Imam al-Farra’ bernama lengkap Yahya bin Ziyad bin Abdillah bin Manzhur al-Asadi al-Kufi al-Nahwi, namun lebih dikenal dengan julukannya yaitu Abu Zakariyya al-Farra’. Meski Ia merupakan seorang yang mutafannin (menguasai beberapa bidang keilmuan), akan tetapi karyanya lebih masyhur dalam bidang bahasa Arab.
Al-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala (hlm. 4164) menukil pernyataan Tsumamah bin Asyraf yang mengatakan bahwa imam al-Farra’ selain sangat mendalam keilmuannya di bidang bahasa, al-Farra’ juga ahli dibidang fikih, kedokteran, syair dan astronomi (perbintangan).
Al-Dzahabi juga mencatat bahwa al-Farra’ merupakan salah satu murid terbaik imam al-Kisa’i yang juga merupakan seorang pakar bahasa Arab. Tercatat, al-Kisa’i ini dulunya pernah berdebat dengan ‘mahaguru’ nahwu yakni imam Sibawaih.
Disebutkan dalam muqaddimah kitab Ma’ani al-Qur’an yang telah di-tahqiq oleh Ahmad Yusuf dan Ali al-Najjar (1/7-8) Laqab al-Farra’ sebenarnya tidak diambil dari nasab maupun daerah tempat tinggalnya, melainkan dinisbatkan kepada beliau karena ketika berbicara maka beliau akan membaguskannya tata bahasa dan sastranya sehingga nyaman didengar dan mudah dipahami (li annahu yafri al-kalam).
Tempat Kelahiran dan Latar Sosio-Historis
Disebutkan dalam Ma’ani al-Qur’an (1/8) bahwa al-Farra’ lahir di Kufah pada tahun 144 H pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyyah (132-656 H) tepatnya saat kepemimpinan Abu Ja’far al-Manshur, yakni khalifah kedua dinasti Abbasiyyah.
Keadaan sosial-intelektual pada masa itu menunjukkan dua kota besar sedang mengalami perkembangan keilmuan yang sangat pesat dan menjadikan dua kota tersebut kiblat keilmuan pada masa itu. Dua kota tersebut ialah Kufah dan Bashrah.
Baca Juga: Mengenal Abu Ja’far al-Nahhas, Salah Satu Tokoh Awal Tafsir Lughawi di Mesir
Di kota kelahirannya tersebut, al-Farra’ belajar dengan beberapa nama besar seperti Qais bin al-Rabi’, Mandal bin ‘Ali, Abu Bakar bin ‘Ayyasy, Sufyan bin ‘Uyainah dan al-Kisa’i. Disebutkan juga bahwa beliau pernah belajar kepada Yunus bin Habib al-Bashri dan kepada beberapa murid-muridnya Sibawaih.
Dengan kekuatan hafalan yang ia miliki dan ketekunannya dalam belajar. Tak heran jika dikemudian hari ia menjadi sosok ulama yang mendalam keilmuannya. Disebutkan ternyata al-Farra’ tidak menulis tangan karyanya sendiri, melainkan ia mendiktekannya hanya melalui hafalan semata yang kemudian ditulis tangan oleh orang lain.
Amir al-Mukminin fi al-Nahwi
Meskipun ahli di berbagai bidang, namun al-Farra’ tampak lebih mencolok di bidang bahasa. Dengan keahliannya di bidang bahasa tersebut, Ibn al-Anbari sampai memuji al-Farra’ sebagaimana dinukil oleh al-Dzahabi, ia mengatakan.
لَو لَم يَكُن لِأَهلِ بَغدَاد وَالكُوفَةِ مِنَ النُّحَاةِ إِلَّا الكِسَائِي وَالفَرَّاءَ لَكَفَى.
“Seandainya di Baghdad dan Kufah tidak ada pakar gramatika bahasa Arab selain al-Kisa’i dan al-Farra, maka (mereka berdua) itu sudah cukup”.
Sebagian ulama yang lain bahkan ada yang menjuluki al-Farra’ dengan sebutan Amir al-Mu’minin fi al-Nahwi, julukan yang sama dengan yang diberikan kepada imam al-Bukhari dalam bidang hadis.
Dalam perkembangannya, ilmu nahwu memunculkan dua aliran mazhab besar, yaitu mazhab Bashrah yang dibintangi oleh Sibawaih dan mazhab Kufah. Pernyataan Ibn al-Anbari di atas menunjukkan bahwa al-Farra’ merupakan tokoh nahwu aliran Kufah bersama dengan gurunya al-Kisa’i.
Mengajar Anak Khalifah
Ada sebuah kisah menarik yang diriwayatkan dalam kitab Tarikh Madinah al-Islam (16/226) karya Khatib al-Baghdadi, ternyata al-Farra’ ini adalah ulama yang dipercaya oleh khalifah al-Ma’mun (memerintah sekitar 198-218 H) untuk mengajarkan kedua anaknya ilmu gramatika bahasa Arab.
Ceritanya, pada suatu ketika al-Farra’ akan bangkit dari tempatnya untuk sebagian keperluannya, kemudian dua anak khalifah al-Ma’mun tadi bergegas untuk mengambilkan sepasang sendal milik al-Farra’ untuk digunakan dalam perjalanannya. Mereka berdua pun berebut dan berdebat siapa yang akan membawakan sandal tersebut kepada gurunya.
Singkat cerita akhirnya mereka berdua pun sepakat masing-masing membawakan satu sendal beliau. Berita ini pun sampai kepada al-Ma’mun hingga akhirnya al-Farra’ dipanggil ke istana kekhalifahan untuk menghadap al-Ma’mun. Lantas al-Ma’mun bertanya, “Siapa manusia yang paling mulia?”, lalu al-Farra’ menjawab, “Aku tidak mengetahui siapa yang lebih mulia dari amir al-mu’minin”.
Kemudian dijawab lagi oleh al-Ma’mun, “Tidak, melainkan ia adalah orang yang ketika hendak bangkit maka berebutlah dua orang yang akan mengurusi urusan kaum muslimin untuk memasangkannya sendal”. Sadar akan jawaban tersebut lalu al-Farra’ menjawab, “Sungguh aku ingin mencegah keduanya, namun aku tidak tega menolak penghormatan keduanya dan aku takut itu bisa melukai perasaan mereka”.
Al-Ma’mun menjawab, “tidak, bahkan seandainya engkau mencegahnya maka aku akan menghukum dan mencelamu. Perbuatan keduanya itu tidak menurunkan kemuliaannya, melainkan mengangkat derajat keduanya (karena menghormati ulama) dan perbuatan keduanya itu menunjukkan kepadaku akan kecemerlangan mereka”
Kemudian al-Ma’mun mengatakan bahwa sehebat apapun seseorang ia harus tetap rendah hati kepada tiga orang, yaitu pemimpinnya, kedua orang tuanya dan gurunya. Kemudian al-Ma’mun menghadiahkan 10.000 dirham kepada al-Farra’ karena telah mengajarkan adab yang baik kepada kedua anaknya.
Baca Juga: Mengenal Sachiko Murata dan Pendekatannya dalam Membaca Ayat Relasi Gender
Dari sini terlihat meskipun al-Ma’mun telah menimbulkan fitnah yang besar terhadap umat Islam dengan ‘khalq al-Qur’an’, tetapi ia memberikan perhatian yang lebih kepada pendidikan anaknya, terbukti ia menyerahkan anaknya kepada al-Farra’ seorang ulama yang tidak hanya mendalam ilmunya namun juga bagus adabnya.
Karya dan Tahun Wafat
Adapun soal karya, menurut al-Dzahabi, jika ditaksir karya al-Farra’ itu tidak kurang dari 3000 halaman, dan salah satu karyanya yang paling monumenal adalah kitab tafsir Ma’ani al-Qur’an yang ditulis dengan pendekatan kebahasaan, konon ketika al-Farra’ mendiktekan kitab ini terdapat 80 qadi’ yang hadir menyimaknya.
Imam al-Farra’ wafat pada tahun 207 H dalam perjalanan haji dengan usia 63 tahun, beliau wafat dengan mewariskan berbagai karya intelektual, seperti kitab tafsir Ma’ani al-Qur’an yang telah mewarnai khazanah keilmuan Islam. Allahumma faqqihna fi al-din wa ‘allimna al-ta’wil.