Mengenal Secangkir Tafsir Juz Terakhir Karya Salman Harun

Mengenal Secangkir Tafsir Juz Terakhir Karya Salman Harun
Sampul buku Secangkir Tafsir Juz Terakhir karya Salman Harun (Sumber: opac.perpusnas.go.id).

Dalam satu dekade terakhir, ada cukup banyak karya tafsir yang ditulis oleh sarjana muslim di Indonesia. Salah satu yang menarik dibaca dan dikaji adalah Secangkir Tafsir Juz Terakhir karya Salman Harun, seorang pakar bahasa Arab dan tafsir dari Pariaman, Sumatera Barat. Karya tafsir tersebut tergolong unik, baik dalam proses penulisannya maupun penyajian isinya.

Latar belakang penulisan

Berkat perkembangan teknologi, kita dapat melihat adanya warna baru dalam dinamika penafsiran Alquran. Misalnya, beberapa tahun belakangan ini kita sering mendengar wacana tafsir di media sosial, yaitu penafsiran yang ditulis dan dibagikan melalui platform media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter. Salah satu karya populer yang lahir dalam wacana itu adalah karya Nadirsyah Hosen, Tafsir Al-Quran di Medsos. Karya tersebut berisi kumpulan tulisan Hosen tentang tafsir tema-tema tertentu yang sebelumnya pernah dibagikan dalam laman media sosialnya. Setelah dibukukan, karya itu begitu laris sehingga dicetak ulang berkali-kali.

Sama seperti karya Hosen, karya tafsir Salman Harun yang berjudul lengkap Secangkir Tafsir Juz Terakhir: Mengerti Jalan-jalan yang Membahagiakan di Dunia dan Akhirat merupakan kumpulan tulisan yang sebelumnya pernah dibagikan dalam laman Facebook-nya. Hampir setiap hari, Harun membagikan penafsiran satu ayat Alquran.

“Tujuannya untuk memperkaya warna-warni media sosial itu dengan informasi yang lebih positif yang dapat membimbing manusia ke jalan-jalan yang membahagiakan di dunia maupun akhirat,” ungkapnya dalam kata pengantar bukunya (h. ix).

“Setelah melihat bahwa rampai tulisan itu ternyata memiliki suatu nuansa khas yang tidak dimiliki buku-buku tafsir yang ada, saya merasa alangkah baiknya bila tulisan-tulisan itu saya rajut dalam bentuk buku. Tulisan-tulisan itu pun saya olah lagi dan revisi di sana-sini,” lanjutnya.

Baca juga: Mengenal Sosok Salman Harun, Guru Besar Ilmu Tafsir yang Bersahaja

Sekilas profil dan isi Secangkir Tafsir Juz Terakhir

Kumpulan tulisan Harun tersebut kemudian diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati dalam bentuk satu buku utuh pada bulan Januari tahun 2018. Sesuai judulnya, karya setebal 402 halaman itu berisi tafsir juz 30, mulai surah al-Nabā’ sampai surah al-Nās.

Dalam penyajiannya, Harun memulai dengan menampilkan nama surah, kategori surah, jumlah ayat, dan posisi surahnya dalam urutan tartīb musḥaf dan nuzūl-nya. Misalnya: “Surah al-Nabā’, Makkiyyah, 2 ruku’, 40 ayat, surah ke-78, diturunkan di Makkah pada urutan ke-80 sesudah surah al-Ma’ārij dan sebelum surah al-Nāzi’āt” (h. 1); atau “Surah al-Naṣr, Madaniyyah akhir, 3 ayat, surah ke-110, diturunkan di Madinah pada urutan ke-114, setelah surah al-Taubah, ketika Nabi menunaikan ibadah haji wada’, haji perpisahan, selang 80-an hari sebelum itu beliau wafat.” (h. 359).

Selanjutnya, Harun menguraikan langsung penafsirannya ayat per ayat dengan uraian singkat dan padat. Bahkan, hampir setiap uraian hanya membutuhkan satu paragraf saja. Uraian satu paragraf itu sudah termasuk teks ayat, terjemahan, dan penafsirannya. Jika suatu ayat membutuhkan penjelasan lebih, Harun tak segan menjelaskannya lebih dari satu paragraf tetapi tetap menggunakan bahasa yang lugas dan tidak bertele-tele.

Setelah penguraian tafsir per ayat, Harun membuat satu pemetaan terkait kandungan isi surah. Dia mengelompokkan ayat-ayat yang saling berkaitan lalu menggabungkannya sebagai satu struktur tersendiri dan menetapkan topik pembicaraan. Misalnya, dia membagi struktur surah al-Nabā’ menjadi enam bagian, yaitu: (1) ayat 1-5, (2) ayat 6-16, (3) ayat 17-20, (4) ayat 21-30, (5) ayat 31-37, dan (6) ayat 38-40.

Pada bagian akhir, Harun kemudian menyimpulkan pesan moral surah. Pesan moral ini merupakan nilai-nilai yang terekstrak dari uraian ayat-ayat yang sudah dibahas. Misalnya, pada surah al-Nabā’, pesan moralnya adalah “Kiamat pasti terjadi. Saat itulah manusia harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya di dunia, untuk selanjutnya memperoleh imbalan surga bila nilai perbuatan itu baik, atau memperoleh ganjaran neraka bila nilainya tidak baik. Siapkanlah diri menghadapinya supaya nanti tidak menyesal.” (h. 18).

Sistematika sebagaimana disebut di atas sesuai dengan pernyataan Harun dalam kata pengantarnya:

“Dalam menafsir, saya tidak membahas ayat-ayat secara panjang lebar, tetapi menukik mencari pesan-pesan ayat, terutama yang berkenaan dengan nilai-nilai moral yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut. Ayat-ayat yang mendukung satu pesan kemudian dikelompokkan menjadi satu kelompok tema. Kumpulan tema-tema saya padukan dalam Struktur Surah. Dari paduan tema-tema dalam Struktur Surah itulah kemudian saya mengeluarkan Pesan Moral Surah tersebut.” (h. x).

Menilik pernyataan di atas, mungkin dapat dipahami bahwa cara penafsiran singkat/ijmālī dipilih sebagai penyesuaian dengan konteks tempat penafsiran tersebut pertama kali dibagikan. Hal ini dapat kita telusuri melalui laman Facebook-nya (Salman Harun) yang unggahan penafsiran tersebut tidak terlalu jauh berbeda dengan hasil revisi yang menjadi buku. Namun, sebagai catatan penulis, pengadaan struktur surah ini hanya berlaku bagi surah yang memiliki lebih dari satu topik dan tidak untuk surah pendek yang hanya memiliki satu topik bahasan seperti al-Naṣr, al-Lahab, al-Ikhlāṣ, al-Falaq, dan al-Nās.

Baca juga: Nadirsyah Hosen dan Penafsiran Alquran di Media Sosial

Sumber dan pendekatan tafsir

Satu hal yang tidak boleh terlewatkan adalah Harun tetap berpijak pada Alquran dan hadis dalam melakukan penafsiran. Hal ini bisa ditemukan dalam penafsiran beberapa ayat ketika dia mengaitkannya dengan ayat lain atau hadis yang berhubungan. Artinya, penafsiran yang ditulisnya tidak mengandalkan ra’y (rasionalitas) semata. Selain itu, selama menulis tafsir, dia juga mengandalkan olah batin di samping olah pikir.

“Karena ayat yang ditafsirkan per hari satu ayat, saya merasa memiliki waktu yang cukup untuk merenungkan pesan ayat dengan lebih tenang. Doa sering dipanjatkan mengiringi olah pikir. Gerakan jari-jari tangan kadang-kadang terasa dituntun ketika berada di atas tus-tus laptop. Hasilnya sering mencengangkan diri saya sendiri, mengapa ide-ide yang diperoleh seperti yang telah tertuliskan itu.” (h. x).

Meskipun penyajiannya ringkas, Salman Harun berhasil memberikan penafsiran dengan pendekatan kebahasaan yang merupakan bidang keahliannya. Contohnya, dalam memaknai kata thumma pada ayat kelima surah al-Nabā’, dia menjelaskan, “Ungkapan kata ‘kemudian’ mengandung makna peningkatan intensitas. Yang akan dialami orang-orang yang ingkar itu akan lebih hebat lagi, yaitu azab di neraka setelah menderita pada waktu kehancuran alam itu.” (h. 3).

Hal penting lain yang perlu mendapat sorotan ialah bagaimana Harun melontarkan kritik sosial dalam penafsirannya. Contohnya, dalam penafsiran ayat ketiga surah al-Mā’ūn yang berbicara tentang kepedulian pada orang miskin, dia menulis:

“Misalnya di Indonesia. Dulu banyak dijumpai warung-warung di pinggir jalan tempat rakyat kecil mengais rezeki. Sekarang, toko-toko modern berdiri sampai ke desa-desa. Terjadilah kompetisi bebas antara pemodal besar dan ‘pengusaha’ teri. Persaingan tak ubahnya seperti antara kelinci dan gajah. ‘Pengusaha’ warung pun tewas, di pihak lain, pengusaha yang sebenarnya itu menguasai penuh jalur ekonomi dari sektor hulu (produksi) sampai sektor hilir (distribusi). Maka, jelas kiranya bahwa sedang terjadi proses pemiskinan rakyat tanpa ampun dan secara besar-besaran yang dibuat oleh manusia sendiri.” (h. 338).

Namun, Harun tidak hanya memberikan kritik, dia juga menawarkan solusi. Misalnya berkaitan dengan kritik di atas, dia menulis:

“Sistem ekonomi yang dikehendaki Islam, sesuai ayat ini, berbasis solidaritas sosial. Dasar itu tertampung dalam Konstitusi Negara Indonesia (UUD 1945 Pasal 33 ayat 1, ‘Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan,’ sudah sangat Islami, pelaksanaannya yang belum Islami). Prinsipnya: kapital tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang (Q.S. 59: 7). Seharusnya pengusaha besar bergerak dalam bidang produksi, distribusinya diserahkan kepada pengusaha yang lebih kecil. Bentuk badan usaha yang cocok untuk itu adalah koperasi.” (h. 339).

Demikianlah sekilas gambaran Secangkir Tafsir Juz Terakhir karya Salman Harun. Wallāhu a’lam bi al-ṣawāb.

Baca juga: Bincang Tafsir Populer dalam Kajian Fadhli Lukman