BerandaUlumul QuranMengenal Prinsip-Prinsip Interpretasi ala Abdullah Saeed

Mengenal Prinsip-Prinsip Interpretasi ala Abdullah Saeed

Sebenarnya gagasan penafsiran kontekstual ala Abdullah Saeed bukanlah hal yang baru dalam dunia penafsiran Al-Quran. Jauh sebelum itu, di era awal Islam, sahabat Umar bin Khattab telah melakukan penafsiran kontekstual, misalnya, keputusannya untuk tidak menerapkan hukuman potong tangan bagi si pencuri, tidak membagikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada pasukannya pasca perang penaklukan Irak, dan sebagainya.

Keputusan kontroversial Umar menuai kecaman dari berbagai pihak. Dan hal-hal semacam ini banyak sekali terjadi di era sahabat bahkan di hadapan Nabi saw sekalipun. Umar memang banyak melakukan kontekstualisasi yang acap kali kontroversial, namun ia memiliki alasan kuat dibalik semua itu.

Dalam konteks inilah, Abdullah Saeed mencoba mengelaborasikan kembali gagasan itu agar penafsiran Al-Quran dapat dilakukan secara kontekstual guna menjawab problem kemanusiaan di era kekinian yang semakin kompleks.

Beberapa Prinsip Interpretasi

Abdullah Saeed dalam Intepreting the Quran: Towards A Contemporary Approach mengemukakan beberapa prinsip dalam melakukan sebuah interpretasi kontekstual, di antaranya.

Pertama, kompleksitas makna teks. Menurut Saeed, suatu teks – baik bahasa Arab maupun bahasa lain – masing-masing memiliki komplekstiasnya sehingga tidak dapat digeneralisir dalam memahaminya. Lebih dari itu, untuk menangkap esensi makna teks tersebut, maka seseorang harus menyesuaikan dengan entitas mental penerima pesan (wahyu) serta perkembangan linguistik maupun sosio-historisnya.

Kedua, keseimbangan objektivitas-subjektivitas dalam memberikan batasan teks. Inilah yang membedakan Saeed dengan Rahman. Meskipun pada bagian tertentu ia mendasarkan argumentasi dasarnya kepada Rahman, namun Saeed tidak taklid buta, termasuk dalam hal ini.

Baca juga: Pengkaji Al-Quran Kontemporer: Abdullah Saeed, Pencetus Hermeneutika Kontekstual Al-Quran

Saeed tidak menolak subjektivitas secara total dan tidak pula mementahkan ojektivitas dalam menafsirkan, melainkan bagaimanapun dalam penafsiran tentu memiliki “aturan main” yang melahirkan batasan-batasan dalam menentukan sebuah makna. Dalam konteks ini, penafsir tidak boleh meluapkan syahwat birahinya (emosinya, mazhabnya, kepentingannya, dst) sesukanya dalam melakukan kerja penafsiran.

Ketiga, ayat yang berkaitan ethico-legal sebagai diskursus. Menurut Saeed, kelompok tekstualis dan mufasir klaisk hanya “memperlakukan” AL-Quran sebagai kajian semantik. Hal ini bisa dilihat dalam kitab tafsir klasik yang sebagian besar berfokus pada pemaknaan antara kata atau gramatikal teks. Padahal, lebih dari itu. Al-Quran diturunkan sebagai sebuah fenomena yang hidup, di mana ia diresepsi, diresitasi maupun sebagai diskursus akademik. Pandangan ini juga disetujui oleh pendahulunya yaitu Farid Esack dalam Quran, Liberation, and Pluralism dan Nasr Hamid Abu Zaid dalam Tekstualitas Al-Quran: Kritik Terhadap Ulum Al-Quran.

Keempat, melacak makna literal teks sebagai langkah awal penafsiran. Saeed merasa hal ini adalah sangat penting guna mengetahui asal-usul dan bentuk aplikatif dari teks tersebut di era masyarakat awal Islam (masa kewahyuan). Sebab dari hal ini nanti akan memberikan jalan keluar sekaligus mengeliminir agar sang penafsiran tidak berpikir liar atau imajinatif-liberatif.

Kelima, pemahaman terhadap konteks sosio-historis. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, Al-Quran tidak turun dalam ruang hampa, namun ia diwahyukan dalam suatu masa dan peradaban masyarakat Arab kala itu. Sehingga mau tidak mau jika hendak memahaminya maka dibutuhkan upaya untuk memahami konteks sosio-historis Arab kala itu juga.

Kendati demikian, menelusuri hanya pada asbabun nuzul tidaklah cukup, perlu lebih dari itu, yaitu mengetahui sirah Nabi Muhammad saw secara mendetail baik di Makkah maupun Madinah, spritualitas di Arab, kondisi sosial-budaya, ekonomi, politik dan seterusnya.

Keenam, hirarki nilai dalam teks ethico-legal. Harus kita akui Rahman telah lebih dulu mempertanyakan tentang hirarki ayat ethico-legal, namun ia sendiri tidak mengidentifikasinya terlalu dalam. Nah, formulasi hirarki nilai yang digagas Abdullah Saeed ini merupakan sumbangsih besar Saeed terhadap double movement-nya Rahman. Ia melengkapi celah kekurangan dari pendahulunya. Berikut identifikasinya,

Hirarki Nilai dalam Ayat Ethico-Legal

Pertama, Obligatory values (nilai-nilai yang bersifat wajib). Nilai-nilai ini berkaitan dengan ayat-ayat yang bersifat kewajiban (tidak dapat diotak-atik). Misalnya, ayat keimanan, peribadatan, halal-haram. Ayat-ayat ini terulang beberapa kali dan tidak akan berubah di manapun dan kapanpun (bersifat universal).

Baca juga: Inilah Lima Latar Belakang Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed

Kedua, Fundamental values (nilai-nilai fundamental). Saeed juga mengidentifikasi bahwa ayat yang diulang beberapa kali menunjukkan bahwa ia merupakan bagian ajaran fundamental. Seperti, ayat-ayat yang berbicara tentang keadilan, kemanusiaan, dan semacamnya. Atau dalam terminologi al-Syathibi disebut dengan maqasidus syariah (hifdz al-din, hifdz al-nafs, hifdz al-‘aql, hifdz al-nasl, hifdz al-mal). Atau dalam kajian Rahman, nilai ini disebutnya sebagai prinsip umum (universal principle).

Ketiga, protectional values (nilai-nilai proteksional). Nilai ini merupakan derivasi dari nilai fundamental. Fungsinya tidak lain tidak bukan adalah menjaga eksistensi nilai fundamental. Misalnya, nilai fundamental seperti dalam maqasdi, ambil contoh menjaga harta, maka nilai proteksinya adalah dilarang mencuri. Lalu menjaga keturunan, nilai proteksinya adalah dilarang berzina, dan seterusnya.

Keempat, Implementational values (nilai-nilai implementasional). Nilai ini befungsi untuk menegakkan nilai proteksional. Seperti larangan mencuri, maka ia akan diberlakukan hukuman tertentu, potong tangan atau penjara misalnya. Akan tetapi, Saeed berpendapat bagwa nilai-nilai implementasional ini tidak berlaku secra unievrsal, sebab ada banyak hal yang perlu diperhatikan misalnya, ‘illat hukum yang berbeda, setting sosial, realitas sejarah, dan sebagainya. Yang menyebabkan suatu kondisi di mana hukum juga mengandugn pengecualiann (istisna’) dari hukum awal karena alasan-alasan atau sebab tertentu.

Kelima, Instructional values (nilai-nilai instruksional). Nilai ini berkaitan tentang persoalan yang berlaku khusus pada masa pewahyuan. Bisa berupa larangan atau perintah. Karena nilai-nilai ini berkaitan dengan kondisi pewahyuan, maka belum tentu sifatnya universal.

Saeed menyebutkan bahwa sebagian besar nilai dalam Alquran adalah instruksional itu sendiri. Ayat-ayat semacam ini sangatlah banyak dalam Al-Quran. Bahkan, saking banyaknya nilai inilah yang paling sulit untuk dipahami. Misalnya, perintah berpoligami (An-Nisa‘ [4]: 3), perintah laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan (AnNisa‘ [4]: 34-35), tidak mejadikan orang kafir sebagai kolega (An-Nisa‘ [4]: 89,90), dan lainnya. Wallahu A’lam.

Miatul Qudsia
Miatul Qudsia
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS (Center for Research and Islamic Studies) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...