Ragam corak penafsiran al-Qur’an berangkat dari berbagai latar belakang mufasir dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Namun, pra-konsepsi, latar belakang keilmuan, ataupun ideologi yang melekat dalam diri mufasir, menurut Muhammad Ulinnuha dalam Metode Kritik ad-Dakhil fi at-Tafsir: Cara Mendeteksi Adanya Inflltrasi dan Kontaminasi dalam Penafsiran al-Qur’an, kerap kali berdampak pada subjektivitas tafsir.
Fenomena subjektivitas mufasir yang kian jauh dari “semangat al-Qur’an berbicara” mendapat banyak kritik dari para pemerhati al-Qur’an. Sehingga lahir satu kajian khusus yang disebut ad-Dakhil fi at-Tafsir. Sayangnya, belum banyak dari akademisi tafsir al-Qur’an yang menyelami lautan pengetahuan para kritikus produk tafsir. Tulisan ini akan mengulas secara lugas perkembangan ad-Dakhîl fi at-Tafsîr dan lima faktor yang melatarbelakanginya.
Mengetahui sumber yang otentik (valid) dan bisa dipertanggungjawabkan, menjadi sesuatu yang penting dalam interpretasi al-Qur’an. Upaya mendapatkan penafsiran yang objektif seratus persen memang sulit dilakukan. Hal ini juga diakui oleh Abdul Wahab Fayed. Namun, ia memberikan tawarannya dalam kitab ad-Dakhîl fi at-Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, berupa autentisitas sumber (al-aṣâlat al-maṣdar) untuk menekan banyaknya infiltrasi penafsiran.
Baca juga: Surah Al-Maidah Ayat 100: Tidak Sama Antara Kebaikan dan Keburukan
Kata ad-Dakhîl dalam al-Mufradât fi Gharîb al-Qur’ân adalah suatu aib, cacat internal. Selanjutnya disebut dengan infiltrasi (penyusupan, peresapan). Apabila kata ini digabungkan dengan kata “tafsir”, menurut Fayed yang dikutip oleh Ulinnuha (Metode Kritik ad-Dakhîl fit-Tafsîr, 2019, 52), adalah penafsiran al-Qur’an yang tidak didasari pada validitas sumber seperti al-Qur’an, hadis sahih, pendapat sahabat dan tabi’in serta akal sehat yang memenuhi prasyarat dan kriteria ijtihad.
Sejarah Perkembangan ad-Dakhîl fi at-Tafsîr
Infiltrasi penafsiran al-Qur’an sebenarnya telah ada bersamaan dengan awal perkembangan Islam. Hal ini terjadi ketika Nabi Muhammad beserta para sahabatnya berinteraksi dengan lintas iman di Madinah. Selain itu, masuknya beberapa orang dari ahli kitab yang memeluk Islam. Komunikasi, diskusi, dan silang budaya yang terjadi di antara mereka, pada gilirannya banyak memberikan riwayat israiliyat dalam penafsiran.
Adalah Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin al-Ash yang sering bertanya pada Ahli Kitab. Sementara para sahabat dari bangsa Yahudi misalnya Ka’ab bin Mati al-Humyari al-Ahbar, Abdullah bin Salam dan Tamim al-Dari. (baca Ulinnuha, 2019, 56). Periwayatan israiliyat semakin banyak ditemukan pada masa tabi’in dan masih dilanggengkan oleh generasi setelahnya.
Infiltrasi penafsiran semakin terlihat ketika sekte-sekte dalam Islam banyak bermuculan. Beberapa golongan yang disebutkan oleh Fayed dalam ad-Dakhîl fi at-Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm seperti Muktazilah, Babiyah, Bahaiyah, dan Ahmadiyah. Mereka banyak membaca al-Qur’an berdasarakan kepentingan dan hawa nafsunya belaka. Misalnya dilakukan oleh Basyiruddin Ahmad (dari Ahmadiyah) yang melegitimasi kenabian Mirza Ghulam Ahmad melalui QS. al-Hajj[22]: 75.
Sedikit perkembangan ad-Dakhîl fi at-Tafsîr tersebut melahirkan pertanyaan, mengapa hal ini terjadi? Apa faktor yang melatarbelakangi infiltrasi penafsiran? Pertanyaan inilah yang diungkap oleh Ulinnuha dalam buku tersebut di atas. Sebuah buku yang berusaha menggali gagasan dari Abdul Wahab Fayed dari kitab ad-Dakhîl fi at-Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm.
Baca juga: Dinamika Awal Pencetakan Al-Qur’an dalam Kajian Hamam Faizin
Lima Faktor Perkembangan Ad-Dakhil fi at- Tafsir
Ada lima faktor yang memengaruhi perkembangan ad-Dakhîl fi at-Tafsîr (infiltrasi tafsir) yang disampaikan oleh Fayed. Pertama, faktor politik dan kekuasaan. Seperti kita ketahui pada masa kekhalifahan Ustman bin Affan, mulai terjadi perpecahan di tubuh umat Islam. Hal ini terjadi hingga Khalifah Ali bin Abi Thalib sampai periode dinasti Umayah dan Abbasiyah.
Masing-masing sekte yang bermunculan menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kepentingan yang mereka bawa. Pertama, yang dilakukan oleh sekte Syi’ah Rafidah yang menafsirkan QS. al-Lahab[111]: 1 dengan menyebut Abu Bakar dan Umar bin al-Khattab sebagai tokoh yang ditunjuk al-Qur’an. Lalu Bani Abbasiyah menafsirkan as-syajarah al-mal’ûnah (QS. al-Isra[17]: 60) sebagai Bani Umayah. (Metode Kritik ad-Dakhîl fit-Tafsîr 2019, 65)
Kedua, faktor kebencian terhadap Islam yang lebih banyak dibawa oleh orientalis, meski tidak semuanya. Beberapa nama yang acapkali membuat narasi kebencian seperti Hendrik Kraemer, Ignaz Goldziher, Arthur Jeffery, Jhon Wansbrough, Richard Bell dan sebagainya. Salah satu penyusupan yang terjadi dalam khazanah tafsir adalah hadis palsu tentang riwayat gharaniq. Yaitu kisah palsu dan tidak masuk akal tentang pujian Nabi Muhammad terhadap berhala kaum musyrik.
Baca juga: Body Shaming, Repetisi Histori al-Hujurat Ayat 11 Sebagai Budaya Jahiliyah Modern
Ketiga, faktor fanatisme buta oleh sebagian kelompok. Sikap fanatik yang berlebihan akan menciderai objektifitas penafsiran. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Muktazilah yang tidak meyakini sifat-sifat Allah. Mereka menafsirkan “kallama” (berbicara) pada QS. an-Nisa[4]: 164 dengan “jarraha” (melukai).
Kelompok Syi’ah yang teramat cinta dengan Ali bin Abi Thalib juga menafsirkan dengan mengambil hadis palsu. Contohnya ketika mereka menafsirkan QS. Qaf[50]: 24 pada kalimat “alqiyâ fî jahannama kulla kaffârin anîd”. Menurutnya, Muhammad Saw dan Ali diberikan kewenangan untuk memasukkan orang-orang ke surga atau neraka. (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azim)
Keempat, perbedaan mazhab yang terjadi pada umat muslim. Perbedaan sudut pandang maupun metode yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an sebenarnya sah-sah saja. Selagi itu bukan perihal pokok (akidah). Namun, perbedaan mazhab juga kerap masuknya penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Hal ini dilakukan untuk melegalkan dan justifikasi mazhab yang mereka pegangi. Infiltrasi penafsiran yang dilakukan oleh kelompok Ahmadiyah, misalnya. Mereka mencari-cari upaya penafsiran untuk membenarkan kenabian dari Mirza Ghulam Ahmad.
Kelima, ketidaktahuan mufasir. Usaha menafsirkan al-Qur’an memang harus dilakukan dengan seperangkat ilmu yang kredible dan valid. Namun, tidak sedikit terjadi dalam ranah tafsir kekeliruan yang dilakukan oleh beberapa orang karena tidak mengetahui ilmunya. Alih-alih ingin memberikan suatu informasi malah menciderai kesucian al-Qur’an.
Dalam catatan Imam Jalaluddin as-Suyuthi yang dinukil oleh Ulinnuha, ada beberapa nama yang sering membuat riwayat palsu. Di antaranya adalah Abu Ismah Nuh bin Abu Maryam, Bazi bin Hassan, Maysarah ibnu Abdi Rabbih, dan Mukhallad ibnu Abdul Wahid. Mereka membuat riwayat palsu tentang keutaman surah-surah al-Qur’an agar banyak dibaca atau disukai umat muslim.
Proses infiltrasi yang dilakukan oleh orang-orang di atas lalu dikutip oleh az-Zamakhsyari, dalam menjelaskan keutamaan beberapa surah al-Qur’an. Misalnya dalam Surah al-Infitar, al-Buruj, ad-Duha, at-Tin, al-Kafirun dan beberapa lainnya. Namun dalam penyelidikan lebih lanjut, sumber riwayat yang dinukil oleh az-Zamakhsyari tidak diketahui validitasnya.
Sebagai pemerhati al-Qur’an dan tafsir, sikap yang perlu diambil terkait infiltrasi penafsiran al-Qur’an adalah tetap mengapresiasi hasil jerih payah para mufasir. Namun daya kritis dan pembacaan yang lebih luas tentang segala keilmuan terkait, juga tetap kita upayakan. Hal ini dilakukan untuk tetap menjaga objektifitas tafsir, meski kebenaran al-Qur’an tidak akan dicapai pengetahuannya oleh manusia.