BerandaUlumul QuranMengenal Macam-Macam Pembagian Munasabah Al-Quran

Mengenal Macam-Macam Pembagian Munasabah Al-Quran

Al-Suyuti dan al-Zarkashi membagi munasabah dalam beberapa segi jika di tinjau dari sifat munasabah atau keadaan persesuaian dan persambungannya. Dilihat dari segi sifat dan materinya maka munasabah ada dua sebagaimana pembahasan di bawah ini.

Munasabah Al-Quran Dilihat dari Sifatnya

Dari segi sifatnya munasabah dapat terbagi menjadi dua macam,

Pertama, Zahirul Irtibathi, persesuaian yang nyata atau persesuaian dan persambungan antar bagian Al-Quran dengan yang lain tampak jelas dan kuat karena kaitan antara ayat satu dengan ayat yang lain erat sekali hingga yang satu tidak bisa sempurna jika dipisahkan dengan ayat lain.

Menurut al-Zarkashi dalam Al-Burhan fi ulum al-Quran, Zahirul Irtibathi (hubungan yang jelas) meliputi bentuk-bentuk ta’kid, tafsir, i’tiradh, dan tashdid. Walaupun menurut al-Zarkashi hal ini tidak perlu dijelaskan dan diperbincangkan karena hubungan ayat yang jelas ini memiliki keterkaitan yang kuat, apabila yang satu dipisahkan dari ayat yang lain maka dia tidak akan sempurna, walaupun demikian ada juga sebagian ulama yang menjelaskan dan memberikan contoh pola tersebut, misalnya:

1) Munasabah ayat yang menggunakan pola ta’kid (penguat), apabila salah satu ayat memperkuat makna ayat yang di sampingnya; 2) Munasabah antar ayat yang menggunakan pola tafsir (penjelas). 3) Munasabah  antar ayat menggunakan pola I’tiradh (bantahan) apabila terdapat satu kalimat atau lebih yang tidak ada kedudukannya dalam I’rab (struktur kalimat), baik dipertengahan kalimat atau antar dua kalimat yang berhubungan dengan maknanya; 4) Munasabah antar ayat yang menggunakan pola tasydid (penegasan).

Kedua, Khafi Irtibathi, (persesuaian yang tidak jelas atau samarnya persesuaian antar ayat yang satu dengan ayat yang lain), yang lebih menitikberatkan hubungan ayat dari segi maknawi sebagaimana dijelaskan Shalahuddin Hamid dalam Studi Ulumul Quran, sehingga tidak nampak adanya hubungan antara keduanya bahkan seolah-olah masing-masing ayat itu berdiri sendiri.

Baca juga: Inilah Perbedaan Munasabah Dengan Asbabun Nuzul

Menurut beberapa ulama bahwasanya semua ayat bahkan kalimat-kalimat dalam Al-Quran mempunyai kaitan satu sama lainnya. Bentuk munasabah  pada hubungan yang tidak jelas ini terbagi menjadi dua kelompok, kelompok yang menggunakan huruf athaf dan kelompok yang tidak menggunakan huruf athaf. Kelompok yang menggunakan huruf athaf adalah kelompok yang memiliki hubungan satu sama lain, sedangkan yang tidak menggunakan huruf athaf adalah kelompok yang tidak memiliki hubungan langsung. Untuk mendeteksi ayat-ayat yang ma’thuf terdiri atas tiga macam, yaitu al-Mudadah, al-Istitradh dan al-Takhallus.

Untuk mengetahui adanya keterkaitan ayat yang ber-athaf atau tidak maka dapat diteliti melalui beberapa hal sebagai berikut: 1) Al-Mudadah (lawan kata) atau kebalikan, bertentangan antara satu kata dengan kata lain. Contoh seperti ini ada dalam Al-Quran sebagamana diterangkan Manna al-Qattan dalam Studi Ulumul Quran seperti munasabah  penyebutan rahmat setelah penyebutan adzab dan dalam Al-Quran setelah menyebutkan hukum-hukum maka disebutkan setelahnya janji dan juga ancaman, agar menjadi faktor pembangkit dalam amal perbuatan. 2) Al-Istitrad (pindah ke kata lain yang ada hubungan penjelasannya). 3) Al-Takhalus (beralih) ayat yang disajikan terpisah-pisah tidak tersambung.

Selain itu, munasabah ayat yang tidak ber-athaf menurut al-Suyuti dalam Al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran adalah hubungan antara ayat yang menunjukkan adanya ketersambungan pembicaraan yang berupa qarinah ma’nawiyah yang menunjukkan adanya ikatan. Ada beberapa sebab:

1) Al-Tandhir (pemadanan) maksudnya munasabah  ayat itu menyatukan dua hal yang sama tentang keberadaan orang-orang yang berakal. 2) Al-Mudadah (penyebutan lawan kata). 3) Al-Istitradh (penyebutan secara beruntun). 4) Al-Takhallus (perpindahan), perpindahan dari permulaan pembicaraan kepada maksud yang sebenarnya dengan mudah dan dengan kehalusan makna, sehingga seolah-olah pendengar itu tidak merasakan adanya perpindahan pembicaraan dari makna yang pertama. Tanpa disadari sudah berada pada makna yang kedua.

Munasabah Al-Quran Dilihat dari Materinya

Pertama, munasabah Antar Ayat meliputi 1) Munasabah fawatihur suwar wa khawatimuha, 2) Munasabah antara fawatihus suwar dengan kandungan surat. Munasabah dalam bentuk kedua iini adalah pembukaan Al-Quran dengan huruf muqatha’ah dan kekhususan dari setiap huruf terhadap surat yang dibuka dengannya. Bahkan huruf  الم itu tidak menempati kedudukan  الر dan tidak pula  حم dan tidak pula  طس begitu juga yang lainnya. 3) Munasabah antara ayat-ayat Al-Quran dalam satu surat Bentuk munasabah seperti ini adalah hubungan keterkaitan makna antara satu ayat dengan ayat yang datang sesudahnya atau sebelum ayat tersebut

Baca juga: Pro Kontra Munasabah Al-Quran dan Cara Menyikapinya

Kedua, Munasabah antar surat. Dapat terdiri dari munasabah antar surat yang saling berdekatan. Munasabah terjadi disebabkan oleh hubungan yang bersifat lafziyan maupun zahiran antara awal surat dengan akhir dari surat sebelumnya. Munasabah yang bersifat zahir bisa teradi dengan pengulangan lafaz yang semakna.

Sedangkan hubungan yang lain adalah yang bersifat maknawi atau hubungan silsilah dan hubungan dengan mengerjakan. a) Persesuaian antara pembukaan surat dengan penutupan surat sebelumnya; b) Persesuaian antara kandungan surat dengan surat sesudahnya. c) Persesuaian antara nama-nama surat dengan isi kandungannya.

Penafsiran satu ayat Al-Quran dengan ayat yang lain merupakan penafsiran koherensi (munasabah) dengan mengaitkan ayat yang ditafsirkan dengan ayat lain sebagai tafsirnya. Kait-hubungnya dapat berupa hubungan ayat yang umum dengan ayat yang khusus (‘amm-khash) dalam satu tema; hubungan menurut penalaran logika (‘aqli), hubungan menurut pencerapan inderawi (hissi), hubungan berdasarkan kontemplasi (khayyali).

Atau juga munasabah dalam kerangka hubungan laten internal (al-talazum al-dhihni), seperti sebab dan akibatnya (illah-ma’lul/sabab-musabbab); pembandingan (tandhir) dan hubungan berlawanan (madladdah). Atau kerangka hubungan laten eksternal (al-talazum al-khariji) semisal hubungan dalam kerangka urut-urutan ayat atau surat.

Quraish Shihab Ikut Membagi Munasabah Al-Quran

Adpaun pembagian munasabah yang lain sebagaimana diungkapkan Quraish Shihab dalam Kaidah Tafsir-nya, ada dua macam. pertama, hubungan kedekatan antara suatu ayat atau kumpulan ayat dengan yang lainnya. Cakupannya meliputi: 1) Keterkaitan antar kata dalam satu ayat, 2) Keterkaitan suatu ayat dengan ayat sesudahnya, 3) Keterkaitan kandungan suatu ayat dengan penutupnya (fasilah), 4) Keterkaitan suatu surat dengan surat berikutnya, 5) Keterkaitan nama surat dengan tema surat, 6) Hubungan uraian akhir surat dengan uraian awal surat berikutnya.

Kedua, hubungan pengertian satu ayat dengan ayat yang lain, misal pengkhususan, penetapan syarat terhadap ayat lain yang tidak menyebutkan syarat seperti Q.S al-Maidah 5: 3 (hurrimat ‘alaykum al-maytah wa ’d-dam wa lahm alkhinzīr…) tentang darah (al-dam) secara umum yang diharamkan untuk dijadikan makanan namun pada QS. al-An’am 6:145 yang diharamkan adalah darah yang mengalir (dam masfuḥ). Keterkaitan fungsional keduanya tampak jelas karena temanya sama. Karena itu beralasan bila menurut Quraish Shihab banyak ulama memberikan batasan kerja munāsabah hanya pada bentuk pertama di atas.

Praktek munasabah sendiri tidak dilakukan terhadap seluruh ayat. Keterkaitan antar ayat dapat dilakukan berdasarkan “temuan” yang tidak dapat dipaksakan. Berdasarkan pemaparan Quraish Shihab, setidaknya ada empat kondisi ayat yang tidak perlu dicari munasabah-nya:

  1. Suatu ayat yang disusul oleh ayat pengecualian, tidak perlu dicari munasabah. Misal QS. al-’Ashr 103: 2-3.
  2. Juga, ayat yang kandungannya menguatkan (ta’kid) kandungan ayat sebelumnya seperti QS. al-Qiyamah [75]: 32 yang menguatkan ayat 31. Dalam keterangan al-Suyuti dijelaskan juga termasuk ayat kedua yang menjelaskan (tafsir), membelokkan (i’tiraḍ), dan mengganti (badal) terhadap ayat yang pertama, maka tidak perlu dibahas keterkaitannya karena sudah terang.
  3. Penggalan ayat berupa jumlah mu’tariḍah yang berfungsi istiṭrad (sisipan) seperti pada penggalan wa lan taf’alu dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 24 yang berada di dalam ayat tentang himbauan Al-Quran terhadap penantang-penantangnya.
  4. Suatu ayat atau kumpulan ayat mu’taridhah yang berfungsi istitrad (sisipan) seperti pada Q.S. al-Qiyamah [75]: 16-19 (la tuharrik bihi lisanaka lita’jala bih...) yang muncul di tengah-tengah ayat tentang hari kiamat.

Ayat-ayat dengan jenis di atas tidak perlu dicarikan munāsabahnya karena keterkaitannya dinilai sudah jelas. Munasabah dibutuhkan untuk memahami penggalan ayat, suatu ayat, atau kumpulan ayat yang belum jelas posisi sintakmatik-paradigmatiknya. Demikianlah pembagian munasabah Al-Quran oleh beberapa ulama baik ulama salaf (terdahulu) maupun khalaf (kontemporer). Wallahu A’lam.

Miatul Qudsia
Miatul Qudsia
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS (Center for Research and Islamic Studies) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU