BerandaTokoh TafsirMengenal Muhammad Arkoun serta Pemahamannya tentang Al-Quran

Mengenal Muhammad Arkoun serta Pemahamannya tentang Al-Quran

Muhammad Arkoun lahir pada tanggal 1 februari 1928 di Taourirt-Mimoun, Kabilia Al-Jazair, sebuah pegunungan berpenduduk Barber (sebutan untuk penduduk yang tesebar di Afrika bagian Utara) yang menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian, peternakan dan perdagangan kerajinan tangan. Adapun bahasa yang dipakai oleh penduduk Barber adalah bahasa non-Arab (‘ajamiyah).

Muhammad Arkoun dilahirkan dari keluarga yang merupakan tokoh masyarakat di daerahnya dan masih menggunakan bahasa asli Kabilia. Walaupun demikian sebagai putra Kabilia, Arkoun mempunyai pemahaman yang sangat baik tentang bahasa tak tertulis Kabilia dan bahasa Arab yang merupakan bahasa keagamaan tertulis. Selain itu, dalam menulis gagasannya ia seringkali menggunakan bahasa Prancis.

Kabilia adalah tempat pertama pendidikan formal dari tingkat dasarnya dimulai. Selanjutnya, ia pergi ke kota Pelabuhan Oran untuk menempuh pendidikan tingkat menengahnya. Setelah lulus dari pendidikan menengahnya, ia memilih University of Algiers untuk melanjutkan studi Sarjananya dengan mengambil konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab sampai tahun 1954.

Sorbonne University Prancis adalah tempat selanjutnya yang dipilih oleh Arkoun untuk menempuh program Pascasarjana dengan konsentrasi yang sama. Dikarenakan merasa betah di Prancis, kemudian ia memutuskan untuk melanjutkan program Doktoralnya. Tepat pada tahun 1969, Arkoun telah resmi menyandang gelar Doktor dalam bidang Sastra dengan desertasinya yang berjudul “L’Humanisme Arabe au IVe/ Xe Sience: Miskawayh Philosope et Historian” (Humanisme dalam Pemikiran Etika Miskawayh seorang pemikir Arab abad X Masehi yang menekuni bidang kedokteran dan filsafat).

Baca juga: Mengenal Toshihiko Izutsu, Poliglot Asal Jepang, Pengkaji Semantik Al-Quran

Sejak tahun 1961-1969, Arkoun sudah dipercaya untuk menjadi dosen pada Universitas tempat ia belajar. Pada tahun 1970-1972, Arkoun mengajar di Universitas Lyon, sebelum kemudian kembali ke Paris karena diberikan kepercayaan sebagai guru besar sejarah pemikiran islam di Universitas Sarbonne Prancis. Pada tahun 1972-1977

Arkoun menjadi guru bahasa Arab dan peradaban Islam di Universitas Paris VIII. Tidak hanya itu, Arkoun juga sering diundang dan menjadi dosen tamu pada sejumlah Universitas di luar Perancis, seperti University of California di Los Angeles, Princeton University, dan Temple University di Philadelphia.

Muhammad Arkoun adalah seorang ilmuan yang terkenal sangat produktif dalam menghasilkan karya sejak tahun 1970an, diantara karya-karyanya yang penting diketahui adalah Al Fikr Al Islami; Naqd Wa Ijtihad diterbitkan di Beirut, Al Fikr Al Islami; Qira’ah ‘Ilmiyyah diterbitkan di Beirut, Rethinking Islam Today diterbitkan di Washington, Pour Une Critique De La Islamique diterbitkan di Paris, L’ Islam Religion At Societe diterbitkan di Paris, dan Essais Sur La Pensee Islamique diterbitkan di Paris.

Pemahaman Muhammad Arkoun tentang Al-Quran

Sebelum mengkaji lebih jauh tentang pola pemahaman Arkoun terhadap Al-Quran, kiranya perlu diketahui terlebih dahulu bahwa menurut Arkoun sebagaimana dikutip oleh Ahmad Munir dalam Kritik Nalar Islam, Al-Quran adalah wahyu yang berfungsi sebagai amanat yang sangat kaya dan luas sehingga dapat diberikan makna konkret dalam setiap keadaan berbeda yang dilalui umat manusia. Dalam hal ini, Arkoun membedakan tiga tingkatan tentang wahyu sebagaimana berikut:

Tingkatan pertama, wahyu sebagai firman Allah Swt yang transenden, tidak terbatas, serta tidak diketahui oleh manusia. Untuk menunjukkan realitas wahyu semacam ini Arkoun sering menyebutnya dengan anggitan al-Lauh al-Mahfudh atau Umm al Kitab.

Tingkat kedua, menunjukkan penampakan wahyu dalam sejarah. Berkenaan dengan Qur’an, anggitan ini menunjukkan pada realitas firman Allah Swt sebagaimana diwahyukan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad Saw selama kurang lebih dua puluh tahun.

Baca juga: Massimo Campanini; Pengkaji Al-Quran Kontemporer dari Italia

Tingkat ketiga, menunjuk wahyu sebagaimana sudah tertulis dalam mushaf dengan huruf dan berbagai macam tanda yang ada di dalamnya. Berkenaan dengan Al-Quran, anggitan ini sering disebut oleh Arkoun sebagai Kanon Resmi Tertutup (Official Closed Canons) atau mushaf utsmani yang dipakai orang muslim sampai saat ini.

Selanjutnya, Muhammad Arkoun menelaah secara kritis terhadap pola pembacaan para mufassir sebelumnya hingga akhirnya ia menemukan pemahaman yang terbentuk oleh kebiasaannya yaitu selalu melakukan dialog dan interaksi dengan komunitas lain yang menunjukkan realitas hakiki sebuah dinamika pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang pendidikannya yaitu linguistik khususnya semiotika dan filsafat bahasa.

Analisis semiotika dalam pandangan Muhammad Arkoun membuat para peneliti mendekati suatu teks tanpa interpretasi tertentu sebelumnya. Walaupun demikian, fungsi analisis semiotik masih terbilang sangat terbatas. Arkoun memberikan argumen bahwa sampai dengan hari ini, semiotika masih mengabaikan sifat khusus dari teks-teks keagamaan dan para ahli semiotika.

Baca juga: Dr. Laleh Bakhtiar, Muslimah Amerika Perintis Psikologi Al-Quran Telah Berpulang

Oleh karena itu, Moh.Fauzan dan Muhammad Alfan dalam Dialog Pemikiran Timur Barat menyebutkan bahwa Muhammad Arkoun menawarkan dua tahapan dalam semiotika sebagaimana berikut:

Tahapan linguistik kritis

Pada tahapan yang pertama ini, Arkoun menggunakan sejumlah unsur linguistik yang biasa disebutnya dengan istilah modalisateur du discours (memeriksa tanda-tanda bahasa), yaitu determinan (Isim ma’rifat), kata ganti orang (dhomir), kata kerja (fi’il), kata benda (isim dan musamma), struktur sintaksis, struktur persajakan.  Pemeriksaan terhadap unsur-unsur tersebut bertujuan untuk menganalisis aktan-aktan yaitu pelaku yang melakukan tindakan yang berada dalam sebuah teks atau narasi. Menurutnya, semakin kita menegaskan modalisateur du discour maka kita semakin memahami maksud dari penuturnya.

Tahapan hubungan kritis

Pada tahapan yang kedua ini, Arkoun mengarahkannya pada petanda terakhir, tapi bukan berarti bertujuan untuk menapak tilas lewat peran-peran yang ada dalam teks. Adapun jalan yang dapat ditempuh untuk menemukan petanda terakhir adalah dengan  melalui eksplorasi historis yang bertujuan untuk membaca kembali salah satu khazanah tafsir klasik serta mencari petanda terakhir di dalamnya dan eksplorasi antropologis yang bertujuan untuk mencari petanda terakhir dengan teori-teori tentang mitos yang memperlihatkan bagaimana bahasa dipakai dalam berbagai jenis simbol.

Wallahu a’lam[]

Azkiya Khikmatiar
Azkiya Khikmatiar
Alumni Prodi Aqidah dan Filsafat Islam, Konsentrasi Studi Al-Quran dan Hadis
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU