Dua artikel penulis sebelumnya; Mengenal lafal Wadih ad-Dalalah Dan Khafi ad-Dalalah dalam al-Quran, dan Kaidah Wadih ad-Dalalah, Contoh Pertentangan dan Cara Penyelesaiannya, baru menjelaskan seputar Wadih ad-Dalalah saja, belum menyinggung kategori kedua lafal, yaitu Khafi ad-Dalalah. Oleh karena itu, dalam artikel kali ini akan diketengahkan kajian ulama dalam Khafi ad-Dalalah tersebut.
Khafi ad-Dalalah sendiri adalah lafal-lafal yang membutuhkan faktor eksternal untuk memahami maknanya, karena makna yang dimaksud tidak dapat dipastikan dengan hanya melihat redaksi yang digunakan semata, alias belum jelas. Hanya penting untuk diketahui bahwa kesamaran atau ketidakjelasan yang dimaksud bukanlah lafalnya tetapi petunjuk maknanya (dalalah).
Baca Juga: Mengenal Makna Wadih ad-Dalalah dan Khafi ad-Dalalah dalam Al-Qur’an
Bagian-Bagian Lafal Khafi ad-Dalalah
Sebagaimana dalam Wadih ad-Dalalah, standar pemetaan bagian-bagian dalam Khafi ad-Dalalah bergantung pada tingkat ketidakjelasan dan kemungkinan hilang atau tidaknya kesamaran. Semakin sulit dihilangkan semakin tinggi tingkat ketidakjelasannya. Secara hirarki lafal-lafal Khafi ad-Dalalah itu meliputi; Khafi, Musykil, Mujmal, dan Mutasyabih. (Syarh al-Waraqat Fi Ushul al-Fiqh, [3], hal. 15)
- Khafi adalah lafal yang menunjukkan suatu makna dengan jelas, hanya saja saat diterapkan pada sebagian dari kandungan maknanya, timbul ketidakjelasan, apakah lafal tersebut juga menunjuk pada makna itu ataukah tidak?.
Contoh, QS. Al-Maidah [5]: 38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.”
Sebagaimana yang umum diketahui bahwa bahasa Arab merupakan acuan dasar dalam memahami teks keagamaan, utamanya al-Quran. Sehingga untuk memahami kata as-Saariqu dan as-Saariqatu ayat di atas, mesti merujuk kepada makna yang digunakan dalam bahasa Arab itu sendiri. Dalam hal ini, yang disebut dengan sariq adalah seseorang yang mengambil harta orang lain secara diam-diam, dengan ketentuan barang yang dicuri mencapai kadar yang telah ditentukan dan dicuri dari tempat penyimpanan yang layak (hizr mistlihi).
Pada mulanya lafal Sariq dianggap lafal yang jelas (Wadih ad-Dalalah) saat dipahami sebatas makna di atas. Ketidakjelasan baru muncul saat lafal Sariq itu hendak diarahkan kepada jenis kejahatan lain yang mirip, seperti pencopet. Sementara kedua jenis kejahatan itu jelas tidak memenuhi kreteria sariq yang tersebut di atas. Pencopet misalnya, adalah penjahat yang mengandalkan kelincahan tangan mengambil harta orang lain di tempat-tempat keramaian, selain itu, harta yang diambil tidak diambil dari tempat penyimpanannya yang layak. (Wahab Khalaf, Ushul al-Fiqh, hal. 149) Maka muncullah keraguan, kata sariq itu sudah mencakup pencopet untuk diterapkan hukum potong tangan, ataukah tidak?
- Musykil adalah lafal yang tidak dimengerti maksudnya dengan semata melihat bentuk redaksi yang digunakan, karena lafal itu mengandung beberapa makna. Dalam kasus ini, untuk mengetahui makna yang dimaksudkan perlu indikator-indikator luar sebagai alat untuk memahami. Selain itu musykil juga dapat di akibatkan oleh pertentangan suatu lafal (teks) dengan lafal yang lain.
Hanya saja perlu digarisbawahi bahwa perbedaan antara Musykil dan Khafi terletak pada sumber ketidakjelasan. Dalam Khafi ketidakjelasannya akibat faktor luar, bukan dari lafalnya. Sementara Muskil sumber ketidakjelasannya adalah lafal itu sendiri. (Wahab Khalaf, Ushul al-Fiqh, hal. 150)
Contohnya, dalam Q.S. al-Baqarah (2) 228,
وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) selama tiga kali quru’”
Kata quru’ yang tertera pada ayat di atas, dalam percakapan penduduk Arab sama-sama digunakan untuk haid dan suci (musytarak). Sudah sangat jelas keduanya bertolak belakang. Ayat di atas mestinya hanya menunjuk salah satu dari dua makna itu, tidak mungkin memaksudkan keduanya secara bersamaan, dan dari itu timbullah ketidakjelasan, apa yang dimaksud dengan quru’ dalam ayat itu, haid ataukah suci?
Baca Juga: Kaidah Wadih ad-Dalalah, Contoh Pertentangan dan Cara Penyelesaiannya
- Mujmal adalah lafal yang tingkat ketidakjelasanya lebih tinggi dibanding Kalau musykil masih mungkin dipahami dengan bantuan indikator yang ada, sementara dalam Mujmal peluang untuk dipahami maksudnya bergantung pada penjelasan dari pembuat lafal itu, tidak cukup dengan bentuk redaksi dan indikator lafal yang ditemukan.
Kaitannya dengan Al-Quran, bila ditemukan suatu ayat yang mengandung lafal Mujmal, maka kandungannya tidak dapat diamalkan sebelum mendapat penjelasan langsung dari Nabi Muhammad saw. Pada umumnya yang menyebabkan suatu lafal menjadi Mujmal adalah pengalihan suatu lafal dari makna kebahasaanya menjadi sebuah istilah untuk makna lain. Misalkan kata as-Shalah yang terdapat pada QS. Al-Baqarah Ayat 43,
وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’”
Secara bahasa as-Shalah berarti berdoa. Semua bentuk doa dapat disebut as-Shalah berdasarkan makna literal tersebut, namun apakah itu yang dimaksudkan oleh ayat di atas? Inilah penyebab lafal as-Shalah masuk dalam kategori lafal Mujmal, belum jelas maknanya. Sementara lafal Mujmal tidak mungkin dapat dipahami kecuali mendapatkan penjelasan langsung dari pemilik lafal.
Untuk ayat di atas, untungnya dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw. melalui sabdanya “Salatlah kalian seperti kalian melihatku salat” sehingga lafal as-Shalah yang semula Mujmal menjadi lafal Mufassar, karena telah ditafsir dan dijelaskan maknanya.
- Mutasyabih adalah lafal yang tidak dapat dipahami maknanya dengan semata melihat bentuk redaksi yang digunakan, tiada indikator yang ditemukan, hanya pemilik lafal yang tahu apa maksudnya, dan lafal itu dibiarkan begitu saja tanpa dijelaskan makna dan maksudnya.
Ulama mengategorikan Mutasyabih menjadi dua macam; pertama, huruf-huruf yang berada di awal beberapa surah dalam al-Quran (al-ahruf al-muqatta’ah). Dan yang kedua, setiap ayat yang sekilas menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Contohnya, dalam QS. Al-Fath: 10
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka”
Dalam menyikapi lafal-lafal Mutasyabih seperti ini, para ulama terpecah menjadi dua kelompok; ulama Ahlu as-Sunnah memilih jalan aman dengan tidak menafsiri ayat-ayat Mutasyabih dalam bentuk apapun. Mereka memilih diam dan pasrah begitu saja, Allah a’lam bi muradih (hanya Allah yang mengethaui maksudnya). Sementara kelompok Mu’tazilah memilih melakukan penakwilan terhadap ayat-ayat Mutasyabih yang sekilas menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka menjadikan QS. Ali-Imran [3] ayat 7 sebagai dalil, dengan asumsi bahwa ulama yang telah mendalam ilmunya (ar-Rasikhuna fil ‘ilmi) juga dapat mengetahui ta’wil ayat-ayat Mutasyabih. (Wahbah az-Zuhaily, Usul Fiqh Al-Islamy, juz 1 hl. 331-332).
Walhasil, teori Khafi ad-Dalalah ini, mengingatkan kita agar berhati-berhati dan tidak gegabah memahami suatu lafal Al-Quran, karena tidak semua lafal tidak bisa langsung dipahami berdasarkan bunyinya saja, butuh banyak pertimbangan untuk memahaminya. Wallahu a’lam.