BerandaUlumul QuranMengenal Makna Wadih ad-Dalalah dan Khafi ad-Dalalah dalam Al-Qur'an

Mengenal Makna Wadih ad-Dalalah dan Khafi ad-Dalalah dalam Al-Qur’an

Dalam pengantarnya, Syekh Abdul Wahab Khalaf mengatakan “Bunyi teks Al-Quran dan as-Sunnah adalah berbahasa Arab. Karena itu pemahaman hukum yang digali dari keduanya baru dianggap benar bila prosesnya mengikuti struktur dan tata bahasa Arab dengan baik dan benar.” Itu artinya tangga selanjutnya yang harus dinaiki seorang yang ingin mengakaji teks-teks keagamaan setelah keinginan keras, adalah mendalami struktur dan kesusastraan Arab. Karena memang suatu undang-undang hukum yang dibuat dalam sebuah bahasa, hanya dapat dipahami dengan kaidah-kaidah bahasa yang itu sendiri. Dengan begitu, tulisan ini akan mengulas terkait makna yang menyangkut kejelasan dan kesamarannya dalam lafal bahasa Arab yaitu makna wadih ad-dalalah dan khafi ad-dalalah.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Asal Usul Istilah Tayamum dan Pengertiannya Menurut Para Ulama

Pembagian-Pembagian Lafal

Di antara pokok kajian ulama dalam kesusastraan Arab adalah membincang lafal-lafal yang meliputi berbagai aspek-aspeknya. Secara umum lafal-lafal dapat dilihat dari empat aspek yang sama-sama memiliki kajian khusus. Pertama, aspek pembuatan lafal. Kedua, penggunaannya dalam makna. Ketiga, penunjukan lafal itu untuk suatu makna menyangkut kejelasan dan kesamarannya. Dan terakhir, cara penunjukannya kepada makna.

Namun dalam tulisan ini, penulis akan memulainya dari aspek yang ke tiga, yaitu penunjukan lafal untuk makna menyangkut kejelasan dan kesamarannya.

Baca juga Tetap Istiqamah di Era Disrupsi, Ini Tips dan Ganjarannya dalam Al-Qur’an

Wadih ad-Dalalah dan Khafi ad-Dalalah

Suatu lafal atau kalimat pada nyatanya ada yang mudah dipahami dan ada pula yang sulit. Keduanya populer dengan istilah Wadih ad-Dalalah (jelas) dan Khafi ad-Dalalah (samar). Dan masing-masing kategori terdiri dari empat bagian.

Wadih ad-Dalalah sendiri adalah lafal-lafal yang dapat dengan mudah dipahami makna dan maksudnya, tanpa membutuhkan faktor eksternal selain dari redaksinya itu sendiri. Hanya saja diantara lafal-lafal dalam kategori ini ada yang masih berpeluang di ta’wil serta di nasakh dan ada yang tidak berpeluang sama sekali sesuai tingkat kejelasan yang ditunjukkannya. Kaidahnya, semakin jelas makna yang ditunjukkan maka semakin kecil peluang di ta’wil dan di naskh. Secara hirarki pembagian Wadih ad-Dalalah adalah; Zhohir, Nash, Mufassar, dan Muhkam.

Zhohir adalah lafal atau rangkaian kalimat yang dapat dipahami maknanya semata-mata memahami bentuk redaksinya. Hanya saja ia bukan makna asli yang dimaksudkan sejak awal. Selain itu ia juga dapat di ta’wil dan di nasakh. Contohnya, Q.S. al-Baqarah [2] 275.

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

Makna Zhohir ayat ini adalah penghalalan akad jual beli dan pengharaman akad riba. Menurut teori di atas, makna ini bukanlah makna asli ayat itu. Sementara makna aslinya adalah bantahan Allah kepada kaum musyrik yang mengatakan riba itu sama dengan jual beli dengan menegaskan bahwa jual beli itu halal dan riba itu haram yang dipahami dari runtutan potongan ayat sebelumnya.

Baca juga: Tetap Istiqamah di Era Disrupsi, Ini Tips dan Ganjarannya dalam Al-Qur’an

Nash adalah lafal yang juga mudah dipahami maknanya semata melihat bentuk redaksi. Dan juga berpeluang untuk di ta’wil dan di naskh. Hanya saja ia berbeda dengan lafal Zhohir, dari segi bahwa makna Nash adalah makna asli, sementara Zhohir merupakan makna sisipan atau makna kedua. Contohnya juga tidak jauh berbeda dengan Zhohir. Untuk ayat di atas, makna Nash-nya adalah “pembedaan antara akad riba dengan akad jual beli”. Bukan “penghalalan jual beli dan pengharaman riba”.

Mufassar adalah lafal yang dapat dipahami maknanya semata-mata melihat bentuk redaksi. Karna jelasnya makna yang ditunjukkan sehingga ia tidak berpeluang untuk di ta’wil, namun masih bisa di naskh. Biasanya Mufassar ini muncul sebab sebelumnya dia masuk kategori lafal Mujmal (tidak jelas maksudnya). Kemudian dijelaskan oleh lafal lain sehingga ia menjadi lafal yang Mufassar. Contohnya, Q.S. al-Baqarah [2] 43.

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرَّاكِعِيْنَ

“Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk”

Lafal as-Shalah pada ayat di atas sebelum dijelaskan oleh Nabi saw. adalah lafal Mujmal, namun setelah Nabi bersabda “salatlah kalian sebagaimana kalian melihat saya salat” maka kata as-Shalah di atas menjadi lafal Mufassar. Karena telah ditafsiri atau dijelaskan oleh hadis Nabi ini.

Muhkam adalah lafal yang menunjuk pada suatu makna yang tidak mungkin dihapus, diganti, apalagi dipalingkan kepada makna lain, karena kejelasan dan kepatenan makna yang dikandung sebagai dasar-dasar agama atau pokok-pokok akhlak mulia. Seperti soal ketauhidan dan keimanan dsb. Contohnya, Q.S. al-Ikhlas [112] 1.

قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ

 “Katakanlah (Muhammad) Dialah Allah, Yang Maha Esa.”   

Ayat ini dan ayat yang serupa adalah contoh lafal Muhkam, karena makna yang dikandung telah paten dan kokoh menjadi dasar agama, sehingga tidak mungkin terjadi pemalingan, penggantian, dan pengahapusan makna yang ditujukkan oleh ayat itu. (Wahab Khalaf 142-148. Al-Wajiz 175-180). Wallahu a’alam[]

  1. Wadih dalalah
M. Yoeki Hendra
M. Yoeki Hendra
Mahasantri Ma'had 'Aly Situbondo, gemar membaca kitab-kitab turats
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...