BerandaTokoh TafsirMengenal Mufasir Sufi; Husamuddin al-Bidlisi

Mengenal Mufasir Sufi; Husamuddin al-Bidlisi

Abu Idris Maulana Husamuddin ‘Ali al-Bidlisi adalah penulis tafsir sufi Jami’ al-Tanzil wa al-Ta’wil. Ulama asal Bitlis (kini masuk wilayah Turki) ini tidak diketahui secara pasti kapan dia lahir. Berdasarkan catatan dalam mukadimah tafsirnya tentang wafatnya Sultan Ya’qub Bek penguasa dinasti Aq Qoyunlu pada 896H/1490M, “Ketika itu saya berusia lebih 80 tahun,” para peneliti memperkirakan dia lahir antara 805-810H. Al-Bidlisi bermazhab Syafi’i dan pengikut tarekat Nurbakhsyiah, ordo sufi yang dinisbatkan kepada Sayyid Muhammad Nurbakhsi. Dia memiliki putra yang kelak menjadi salah satu ilmuwan termasyhur Utsmaniyah, Idris al-Bidlisi. Dia wafat pada 13 Syakban 909H/31 Januari 1504M.

Riwayat Keilmuan

Tak banyak catatan tentang pendidikan al-Bidlisi. Sedikitnya yang dapat direkam sejarah dia pernah berguru kepada ulama-ulama sufi, yaitu Maulana Jami al-Bidlisi (w. 898H), Junaid ibn Ibrahim al-Ardabili, Tajuddin al-Husaini, dan Syihabuddin al-Gurani. Dia lalu menetapi tarekat Sayyid Muhammad Nurbakhsyi (w. 869), yang kemudian dia diangkat menjadi salah satu khalifahnya. Di samping itu, dia juga belajar ilmu astronomi, arsitektur, dan matematika kepada Qasim al-Nurbakhsyi, putra Sayyid Nurbakhsyi.

Baca Juga: Mengenal Tokoh ‘Keajaiban Zaman’ dari Turki, ‘Badiuzzaman’ Said Nursi

Selain Jami’ al-Tanzil wa al-Ta’wil, al-Bidlisi menghasilkan beberapa karya yang umumnya bernuansa sufistik, di antaranya Syarh Isthilahat al-Shufiyah li al-Qasyani, al-Kanz al-Khafiy fi Bayani Maqamat al-Shufiy, dan Syarh Khuthbat al-Bayan. Beberapa karya yang lain ditulis dalam bahasa Persia salah satunya komentar atas Golshani Raz, nazam istilah tasawuf karya Najmuddin al-Tabrizi.

Dari karya-karyanya itu, Husamuddin al-Bidlisi dikenal sebagai ulama tasawuf dan tafsir, di samping diakui pengetahuan luasnya atas filsafat, bahasa, kedokteran, dan psikologi. Dia pernah diboyong ke Tabriz ketika Sultan Ozun Hazan, pendiri Aq Qoyunlu, pindah ke kota itu pada 876H. Dia diberi peran sebagai penerjemah dan ilmuwan istana sampai era Ya’qub Bek. Setelah Ya’qub Bek wafat, al-Bidlisi merasa kondisi istana sudah tidak kondusif. Dia lantas melepaskan perannya itu dan bermaksud hijrah ke wilayah yang lebih aman. (‘Iqd al-Juman fi Tarajim al-‘Ulama’ wa al-Udaba’ al-Kurd wa al-Mansubina ila Mudun wa Qura Kurdistan, 2/1514)

Menulis Tafsir Alquran

Menggali isyarat makna dalam kandungan ayat-ayat Alquran merupakan kegandrungan yang sejak lama dinikmati oleh Husamuddin al-Bidlisi. Dia mengungkapkan, “Sejak masa kecil hingga dewasa ini, saya selalu menyibukkan diri membaca Alquran, menelisik rahasia-rahasia batinnya, berharap tenggelam dalam pusaran cahaya makna ayat demi ayatnya, merengkuh kemuliaan dengan menelusuri sendi-sendi keterangannya dan perbendaharaan isyaratnya.”

Baca Juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (2): Sejarah dan Periodisasi Perkembangan Tafsir Sufistik

Dari sinilah dorongan untuk menulis karya tafsir sufi berasal. Dengan telaten al-Bidlisi memulai usaha tersebut, hingga kemudian kondisi sosial-politik yang tidak stabil serta maraknya konflik dan peperangan antar sesama muslim mengganggunya lalu memaksa dirinya untuk meninggalkan Tabriz. Dia mencatat, “Dengan tegas saya mengupayakan untuk keluar dan pindah ke negeri yang lebih baik yaitu Mekah—lalladzi bi Bakkata mubarakan wa hudan lil’alamin [QS.3:96]—menuju Baitullah. Saya berniat merampungkan kitab Jami’ ini (karya tafsirnya) di tempat yang mulia itu.” Namun, cita-citanya itu tak terwujud sebab usianya telah renta. Dia kembali ke Bitlis, kampung masa kecilnya, dan wafat di sana. Sebagian riwayat bahkan mengatakan dia wafat di Tabriz.

Jami’ al-Tanzil wa al-Ta’wil

Karya ini terdiri dari lima jilid. Sebagian penerbit menyetaknya menjadi empat jilid. Sebagaimana lumrahnya kitab tafsir Alquran, al-Bidlisi memuat tafsir bi al-ma’tsur berdasarkan riwayat hadis, pendapat sahabat dan tabiin. Demikian pula dia merujuk kepada karya para mufasir sebelumnya, meliputi tafsir al-Baghawi, al-Zamakhsyari, al-Baidhawi, al-Razi, Ruzfahan al-Baqli, dan Syamsuddin al-Zawali. Dua yang disebut terakhir merupakan tafsir sufi. Aspek asbabun nuzul dan kebahasaan juga mendapat perhatian. Di samping semua itu, dia melakukan takwil ayat berdasarkan pengalaman serta pemahaman sufistiknya dan hasil perenungannya atas isyarat makna Alquran.

Al-Bidlisi memulai penyajian tafsirnya sebagaimana struktur yang biasa dipakai dalam kitab tafsir, yakni menyebut nama surat, klasifikasi makkiyah-madaniyah, jumlah ayat, latar historis, dan lain sebagainya. Hanya satu yang tampak mencolok sekiranya tidak umum dilakukan para mufasir yang lain, dia mencantumkan lafal basmalah di setiap surat serta menafsirkannya disesuaikan dengan kandungan isi tiap surat.

Baca Juga: Dimensi Sufistik di Balik Ayat tentang Nasikh Mansukh

Nuansa tasawuf sangat melekat dalam karya ini, sehingga para pembaca yang tidak akrab dengan istilah tasawuf sangat mungkin akan menemui kesulitan di beberapa tempat. Meskipun, al-Bidlisi tidak lupa untuk memaparkan makna lahir sebuah ayat, namun tak jarang ketika melangkah kepada makna batinnya, dia memberikan pemaparan yang teramat mendalam dengan bahasa-bahasa ala kaum sufi yang tidak langsung mudah dipahami, lebih-lebih pada pembahasan yang bersinggungan dengan tasawuf falsafi. Bahkan, dalam tafsir ayat yang jelas-jelas secara lahiriyah berbicara seputar harta rampasan perang (ghanimah) misalnya, dia menghubungkannya dengan makna sufistik tentang asal-muasal penciptaan jagat raya, kefanaan alam dunia, dan manifestasi kehendak Tuhan dalam seluruh komponen semesta. (Husamuddin ‘Ali al-Bidlisi wa Manhajuhu fi Tafsirihi, 117-146)

Namun begitu, karya ini juga cukup banyak memuat penjelasan hukum fikih, termasuk perbedaan pendapat antar imam mazhab. Begitu pula diskursus ilmu kalam atau akidah, di dalamnya banyak dipengaruhi retorika al-Zamakhsyari dan al-Razi. Al-Bidlisi sedari awal mengupayakan penjelasan yang memadai pada tiga pokok agama, yakni iman, Islam, dan ihsan. Nama lain dari karya ini yaitu Tafsir al-Bidlisi Tafsirun Isyariyyun Shufiyyun Syarihun li Maqamat al-Din al-Tsalats: al-Islam wa al-Iman wa al-Ihsan.

Alfan Shidqon
Alfan Shidqon
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Minat pada kajian tafsir tematik, tafsir esoteris, dan living Quran.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...