Kanjeng Kiai Al-Quran merupakan salah satu mushaf kuno Keraton Yogyakarta. Nama Kanjeng Kiai merupakan istilah yang lazim digunakan dalam tradisi Jawa untuk benda-benda pusaka. Dalam buku Mushaf Kuno Nusantara Jawa, ada empat mushaf di perpustakaan Widya Budaya Keraton Ngayogyokarto Hardiningrat. Dari keempat mushaf tersebut, hanya ada satu yang diketahui asal-usulnya, yakni mushaf Kanjeng Kiai Al-Quran ini.
Fisik mushaf ini berukuran 40 x 28 cm, dengan tebal 575 halaman. Ukuran teksnya 32 x 20 cm dengan 15 baris per halamannya. Mushaf dengan kode C4 ini semula milik Kanjeng Gusti Raden Ayu Sekar Kedhaton, putri Sultan Hamengkubuwana II (1772-1828). Dahulu, kitab suci ini digunakan Raden Ayu Sekar Kedhaton untuk mengaji kepada gurunya yang juga abdi dalem, Haji Mahmud. Namun penulis mushaf ini bukanlah guru mengaji tersebut, melainkan seorang Abdi dalem Surakarta yang bernama Ki Atma Parwita Ordonas Sepuh.
Dalam keterangan mushaf ini, terdapat kolofon dengan aksara pegon yang menjelaskan nama penyalin, hingga tanggal penyalinan. Berikut ini kolofon yang tertera:
“Kagungan dalem Qur’an ingkang nerat Abdi Dalem Ki Atma Perwita Hurdenas Sepuh kala wiwit anerat ing dinten Arba’ wanci pukul setengah sewelas tanggal ping selikur ing wulan Rabi’ul Akhir ing tahun Jim Awal angkaning warsa 1725. Kala sampun neratipun ing dinten Salasa wanci pukul setengah sanga tanggal ping nem ing wulan Ramadhan ing Surakarta Adiningrat hadza baladi Jawi.”
Setidaknya, arti dari kolofon ini yaitu:
“Qur’an milik Tuan yang menyalin Abdi Dalem Ki Atma Perwita Ordonas Sepuh. Mulai disalin pada hari Rabu pukul 10.30 tanggal 21 Rabi’ul Akhir tahun Jim Awal 1725 (2 Oktober 1798). Selesai disalin pada hari Selasa pukul 8.30 tanggal 6 Ramadan (12 Februari 1799) di Surakarta Adiningrat, negeri Jawa.”
Baca juga: Mengenal Muhammad Dawam Rahardjo dan Karyanya, Ensiklopedi Al-Quran
Dari keterangan tanggal penyalinan, mushaf ini bisa disebut sebagai salah satu benda pusaka yang selamat dari penjarahan Inggris. Dalam catatan, seperti yang diwatakan tirto, pada tanggal 20 Juni 1812 era Sultan Hamengkubuwono II ribuan manuskrip dari perpustakaan Istana dibawa ke Inggris. Hal ini karena saat itu Keraton Yogyakarta jatuh di tangan Inggris.
Selain itu, mushaf ini termasuk benda pusaka yang terawat, karena kondisinya masih utuh 30 juz. Cover mushaf ini dari bahan kulit. Mushaf ini juga menggunakan khat naskhi dengan rasm campuran (usmani dan imla’i). Tinta yang digunakan terdiri dari dua, hitam dan merah. Tinta hitam digunakan untuk huruf biasa, sementara tinta merah untuk harakat Panjang.
Adapun tanda ayat dalam Kanjeng Kiai Al Qur’an ini menggunakan lingkran kuning. Ini menunjukkan karakteristik manuskrip mushaf kuno yang belum menerapkan sistem penomoran. Untuk menandai ayat yang ada di perbatasan juz, penulisnya memberikan tanda lima lingkaran. Sama dengan mushaf lainnya, setiap awal surat ditandai dengan kotak khusus yang mencantumkan nama surah, jumlah ayat, dan tempat turunnya surat.
Baca juga: Iluminasi Mushaf Al-Bantani; Ekspresi Identitas Keislaman Masyarakat Banten
Kanjeng Kiai Al Qur’an termasuk salah satu manuskrip mushaf Keraton Yogyakarta yang paling indah. Setiap halamannya terdapat hiasan komposisi wana merah, emas, biru, hitam, merah muda, dan hijau muda. Motif yang digunakan pun lebih menunjukkan budaya Jawa. Motif hias ini seperti sulur bunga, motif saton, serta garis tegas membentuk bingkai dengan warna emas dan merah. Motif-motif inilah yang kemudian pada tahun 2011 digunakan sebagai refrensi pembuatan mushaf Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kanjeng Kiai Al Qur’an sebagai Rujukan Mushaf Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Kanjeng Kiai Al Qur’an merupakan referensi utama dalam pembuatan mushaf keraton pada tahun 2011. Saat itu Sultan Hamengkubuwono X menyebut bahwa pembuatan Mushaf Keraton ini sebagai upaya pelestarian tradisi penyalinan Al Qur’an di lingkungan kesultanan. Berikut salah satu potongan sambutannya:
“Adalah suatu kemuliaan yang tak ternilai bagi saya pribadi beserta seluruh kerabat Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, karena memperoleh berkah, rahmat dan ridha-Nya sehingga dapat mewujudkan tekad untuk memelihara dan menjaga serta melestarikan pusaka budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yang telah berumur lebih dari 200 tahun berupa Mushaf Al-Qur’an yang memiliki nilai tiada terkira bagi kehidupan manusia.”
Dari penjelasan itu, salah satu pusakan yang berumur lebih dari 200 tahun adalah Kanjeng Kiai Al Qur’an. Namun dalam mushaf tahun 2011 ini, kaligrafi yang digunakan merupakan adopsi dari goresan Usman Taha. Selain itu, iluminasi juga mengambil dari manuskrip dan pusaka lain dari keraton. Hal ini tentu untuk memperkaya khazanah mushaf di lingkungan Keraton Yogyakarta.
Wallahu a’lam []