Ahmad Rafiq dikenal sebagai pakar living Qur’an di Indonesia, bahkan disebut sebagai salah satu pencetus kajian Living Qur’an di Indonesia, selain Muhammad Mansur, Hamam Faizin dan Islah Gusmian. Kajian living Qur’an Ahmad Rafiq telah diwacanakan sejak tahun 2004, yakni dalam tulisan “Pembacaan yang Atomistik terhadap Al-Qur’an: antara Penyimpangan dan Fungsi”.
Kajian Living Qur’an Ahmad Rafiq memiliki kekhasan tersendiri, yang beliau sebut sebagai Resepsi Al-Qur’an. Meskipun menggunakan istilah Resepsi, tetapi pemikiran Ahmad Rafiq tersebut bermuara dengan kajian living Qur’an yang telah berkembang. Karena itu, penting dibahas pemikiran Ahmad Rafiq tentang kajian Living Qur’an.
Baca Juga: Belajar dari Islah Gusmian, Peneliti Khazanah Al-Qur’an dan Manuskrip Nusantara
Ahmad Rafiq dan Jejak Pemikirannya
Ahmad Rafiq, lahir pada 14 Desember 1974, adalah salah satu pemikir Islam dan studi Al-Qur’an kontemporer di Indonesia. Jejak studinya berfokus pada Tafsir Hadis pada tahun 1997 (S1) dan Filsafat Agama pada 2003 (S2) yang keduanya diperoleh di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Setelah itu, beliau melanjutkan studinya di Temple University pada 2014.
Dari studinya di Temple University tersebutlah, pemikiran tentang resepsi Al-Qur’an menjadi fokus tersendiri bagi beliau. Hal ini terbukti dari disertasinya yang berjudul “The Reception of the Qur’an in Indonesia: a Case Study of the Place of the Qur’an in a non-Arabic Speaking Community” (2014). Meski demikian, rancang-bangun pemikirannya tersebut telah berlangsung jauh sebelumnya.
Dalam tulisannya, “Pembacaan yang Atomistik terhadap Al-Qur’an… (2014)”, Ahmad Rafiq telah mensinyali perlunya mendiskusikan Al-Qur’an dalam konteks fenomena sosial. Beliau mengatakan:
… cara baca yang atomistik terhadap Al-Qur’an, yakni pembacaan yang menganggap setiap bagian dari Al-Qur’an, baik berupa surah, kelompok ayat, sebuah ayat, atau bahkan potongan ayat dan kata tertentu, mempunyai makna sendiri yang terlepas dari bagian atau konteks lainnya…
Cara baca yang atomistik ini melahirkan diskusi motif positif atau negatif si pengguna, keduanya memiliki makna tersendiri. Berbagai fenomena atomistik ini bukan disebabkan pemahaman atas kandungan Al-Qur’an, tetapi ada aspek keyakinan atas adanya makna tersendiri bagi penggunanya. Lebih jauh, fenomena atomistik ini banyak ditemui dalam tradisi muslim, termasuk di Indonesia.
Pada perkembangannya, diskusi pembacaan atomistik ini dikembangkan menjadi diskusi resepsi Al-Qur’an. Dalam definisinya, Ahmad Rafiq mengatakan:
“Resepsi Al-Qur’an adalah uraian bagaimana orang meneria dan bereaksi terhadap Al-Qur’an dengan cara menerima, merespon, memanfaatkan, atau menggunakannya baik sebagai teks yang memuat susunan sintaksis atau sebagai mushaf yang dibukukan yang memiliki maknanya sendiri atau sekumpulan lepas kata-kata yang mempunyai makna tertentu” (Ahmad Rafiq, 2012).
Peta Kerja Resepsi-Living Al-Qur’an Ahmad Rafiq
Diskusi resepsi Al-Qur’an oleh Ahmad Rafiq dibahas secara gamblang dalam disertasinya. Ia menjelaskan bahwa ada peran local leader, yang dapat berupa ulama, tokoh penting, atau lainnya yang memiliki modal sosial yang dapat mempengaruhi dan membentuk sebuah tradisi di suatu tempat.
Local leader tersebut sebagai agen yang melakukan transmisi dan transformasi pemahaman ajaran agama menjadi sebuah tradisi. Proses transmisi dapat ditelusuri dari masa Islam awal, era kenabian ataupun era sahabat yang mengabarkan sebuah ajaran tertentu. Kemudian ditransmisikan ke generasi selanjutnya, ke selanjutnya, dan selanjutnya lagi, hingga ajaran agama tersebut dipahami oleh local leader.
Dalam transmisi pada masa Nabi Muhammad SAW atau sahabat, ini dapat diperoleh dari Al-Qur’an atau hadis. Transmisi selanjutnya dapat diperoleh dari kitab-kitab tafsir atau kitab-kitab syarah. Transmisi selanjutnya lagi dapat diperoleh dari kitab-kitab buku pegangan lainnya (handbooks) yang biasanya menampilkan pemahaman dari hasil pengolahan atau racikan dari berbagai kitab-kitab sebelumnya, seperti kitab fadhail Al-Qur’an. Transmisi terakhir adalah transmisi yang dilakukan oleh local leader setempat.
Pada titik ini, terjadi asimilasi tradisi yang terjadi pada masa lampau dengan tradisi konteks lokal yang ditemui seorang local leader. Sehingga, tak dapat dipungkiri terjadinya transmisi tradisi dengan penyesuaian konteks. Dalam pentransmisian dan penyesuaian tradisi tersebut, local leader berupaya agar subtansi (nilai) tradisi tersebut tetap tersampaikan, meski dalam bentuk resepsi berbeda.
Selanjutnya, di setiap transmisi resepsi tersebut terjadi transformasi. Dalam hal ini, bentuk resepsi pada era Nabi Muhammad SAW, sahabat dan seterusnya boleh jadi mengalami perbedaan bentuk resepsi ketika ditemui pada masa kitab tafsir, hingga saat ini. Terjadinya perbedaan bentuk resepsi tersebut sangat dipengaruhi oleh konteks sosial local leader. Sehingga sangat mungkin tradisi atau ajaran agama yang ditransmisi sama tetapi melahirkan transformasi yang berbeda.
Baca Juga: Jajang A Rohmana: Penguak Ekspresi Lokalitas Tafsir Al-Quran di Sunda
Dalam hal ini, Ahmad Rafiq mengajukan beberapa pertanyaan, yakni:
Al-Qur’an yang mana yang ditransmisikan: apakah Al-Qur’an secara keseluruhan? Atau hanya bagiannya, surahnya atau ayatnya yang tertentu, atau hanya bagian dari ayat? Ataukah Mushaf Al-Qur’an sebagai kitab yang berdiri sendiri yang memiliki “otoritas”nya sendiri yang terlepas dari makna tekstual kebahasaannya? (Rafiq 2015: 76).
Beberapa pertanyaan di atas merupakan contoh pertanyaan yang dapat diajukan untuk menemukan pola resepsi Al-Qur’an dari masa ke masa. Pola resepsi ini akan memperlihat nilai resepsi dan bentuk resepsi di mana ia terjadi. Dari sini, dapat dipahami bahwa dalam transmisi ajaran agama, Al-Qur’an, atau tradisi, terdapat nilai tetap yang tidak berubah. Saat yang sama, terjadinya transformasi ajaran agama, Al-Qur’an atau tradisi terdapat bentuk yang berubah-ubah berdasarkan konteks si pentransmisi.
Sampai di sini, dapat dipahami bahwa kajian living Qur’an yang bermuara pada istilah resepsi oleh Ahmad Rafiq membawa diskusi yang unik dan kontekstual. Ia unik karena mengungkap fakta sosial yang tidak biasa. Ia kontekstual karena dalam transmisi dan transformasinya selalu menyesuaikan diri dengan konteks sosial yang ditemuinya. [] Wallahu A’lam.