa keberadaan makna batin yang diungkap melalui penafsiran Alquran, bukan semata-mata untuk menyalahi makna zahirnya. Keberadaan makna batin sesungguhnya merupakan keniscayaan yang selalu didahului dengan pemahaman makna zahirnya (al-Baḥr al-Madīd, 142).

Pernyataan yang ditegaskan Ibnu Ajibah di atas diterapkan betul dalam karya tafsirnya, al-Baḥr al-Madīd. Melalui karyanya ini, dia juga telah memberikan gambaran teknis terkait kinerja penafsiran Alquran dengan mengungkap sisi makna batinnya. Sebelum masuk ke ranah pemaknaan batin, Ibnu Ajibah terlebih dahulu menafsirkan makna zahir ayat. Baru kemuddian dia mulai menyelami makna batin dengan memberikan tanda kata الإشارة (al-isyārah).

Apa yang ditawarkan Ibnu Ajibah dalam al-Baḥr al-Madīd sejatinya sangat memberikan kontribusi bagi perkembangan metodologi tafsir, khususnya tafsir sufi isyari.

Pada tanggal 7 Syawal 1224 H. Ibnu Ajibah menutup masa khidmah hidupnya di dunia di usianya yang ke-63 tahun. Ibnu Ajibah wafat di kawasan Gumarah tatkala berkunjung ke kediaman gurunya, Muhammad bin al-Habib Ahmad al-Būzīdzī. Dia terkena wabah penyakit hingga nyawanya tak dapat lagi tertolongkan. al-Būzīdzī kemuddian memandikan dan mensalati jasad muridnya tersebut. Jenazah Ibnu Ajibah dimakamkan di Gumarah, namun kemuddian dipindahkan ke Teotani. تغمده الله بواسع رحمته وأسكنه فسيح جناته.

Baca juga: Ketika Kaum Sufi Berinteraksi dengan Alquran

Moch Arifin
Moch Arifin
Alumni Pascasarjana UIN Walisongo Semarang dan PP. Nurul Anwar Sarang; penulis buku 10 Tema Fenomenal dalam Ilmu Alquran. Minat kajian pada literatur tafsir Alquran di Nusantara.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU