Kepemimpinan adalah hal yang penting dalam agama Islam. Istilah pemimpin bisa diungkapkan secara beragam seperti kata imam, amir, khalifah, wali, atau naqib. Dalam kehidupan sehari-hari, kepemimpinan dapat berupa pemimpin keluarga, pemimpin daerah, pemimpin politik, bahkan pemimpin salat, dan sebagainya.
Di antara empat istilah pemimpin tersebut, kata imam adalah yang paling sering kita dengar, baik itu ungkapan imam keluarga atau imam salat. Namun, untuk memahami istilah imam kita perlu merujuk ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga, dapat kita pahami bagaimana konsep dan modelnya, kemudian kita bisa menentukan imam seperti apa yang harus kita ikuti.
Untuk itu, tulisan ini akan menguraikan beberapa ayat yang di dalamnya tertuang kata imam. Kemudian dilihat makna dan konteksnya untuk kemudian diambil makna praktisnya dalam kehidupan sehari-hari.
Kata Imam Secara Bahasa
Dalam berbagai kamus bahasa Arab, kata imam dapat bermakna banyak. Menurut Ibn Mandzur dalam Lisanul ‘Arab, imām jamaknya a’immah, adalah setiap orang yang diikuti oleh suatu kaum, baik untuk menuju jalan kebenaran atau menuju jalan kesesatan.
Adapun menurut Al-Asfahani, imām yaitu orang atau kitab yang diikuti perkataan atau perbuatannya, baik untuk membenarkan atau mendustakan. Selain itu, Ahmad Ibn Faris menambahkan bahwa kata imam juga berarti benang untuk meluruskan bangunan. (Maqāyis al-Lughah).
Melalui uraian ini, kata imām dapat bermakna sesuatu yang diikuti untuk dijadikan petunjuk atau pedoman bagi orang yang mengikutinya. Kata imām memiliki kedekatan makna dengan kata khalīfah.
Baca juga: Menyingkap Relasi Makna Kata Khalifah dan Khilafah dalam Al-Qur’an
Kata Imam dalam Al-Qur’an
Merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an, dalam bentuk tunggal, kata imām disebutkan sebanyak 12 kali dan tersebar dalam 11 surah. Dan memiliki arti dan konteks yang beragam seperti pemimpin, jalan, dan lauh mahfūdz. Salah satunya dalam surah Al-Isra’ ayat 71:
يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُناسٍ بِإِمامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتابَهُ بِيَمينِهِ فَأُولئِكَ يَقْرَؤُونَ كِتابَهُمْ وَلا يُظْلَمُونَ فَتيلاً
Artinya: “Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpin mereka; dan barang siapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya, maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikit pun.”
Kata imām dalam ayat ini adalah pemimpin. Qurasih Shihab dan Ath-Thabari dalam tafsirnya juga menjelaskan makan lain dari imam yaitu kitab, nabi, syara’, serta buku catatan amal perbuatan manusia yang telah dihitung. (Tafsir al-Misbah dan Tafsir At-Tahabari).
Adapun yang bermakna jalan terdapat dalam surah Al-Hijr ayat 79:
فَانْتَقَمْنا مِنْهُمْ وَ إِنَّهُما لَبِإِمامٍ مُبينٍ
Artinya: “Maka Kami membinasakan mereka. Dan sesungguhnya kedua kota (kaum Luth dan Syu‘aib) itu benar-benar terletak di jalan umum yang terang.”
Adapun yang bermakna lauh mahfūdz terdapat dalam surah Yasin ayat 12:
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتى وَ نَكْتُبُ ما قَدَّمُوا وَ آثارَهُمْ وَ كُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْناهُ في إِمامٍ مُبينٍ
Artinya: “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata.”
Berkaitan dengan kitab induk yang nyata ini, para mufasir seperti As-Suyuthi dan Asya’rawi menerangkan bahwa imam di sini bermakna kitab induk yang terjaga. Kemudian kitab ini merujuk pada lauh mahfūdz. Dengan kitab ini diketahui segala yang sudah terjadi dari keadaan manusia. (ad-Dūr al-Manthūr dan Tafsir Asy-Sya’rawi).
Baca juga: Reinterpretasi Kepemimpinan dalam Surah Al-Nisa Ayat 34
Dua Model Imam
Adapun dalam bentuk jamaknya, a’immah, disebutkan dalam Al-Qur’an dan merujuk pada dua model imam. Pertama, imam kufur yang mengajak manusia menuju neraka dan kerugian. Kedua, imam kebaikan yang memberi petunjuk pada kebaikan. Kedua model imam ini dapat dilihat melalui ayat-ayat berikut ini, Al-Qashash ayat 41:
وَ جَعَلْناهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَ يَوْمَ الْقِيامَةِ لا يُنْصَرُونَ
Artinya: “Dan Kami jadikan mereka para pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.”
Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan bahwa sifat ini ialah perangai imam-imam batil. Mereka senantiasa menyeru manusia yang lemah jiwa dan akalnya untuk melakukan amal-amal buruk hingga akhirnya mengantarkan mereka ke neraka. Tidak ada penolong bagi mereka dan meraka adalah golongan yang rugi. (Tafsir Mafatihul Ghaib).
Dalam relasinya dengan imam yang kufur ini, Quraish Shihab mengaitkannya dengan surah at-Taubah ayat 12, yaitu untuk memerangi imam-imam yang kufur. Karena mereka adalah pangkal dari keburukan. Dengan memerangi mereka akan memutus umat yang tertipu oleh keburukan pemimpin yang batil. (Tafsir al-Misbah).
وَ إِنْ نَكَثُوا أَيْمانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَ طَعَنُوا في دينِكُمْ فَقاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لا أَيْمانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ
Artinya: “Jika mereka merusak sumpah (janji) sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah para pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar mereka berhenti.”
Sementara model yang kedua adalah imam dalam kebenaran. Imam ini salah satunya disandang oleh Nabi Ibrahim setelah menerima dengan penuh kesabaran ujian-ujian yang datang dari Allah. Di antaranya adalah perintah untuk menyembelih Ismail, putranya. Dalam surah Al-Baqarah ayat 124 dikatakan:
وَ إِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيْمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِيْنَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia menunaikannya (dengan baik). Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata, “Dan dari keturunanku (juga)?” Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.”
Ciri-ciri dari imam kebenaran adalah memberi petunjuk untuk melakukan berbagai kebaikan, seperti mengerjakan kebaikan, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan hanya menyembah kepada Allah. Sebagaimana dalam surah al-Anbiya’ ayat 73:
وَ جَعَلْناهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنا وَ أَوْحَيْنا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْراتِ وَ إِقامَ الصَّلاةِ وَ إيتاءَ الزَّكاةِ وَ كانُوا لَنا عابِدينَ
Artinya: “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka untuk mengerjakan kebaikan, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami-lah mereka selalu menyembah.”
Penutup
Melalui uraian tentang terma imam dalam Al-Qur’an, ada beberapa hikmah yang dapat diambil. Pertama, menjadi seorang imam adalah menjadi panutan yang harus selalu meningkatkan kualitas diri. Karena ada kaum yang mengikuti dan meneladani sifat dan perilakunya.
Kedua, baik dan buruknya imam tidak dilihat dari atribut-atribut lahiriyah yang disandangnya (pangkat, pekaian, gelar, dan sebagainya), akan tetapi dilihat dari akhlak dan perbuatannya. Oleh karena itu, jangan sampai kita tertipu dan salah dalam memilih imam sebagai panutan.
Terakhir, semoga kita dapat menjadi imam yang baik bagi diri kita sendiri, keluarga, maupun dalam lingkup masyarakat lebih luas. Di sisi lain, semoga kita juga mampu memilih imam yang mengajak kepada kebaikan, karena salah memilih imam tidak hanya rugi di dunia, akan tetapi juga bisa membuat rugi dan menyesal di akhirat kelak.
Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Yusuf: Menjadi Pejabat di Bawah Kepemimpinan Non-Muslim