Mengenal lebih dekat Ilmu Tajwid dan Asal-Usulnya Menurut Para Ulama

Ilmu Tajwid
Ilmu Tajwid

Salah satu cabang keilmuan yang sangat penting dalam membaca al-Qur’an adalah ilmu Tajwid. Menurut al-Jazari, tajwid berarti membaca al-Qur’an dengan sempurna (sesuai kaidahnya), baik dari sisi makharijul huruf, shifatul huruf, dan hukum-hukumnya.

Makharijul huruf adalah kaidah tentang tempat keluarnya bacaan dari anggota tubuh manusia, misalnya huruf Qaf tempat keluarnya dari tenggorokan. Shifatul huruf adalah sifat yang selalu melekat pada setiap huruf, contohnya pada huruf Sin bersifat Hams (mengandung desasan). Sedangkan, hukum-hukum Tajwid terdiri dari berbagai macam, seperti panjang setiap bacaan (mad), ketebalan atau ketipisan bacaan huruf, contohnya dalam huruf ra’.

Kaidah-kaidah diatas, menurut al-Jazari bertujuan untuk membaca al-Qur’an sesuai tempatnya, tidak berlebihan dan tidak sesuai kehendak sendiri.

Jika mempelajari ilmu Tajwid, kurang pas rasanya tanpa menyinggung ilmu Qiraat, karena keduanya memiliki keterkaitan. Sehingga, penulis akan sedikit menyinggung perbedaannya supaya lebih fokus pembahasannya.

Ilmu Tajwid dan ilmu Qiraat sama-sama membahas tentang bacaan al-Qur’an, namun memiliki perbedaan substansial. Ilmu Qiraat membahas al-Qur’an dari segi (berbagai) ragam bacaannya dengan riwayat langsung dari Rasulullah dan bertujuan menjaga orisinalitas bacaan al-Qur’an.

Ragam bacaan al-Qur’an yang masyhur adalah Qira’at as-Sab’ah atau Qira’at tujuh. Salah satunya adalah Qiraat Imam ‘Ashim riwayat Hafs yang dipakai mayoritas umat muslim di Asia Tenggara.

Baca Juga: Qiraat dan Tajwid, Apakah Kita Perlu Belajar Semuanya?

Sedangkan, ilmu Tajwid membahas bacaan al-Qur’an dari segi kejelasan lafadz, tempat keluarnya huruf, dan bertujuan untuk menghindari kesalahan dalam membaca al-Qur’an (yang berbahasa Arab), khususnya bagi umat muslim non-Arab.

Belakangan ini, sudah terdapat berbagai macam metode dalam membaca al-Qur’an. Metode tersebut pada dasarnya berasal dari para imam Qiraat dengan sanad yang menyambung hingga Rasulullah SAW.

Sejarah dan Asal-Usul Ilmu Tajwid

Pada saat pertama kali al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, proses penyampaian al-Qur’an dilakukan secara langsung oleh Nabi Saw kepada para sahabat. Dalam proses tersebut, sekaligus terdapat transfer kaidah bacaan al-Qur’an (yang sekarang dikenal dengan ilmu Tajwid).

Namun, karena pada saat itu wilayah Islam baru berada di Jazirah Arab, dan penduduknya mafhum dengan bacaan al-Qur’an (yang berbahasa Arab), belum terdapat dorongan untuk membuat ilmu tentang kaidah membaca al-Qur’an. Sampai saat Islam tersebar ke daerah di luar Arab, diusulkan untuk menyusunnya supaya tidak terjadi kesalahan pembacaan al-Qur’an.

Menurut Abu Ya’la, sebagimana dikutip oleh Ahmad Hanifuddin dan Rustom Nawawi, sebagian ulama qurra berpendapat bahwa pertama kali dimulai penyusunan ilmu Tajwid oleh Abu Aswad ad-Duali, seorang tabiin yang membuat harakat dan tanda waqaf pada al-Qur’an.

Pendapat yang lain mengatakan Abu Muzahim Musa bin Ubaidillah al-Khaqani sebagai penyusun ilmu Tajwid pertama dengan karyanya, al-Qashidah al-Khaqaniyah. Pendapat ini dikuatkan oleh Abu amr ad-Dani yang juga menulis karya tentang ilmu Tajwid setelahnya, dengan judul Syarh Qashidah Abu Hazim al-Khaqaniyah dan at-Tahdid fi al-Itqan wa at-Tajwid.

Setelah al-Qashidah al-Khaqaniyah, muncul berbagai karya dari ulama Qiraat. Karya tersebut tentang ilmu Qiraat itu sendiri yang di dalamnya membahas tentang ilmu Tajwid, ataupun khusus membahas tentang ilmu Tajwid.

Beberapa karya yang masyhur di antaranya adalah Matn Al-Jazariyah dan Matn As-Syatibiyah. Kedua karya ini membahas tentang cara membaca al-Qur’an menurut Imam ‘Ashim Riwayat Hafs. Dari kedua karya ini juga muncullah berbagai karya tentang ilmu Tajwid dan metode membaca al-Qur’an di Indonesia yang kemudian dikenal dengan thariq (madzhab) As-Syatibiyyah dan thariq Al-Jazariyah.

Baca Juga: Inilah Keutamaan Membaca Al-Quran dengan Tartil

Mayoritasnya menggunakan Matan as-Syatibiyah karena kemudahan membacanya, walaupun Matn al-Jazariyah juga tetap digunakan. Perbedaan keduanya secara umum adalah pada panjang bacaaan mad, sifat huruf dan beberapa kalimat gharib dalam al-Qur’an.

Seperti pada Mad Wajib muttashil, thariq as-Syatibiyah dibaca 4 harakat baik ketika dibaca waqaf ataupun di washal. Sedangkan, thariq al-Jazariyah membacanya 4 atau 5 harakat ketika washal, dan 6 harakat saat dibaca waqaf. Dari kedua thoriq ini kemudian muncullah kitab-kitab Tajwid seperti Hidayatu as-Shibyan dan Tuhfatu al-Athfal. Wallahu A’lam.